Pledoi Dua Pejuang Masyarakat Adat di PN Simalungun

Dua pria pejuang dari masyarakat adat Sihaporas, Kabupaten Simalungun, menghadap majelis hakim.
Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita, dua terdakwa kasus penganiayaan di Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Senin 10 februari 2020. (Foto: Tagar/Jonatan Nainggolan)

Simalungun - Jonny Ambarita, 44 tahun dan Thomson Ambarita, 41 tahun. Duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Sumatera Utara.

Siang itu, Senin 10 Februari 2020, dua pria pejuang dari masyarakat adat Sihaporas, Kabupaten Simalungun, menghadap majelis hakim dengan hakim ketua Roziyanti dan dua hakim anggota, Justiar Ronal dan Aries Ginting.

Mereka berdua menjadi terdakwa. Didakwa karena menganiaya seorang humas PT Toba Pulp Lestari (PT) TPL Sektor Aek Nauli, bernama Bahara Sibuea.

Didampingi tiga penasehat hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita, menyampaikan pledoi atau pembelaan di muka hakim. Pledoi yang mereka sampaikan, secara lisan, dilontarkan langsung.

Ke dua terdakwa membantah tudingan telah melakukan pemukulan kepada Bahara Sibuea. Saat insiden bentrok pada Senin 16 September 2019 lalu, mereka hanya berjuang untuk mempertahankan tanah peninggalan leluhurnya, ruang hidupnya, tempat tulang leluhurnya.

Mengerjakan tanah yang ditinggalkan leluhur untuk penghidupan mereka dan wajib mereka jaga untuk generasi penerus mereka kelak, seperti yang telah dilakukan oleh leluhurnya kepada mereka.

"Peninggalan leluhur kaminya, kami kerjakan yang mulia. Sejak saya ditangkap, anak saya tidak mau sekolah lagi. Mohon bebaskan saya dari perkara ini yang mulia," ujar Thomson, bapak lima anak itu.

Giliran Jonny Ambarita, dia melontarkan hal serupa bahwa dia tidak ada niatan atau aksi melakukan kekerasan atau tindakan melanggar hukum.

"Majelis hakim yang mulia, sudi kiranya membebaskan saya. Saya tidak melakukan apa-apa. Anak saya masih kecil-kecil, masih butuh kasih sayang seorang ayah," kata bapak empat anak itu.

"Saya juga membuat surat pengaduan ke Polres Simalungun, di lokasi saya terkena pukulan yang mulia. Malah jadi saya yang ditahan," ungkapnya.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Simalungun, Firmansyah menuntut ke dua terdakwa Pasal 170 Ayat (1) KUHPidana dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan penjara.

Sidang berlangsung singkat, karena hanya mendengarkan pledoi dua warga Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun itu. Selepas sidang, ke dua terdakwa tampak menyerahkan secarik kertas kepada majelis hakim.

Tuntas mendengar pledoi dua terdakwa, majelis hakim menutup jalannya persidangan dan akan dilanjutkan pada 12 Februari 2020, dengan agenda pembacaan putusan.

Ditemui di luar persidangan, Jonny Ambarita menuturkan, dalam sidang agenda mendengarkan saksi dan melihat alat bukti, tidak ada tindakan yang memperlihatkan dia memukul Bahara Sibuea, yang disebut menggunakan kayu panjang.

demo masyarakat adatMasyarakat adat Sihaporas dan sejumlah organisasi mahasiswa berunjuk rasa di depan kantor PN Simalungun, Sumatera Utara, Senin 10 Februari 2020. (Foto: Tagar/Jonatan Nainggolan)

"Tidak ada gambar saya dalam memukul di dalam video, saat bentrok saya sampaikan jangan ada kekerasan, jangan ada pemukulan," tuturnya.

Hidup masyarakat adat, semoga Tuhan beserta leluhur menaungi perjuangan masyarakat adat

Dia menegaskan, jauh sebelum negara Indonesia berdiri, masyarakat adat Sihaporas sudah menduduki tanah adat tersebut. Jonny menduga, ada oknum dari PT TPL yang berupaya mengusik pemukiman dan lahan adat mereka.

"Kami ada kebutuhan untuk ritual adat, tapi itu telah punah. Sumber air dikotori, dicemari limbah kimia, pekerja TPL sering BAB di sumber air minum kami," terangnya.

Salah seorang penasehat hukum ke dua terdakwa, Sahat Hutagalung menegaskan, ke dua terdakwa tidak ikut terlibat dalam dugaan penganiayaan yang dituduhkan.

"Ada empat rekaman video dari JPU dan satu dari kami. Bahwa delapan orang saksi yang dihadirkan JPU tidak satupun yang menyaksikan secara jelas bahwa Jonny Ambarita maupun Thomson Ambarita melakukan pemukulan kepada pihak PT TPL, begitu juga dengan rekaman video yang diajukan oleh JPU," terangnya.

Fakta yang terungkap di persidangan, menurut Sahat, menunjukkan bahwa bentrokan antara masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras) dengan pihak PT TPL tidak terjadi begitu saja, tetapi karena ada pemicunya. Sebelum kejadian, masyarakat adat Lamtoras sedang berkerja menanam jagung.

"Tidak ada terlihat tindakan menyerang atau tanda-tanda akan menyerang pihak humas dan sekuriti PT TPL, kecuali hanya konsentrasi dan fokus bekerja menanam jagung. Sementara, pihak humas dan sekuriti terlihat berusaha menghalangi masyarakat bekerja dengan secara aktif mencoba menarik cangkul beberapa anggota masyarakat yang sedang bekerja," terangnya.

Sahat berharap, majelis hakim memutuskan kasus dengan tenang, bijaksana, dan mencermati fakta-fakta yang ada dalam persidangan.

"Fakta yang terungkap, Thomson Ambarita adalah korban dalam peristiwa tersebut. Dia mengalami luka di punggungnya akibat pukulan benda tumpul yang dilakukan oleh Bahara Sibuea," jelasnya.

Sahat juga menyesalkan timpangnya proses penegakan hukum. Pengaduan yang disampaikan Thomson Ambarita ke Polres Simalungun dengan laporan polisi no: STPL/84/IX/2019, sejauh ini belum diproses.

"Kami akan terus mendorong laporan itu. Kami akan mengawal pihak kepolisian, apa bukti yang dibutuhkan, kita lengkapi," ungkapnya.

Sebelumnya, warga Desa Sihaporas melaporkan peristiwa pemukulan seorang anak berusia 3,5 tahun, berinisial MA pada Selasa 17 September 2019 ke Polres Simalungun. Kepala bagian belakang MA diduga terkena pukulan petugas PT TPL.

Kasat Reskrim Polres Simalungun AKP M Agustiawan saat itu, mengatakan pihaknya sudah menerima laporan. Agustiawan berjanji mendalami laporan tersebut.

"Karena kasus penganiayaan itu harus benar-benar bisa kita buktikan siapa yang melakukan," ucapnya.

Seusai persidangan, tepatnya di depan kantor PN Simalungun, masyarakat adat Sihaporas dan sejumlah organisasi mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa meminta aparat hukum menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Pengunjuk rasa meminta majelis hakim PN Simalungun membebaskan Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita.

Mereka juga mendesak Polres Simalungun segera menangkap Humas PT TPL Bahara Sibuea, atas dugaan tindak pidana penganiayaan yang dilakukannya pada 16 September 2019 di Buntu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun.

"Hidup masyarakat adat, semoga Tuhan beserta leluhur menaungi perjuangan masyarakat adat. Hidup rakyat!" teriak salah seorang orator.

Sekadar diketahui, masyarakat Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, dan petugas PT TPL terlibat bentrok pada Senin 16 September 2019. Saling klaim kepemilikan lahan menjadi penyebabnya.

Akibat bentrokan itu, sejumlah orang dari ke dua belah pihak mengalami luka-luka dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. [] 

Berita terkait
Demo Ratusan Masyarakat Adat di Polres Simalungun
Seratusan orang gabungan dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) berunjuk rasa di Markas Polres Simalungun dan kantor Bupati Simalungun.
Masyarakat Adat Sihaporas Demo di PN Simalungun
Masyarakat adat Sihaporas dan aliansi mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Simalungun.
Polres Simalungun Diminta Lepas Warga Adat Sihaporas
Masyarakat adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mendesak kepolisian membebaskan dua warga mereka yang ditahan polisi.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.