Pilkada Siantar, Pengamat: PTUN Kan Surat Mendagri

Surat yang disampaikan Kemendagri bisa diuji secara undang-undang tentang PTUN. Karena surat itu belum bersifat final.
Daulat Sihombing ketika ditemui di ruang kerjanya. (Foto: Tagar/Fernandho Pasaribu)

Pematangsiantar - Ketua Sumut Watch Daulat Sihombing mengatakan seyogianya periode jabatan Wali Kota Pematangsiantar Hefriansyah sudah selesai pada 2020. Karena Kota Pematangsiantar menggelar Pilkada 2015.

Namun karena ada penundaan Pilkada 2015 menjadi 2016, periode jabatan wali kota sekarang akhirnya bergeser dan masa berakhirnya menjadi pada 2022.

Baca juga: Soal Pilkada Siantar, Tunggu Kata KPU dan Mendagri

Menurut Daulat, batas atau masa periodisasi jabatan wali kota sebenarnya sudah clear. Itu diatur dalam perundang-undangan di mana jabatannya lima tahun.

"Sekarang Pilkada Siantar yang secara spesifik tertunda memberikan konsekuensi, bahwa lima tahun itu berarti habis di tahun 2022," kata dia ditemui di kantornya di Jalan MH Sitorus, Kota Pematangsiantar, Selasa 21 Mei 2019.

Baca juga: Himapsi Minta Pilkada Siantar Digelar 2020

Dijelaskannya, jika pilkada digelar sesuai dengan surat dari Kemendagri yang menyatakan masa jabatan Wali Kota Pematangsiantar berakhir pada 2022, maka selama dua tahun pemerintahan akan dikendalikan pejabat sementara (Pjs).

"Ini memberikan satu penafsiran yang baru. Ada kekosongan hukum. Misalnya, kalau pilkada serentak diagendakan di tahun 2024. Ini sudah berakhir (jabatan wali kota) di 2022. Maka kekosongan ini harus ditafsirkan. Menafsirkan itu tentu harus diuji. Kalau misalnya hanya dalam bentuk opini, orang akan berseliweran dan memberikan pendapat berbeda-beda," kata pengamat hukum itu.

Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya masa periode jabatan wali kota, dia menyarankan agar pihak-pihak yang berkepentingan mengujinya secara hukum.

"Pikiran saya begini. Siapa yang berkepentingan, untuk melihat bahwa periodisasi Wali Kota Siantar ini akan berakhir di tahun 2020 atau tahun 2022. Atau Pilkada Siantar tahun 2024. Harus mengujinya di depan hukum," katanya.

Dia menyebutkan, inisiatif untuk menguji ini bisa saja datang dari orang yang berkepentingan dengan periodisasi itu.

Baca juga: Wali Kota Siantar Tak Paham Etika Surat Menyurat

"Bisa rakyat secara individual juga oke, secara kolektif juga oke atau secara institusi lembaga DPRD atau orang yang misalnya berminat atau berniat untuk menjadi calon wali kota. Jadi kita menyarankan kepada beberapa elemen ini atau beberapa orang berkepentingan ini silakan saja uji ke pengadilan," tambahnya.

Pasalnya, kata Daulat, surat yang disampaikan Kemendagri tertanggal 13 Mei 2019 lalu itu, bisa diuji secara undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena menurutnya surat itu belum bersifat final.

Baca juga: Pilkada Siantar, DPRD: Wali Kota Sor Main Sendiri

"Apalagi sekarang ini belum ada keputusan secara clear bahwa itu harus di 2024. Itu kan baru bentuk surat dari Mendagri. Bentuk surat itu masih dapat diuji secara TUN, apakah itu sah atau tidak. Apalagi hanya bentuk surat, belum tentu itu final. Belum tentu juga itu berupa keputusan dari pejabat tata usaha negara. Itu baru sebatas pendapat bisa saja. Lagi-lagi menurut saya, ketika orang berdebat tentang itu, silakan saja uji ke pengadilan. Gunakanlah instrumen hukum untuk memutuskannya. Daripada simpang-siur dari pendapat-pendapat yang beragam seperti itu," terangnya. []


Berita terkait