Perbedaan Indonesia Zaman SBY dan Zaman Jokowi

SBY dengan prinsip zero enemy menumbuhsuburkan gerakan ekstrem di Indonesia. Jokowi harus kerja ekstra keras mengatasi masalah yang dibuat SBY itu.
SBY dan Jokowi. (Foto: Tagar/presidensbyinfo/Facebook Presiden Joko Widodo)

Jokowi kembali lagi menghajar gerombolan ekstrem. Kali ini ia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021. Isinya tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme. Kebijakan ini membahas sekitar 125 rencana aksi yang harus dijalankan oleh lebih dari 20 kementerian dan lembaga.

Jadi soal ekstremisme ini bukan lagi sekadar urusan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), urusan polisi, tapi sudah menjadi urusan seluruh kementerian dan lembaga. Aturan ini kabarnya sudah tertunda lebih dari tiga tahun. Rencananya sejak 2017, baru sekarang ditandatangani.

Tapi itu adalah langkah ke sekian dari Presiden yang sering dijuluki plonga-plongo, untuk menghambat gerakan gerombolan ekstrem. Pemerintah sudah membubarkan HTI, organisasi pemuja khilafah. Jokowi juga mengeluarkan Perppu Ormas yang kemudian menjadi Undang-Undang. Semua ormas anti Pancasila kena hajar.

Jokowi melangkah terus. FPI kemudian dilarang beraktivitas di Indonesia. Tokoh-tokohnya diseret ke meja hijau. Imam Besar Rizieq Shihab harus menghadapi berbagai tuntutan akibat ulahnya sendiri. Tokoh lain menunggu giliran.

Bukan hanya melarang organisasinya, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah membekukan sebanyak 89 rekening yang berafiliasi dengan FPI. Tampaknya pembekuan rekening ini bisa dikatakan sebagai pamungkas. Ormas laskar-laskaran langsung melempem. Dengan dibekukannya rekening ini, para penyandang dana yang selama ini membiayai ulah gerombolan ini mulai menyingkir.

Mereka khawatir pelacakan PPATK nanti akan membuktikan perannya dalam membiayai kegiatan yang sering mengganggu masyarakat. Apalagi jika kemudian aliran dana itu juga digunakan untuk aktivitas terorisme. Bisa bahaya penyandang dana. Bisa dihabisi karena terbukti mendukung terorisme.

Kita tahu sejak reformasi 1998 gerombolan-gerombolan ini seperti dibiarkan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Kalau jamur merang sih enak, tapi ini jamur dan kutu air. Pada zaman SBY dengan teori zero enemy-nya, mereka kayak diberikan angin. Akibatnya apa? Ya merangsek ke seluruh segi kehidupan kita.

Bahkan pada saat itu ormas khilafah, HTI, pernah mendapat slot siaran langsung di TVRI untuk menyiarkan kegiatannya sambil kampanye khilafah, sambil kampanye untuk menghancurkan Indonesia. Bayangkan. TVRI yang dana operasionalnya dapat dari publik, malah memberi ruang bagi kelompok yang tujuannya menghancurkan Indonesia.

Sudah jadi rahasia umum banyak ASN, dosen, pegawai BUMN ang sudah keracunan ideologi perusak ini.

Jadi sejak reformasi boleh dikatakan mereka merajalela. Gila-gilaan. Di Cikeusik misalnya, kelompok mereka ini dengan bengis membantai warga Ahmadiyah. Dan kita tahulah setiap Desember, aksi sweeping mal sering terjadi. Men-sweeping orang yang pakai topi Santa, men-sweeping ini dan itu. Semuanya terjadi ketika mereka ada dan berdekatan dengan kekuasaan.

Puncaknya pada 2017 ketika Pilkada Jakarta yang ramai dengan isu para pengasong agama. Demo 212 dan 411 hampir saja menghancurkan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Dan tahu tidak? Pada saat itu, kabarnya, polisi berhasil menghalangi ratusan miliar dana asing yang masuk ke Indonesia.

Tujuan dana ini adalah rekening-reking pentolan gerombolan yang menggerakkan 212 dan 411 itu. Harapannya mungkin 212 atau 411 bisa jadi momentum untuk memancing gelombang protes yang lebih besar lagi. Artinya, dengan kondisi itu, jaringan mereka bukan hanya lokal. Tapi sudah melibatkan kepentingan asing dan kepentingan asing itu ikut bermain dalam konflik politik di Indonesia.

Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk mengacau, melemahkan pemerintahan Jokowi. Dan kita tahu pemerintahan yang lemah akan sangat mudah disandera kepentingan asing. Mereka gampang sekali masuk ke Indonesia untuk mendesakkan kepentingannya.

Pelajaran dari Suriah, Irak, dan Libya, jelas menggambarkan bagaimana kekuatan asing ini yang bersatu-padu dengan para ekstremis lokal berhasil merusak sebuah bangsa yang tadinya adem-ayem, tenteram dan aman. Jadi jangan kaget kalau beberapa waktu lalu seorang perempuan intelijen Jerman kedapatan menyambangi markas FPI di Petamburan. Ini bukan main-main.

Presiden Jokowi sadar kondisi ini. Ia berpikir percuma membangun segala infrastruktur yang hebat-hebat itu. Membangun jalan. Percuma juga membangun fasilitas sosial dan ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya. Semua hasil pembangunan itu bisa luluh lantak ketika gerombolan ini mendapat angin untuk beraksi.

Coba kita lihat Suriah, dulu negeri ini nyaman dan indah. Damaskus itu menjadi salah satu tempat pelesiran yang paling asyik di Timur Tengah. Coba lihat sekarang. Tinggal puing dan air mata.

Makanya Jokowi terus bergerak. Sambil membangun, pada saat bersamaan ia juga harus pandai-pandai menyingkirkan semua potensi perusak Indonesia. Kalau bisa dibabat sampai ke akar-akarnya. Tapi menghalau sebuah ideologi tidak cukup hanya memakai tangan aparat negara. Tidak cukup cuma dengan tindakan hukum. Masyarakat harus dilibatkan.

Pada zaman SBY dengan teori zero enemy-nya, mereka kayak diberikan angin. Akibatnya apa? Ya merangsek ke seluruh segi kehidupan kita.

Nah, Perpres Nomor 7 Tahun 2021 ini salah satu dasar hukum bahwa kita sebagai masyarakat wajib terlibat aktif menghadapi gelombang ekstremisme yang membahayakan negeri ini. Menghadapi ideologi impor yang memang sudah terbukti merusak di berbagai negara lain. Perpres ini juga sebagai landasan bahwa semua institusi yang ada di bawah negara untuk segera bersih-bersih.

Sudah jadi rahasia umum banyak ASN, dosen, pegawai BUMN yang sudah keracunan ideologi perusak ini. Mulanya mereka sekadar intoleran, sekadar tidak suka kelompok-kelompok berbeda. Kemudian sikap intoleran itu mengeras menjadi sikap yang ekstrem. Selanjutnya menjadi radikal. Nah, orang-orang seperti itu pas punya kesempatan, akan melangkah menjadi teroris. Atau kalaupun mereka tidak suka menjadi teroris, mereka mendukung terorisme.

Jadi sekaranglah waktunya untuk bersih-bersih. Mestinya kinerja menteri, kinerja direksi BUMN, kinerja kepala lembaga negara dan aparat hukum bukan saja dinilai dari ukuran pada bidangnya saja. Misalnya Menteri Keuangan tentang bagaimana kondisi keuangan bangsa, Menteri BUMN soal BUMN. Bukan cuma itu.

Mestinya di antara penilaian penting bagi para pemimpin itu adalah seberapa berhasil mereka membersihkan lembaganya dari para oknum perusak yang selama ini bercokol di sana.

Baru saja, belum lama ini kita dikagetkan Universitas Padjadjaran kecolongan. Seorang pentolan HTI yang kebetulan jadi dosen di sana, mau diangkat jadi wakil dekan. Untung kita tahu, buru-buru diprotes di media sosial. Dan alhamdulillah pelantikannya dibatalkan.

Mestinya tidak cuma dibatalkan. Orang-orang seperti itu harus dihambat karena bisa merusak mahasiswanya, bisa merusak lingkungannya. Karena ideologinya akan terus disebarkan. Ada banyak, dan sangat banyak ASN dan karyawan BUMN yang jelas-jelas menunjukkan simpati pada gerakan-gerakan ekstremis atau menjadi curut khilafah di Indonesia.

Mereka ini yang bisa menjadikan hasil pembangunan yang susah payah kita dirikan, berubah menjadi puing dari air mata seperti di Suriah.

Jadi melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2021 ini kita semua punya landasan hukum untuk terlibat aktif menjaga Indonesia. Menjaga Indonesia dari para preman berjubah agama. Menjaga Indonesia dari para perusaknya. Sebab inilah Indonesia kita. Ini negeri yang kita cintai. Ini negeri yang pantas kita teteskan air mata setiap mendengar lagu 'Tanah Airku'. Ini negeri tempat kita berlindung di hari tua. Ini negeri yang pantas tempat kita tinggal sampai akhir menutup mata. 

*Pegiat Media Sosial

Berita terkait
Pemerintah Diminta Tetapkan OPM Sebagai Organisasi Teroris
OPM selama ini jelas-jelas menolak secara tegas Otonomi khusus (Otsus) Papua dan meminta agar Papua merdeka penuh dari Indonesia.
Densus 88 Geledah Dua Rumah Terduga Teroris di Bontoala Makassar
Densus 88 menggeledah dua rumah di Kecamatan Bontoala Kota Makassar karena diduga milik terduga teroris.
Dubes India Anggap FPI dan PA 212 Kelompok Ekstremis
Duta Besar India untuk Indonesia Pradeep Kumar Rawat menilai FPI, PA 212, GNPF-U masuk dalam kategori kelompok ekstremis.