PKS: Cabut Klaster Pendidikan dari RUU Cipta Kerja

Fikri Faqih mendesak pembahasan klaster pendidikan dicabut seluruhnya dari substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Abdul Fikri Faqih. (Foto: Instagram/@afikrifaqih)

Jakarta - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mendesak pembahasan klaster pendidikan dicabut seluruhnya dari substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

“Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang merubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita,” katanya di kompleks gedung DPR/MPR, Rabu, 2 September 2020.

Fikri menduga adanya unsur pemaksaan pendidikan menjadi lebih liberal di dalam RUU cipta kerja dengan merubah pasal-pasal di dalam UU yang mengurusi Pendidikan tersebut. Menurutnya, pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi sehingga masa depan bangsa tidak boleh dipertaruhkan oleh segelintir pasal dalam RUU cipta kerja.

“Bahkan preambule konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu dengan menyelenggarakan sistem Pendidikan nasional, bukan melepasnya secara komersil,” kata dia.

Ketentuan ini memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-alih pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konsitusi.

Baca juga: Abdul Fikri Optimis Nadiem Makarim Majukan Pendidikan

Lebih lanjut, Fikri menambahkan, draft RUU Cipta kerja telah melanggar kodrat kontitusi dengan mewajibkan lembaga pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam pasal 68 draf RUU tersebut. 

“Ketentuan ini memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-alih pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konsitusi,” kata Fikri.

Selain itu, Fikri menyoroti persoalan yang menjadi perdebatan krusial salah satunya adalah kewajiban berusaha dalam draft RUU Cipta kerja, pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diubah, sehingga berbunyi 1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Menurutnya, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp1 miliar. 

“Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan non formal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha,” kata Fikri.

Baca juga: DPR: Pemerintah Jangan Cuma Andalkan Vaksin Atasi C-19

Isu lain soal perombakan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen di dalam RUU Ciptakerja. Politisi PKS ini mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.

“Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar benar RUU alien,” kata dia.

Fikri merujuk pada kesimpulan hasil rapat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan HAM RI serta pimpinan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada tanggal 16 Januari 2020. []

Berita terkait
DPR: Tak Ada Regulasi, Pasar Bebas Harga Vaksin Terjadi
Anggota DPR, Sukamta mengingatkan pemerintah membuat regulasi yang jelas jika tetap menggunakan skema menjual vaksin bagi masyarakat.
Profil Abdul Fikri Faqih, Jadi DPR Nikmat atau Istidraj?
Di periode ketiga di DPR, Fikri merasa jabatan yang didudukinya itu sebenarnya nikmat atau istidraj yang menguji imannya kepada Allah SWT.
Nadiem Makarim Guyur Rp 9 T, Pengamat: Awas APBN Jebol
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengingatkan Mendikbud Nadiem Makarim hati-hati kucurkan Rp 9 T untuk pulsa.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.