Untuk Indonesia

Peta Suara Pilpres 2019 Sangat Mengkhawatirkan

Peta suara Pilpres 2019 yang sangat mengkhawatirkan dan bagaimana masa depan bangsa ini. Ulasan opini Eko Kuntadhi.
Jokowi-Ma'ruf vs Prabowo-Sandi. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Mengamati hasil hitung cepat Pilpres dan peta sebaran suara, saya kok makin ngeri dengan masa depan bangsa ini. Politik identitas bernuansa etnis dan agama sepertinya sudah begitu merasuk.

Ternyata rakyat lebih suka slogan ketimbang kerja nyata. Politik pembangunan Jokowi yang Indonesia sentris --meninggalkan Jawa sentris-- ternyata justru direspon terbalik.

Coba perhatikan di mana Jokowi unggul dengan angka kemenangan besar dan di daerah mana saja Prabowo unggul juga dengan kemenangan besar. Gambaran itu bisa menceritakan apa yang ada di pikiran rakyat Indonesia sekarang ini.

Kita bedah Sumatera. Suara Jokowi unggul di wilayah Sumatera yang jumlah penduduk beretnis Jawanya besar. Selain itu juga kelompok masyarakat non muslim. Misalnya di Lampung atau Sumatera Utara bagian selatan.

Sementara Prabowo unggul di daerah yang penduduknya jarang beretnis Jawa. Sumbar, Aceh dan Riau daratan memberi suara signifikan pada Prabowo. Sebagian orang menilai ini disebabkan keberhasilan membangun narasi agama. Di wilayah itulah hoaks bernuansa agama bertebaran.

Selain itu juga ditopang oleh harga komoditi seperti karet yang belakangan memang anjlok. Kita tahu sebagian masyarakat Sumatera hidup dari hasil komoditas.

Gabungan kondisi pasar dan isu agama sangat menguntungkan Prabowo-Sandi di Sumatera. Bahkan suara Jokowi di Aceh dan Sumbar tidak lebih dari 30 persen saja.

Di Jawa, khususnya Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur Jokowi-Amin merajai. Keberhasilan ini lebih didorong oleh ikatan etnis dan ikatan keagamaan pada tradisi NU.

Sementara di Jabar suara keduanya relatif berimbang. Kecenderunganya Jokowi kalah meskipun angkanya lebih tipis dibanding 2014. Demikian juga dengan Banten. Sekali lagi ini dikarenakan masifnya isu politisasi agama menerpa masyarakat.

Sementara kalau kita bergerak ke arah Timur, Bali, NTT, Maluku dan Papua memberi suara pada Jokowi secara signifikan. Sekali lagi variabel agama juga sangat dominan. Kebanyakan penduduk di sana non muslim.

Sedangkan NTB dan Maluku Utara yang penduduknya sebagian besar muslim, Prabowo jauh lebih unggul.

Peta yang sama terbaca di Kalimantan. Di Kaltim, etnis Jawa cukup dominan. Jokowi mendapat suara lumayan. Sedangkan Kalsel yang nuansa Islamnya menonjol menyerahkan suara pada Prabowo-Sandi.

Coba perhatikan di mana Jokowi unggul dengan angka kemenangan besar dan di daerah mana saja Prabowo unggul juga dengan kemenangan besar. Gambaran itu bisa menceritakan apa yang ada di pikiran rakyat Indonesia sekarang ini.

Atau coba lihat di Sulawesi. Sulut yang dominan non muslim dimenangkan Jokowi. Sedangkan Sulsel dimenangkan Prabowo. Daerah di Sulsel yang suara Jokowi tinggi ada di Toraja. Ini juga masyarakatnya bukan muslim.

Apa yang bisa kita simpulkan? Politik identitas ternyata begitu kuat membelah kita. Para pengasong agama berhasil memainkan strateginya untuk menyeret Tuhan dalam kampanye. Rakyat termakan jargon-jargon mereka.

Di sisi lain, politik program yang rasional ternyata tidak banyak laku. Kita hanya sibuk membicarakan program di TV dan debat. Sementara rakyat kebanyakan tidak peduli dengan program kerja Capres. Mereka menentukan pilihan berdasarkan ikatan yang lebih emosional.

Apa dampaknya? Jika kita membaca peta ini, ke depan para politisi tidak lagi harus dibebani dengan program-program kesejahteraan yang mumpuni. Tidak lagi harus menampilkan apa yang akan dilakukan buat rakyat. Cukup mainkan politik identitas etnik maupun agama untuk menarik suara.

Ini jelas sangat berbahaya bagi bangsa yang plural seperti Indonesia. Semakin kencang politik identitas dimainkan akan semakin renggang juga ikatan kebangsaan kita.

Mencermati kondisi ini sepertinya kita punya PR yang amat banyak untuk menjaga bangsa ini dari keretakan akibat politik identitas yang kebablasan. Kita juga khawatir dengan mendemnya rasionalitas publik ketika menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Kita berharap, pasca Pilpres 2019 ini para politisi mau mengurangi tensinya untuk mengaduk-aduk rakyat dengan politisasi agama dan etnis yang keblinger. Akibatnya akan sangat mahal bagi masa depan Indonesia.

Kita juga mendorong TNI dan Polri untuk tegas menghadapi para pengasong agama yang mendompleng setiap peristiwa politik di Indonesia. Kita harus bersihkan masjid-masjid kita dari kotornya politik. Kita harus kembalikan tempat bersujud sebagai wilayah suci yang tidak dikotori oleh nafsu berkuasa.

Biarlah politik berjaan di relnya. Sementara agama berjalan di rel yang lain lagi. Jika kita gagal membuat pemisahan di antara keduanya, masa depan Indonesia akan jadi puing.

Siapa pun, partai apa pun yang masih terus memainkan politik identitas sampai kebablasan, sesungguhnya mereka adalah musuh kita bersama.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.