Fadli Zon, Gerindra Waria, Demokrat Sosis Hotdog, PKS Clear

Apa hubungan anggota DPR yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Fadli Zon dan Gerindra waria, Partai Demokrat sosis hotdog, PKS clear.
Fadli Zon. (Foto: Tagar/Instagram @fadlizon)

Organisasi Front Pembela Islam resmi dilarang di Indonesia. Segala kegiatannya, atributnya, dilarang. Larangan tidak perlu lewat keputusan pengadilan. Sebelum ada undang-undang Ormas yang baru, sebelumnya Perppu Ormas, memang melarang atau membubarkan Ormas harus lewat pengadilan. Sekarang tidak perlu lagi. Kalau ada Ormas yang tujuannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar kita, bertentangan dengan Pancasila, hobi bikin onar, berfungsi semi polisional dengan sweeping-sweeping, ya wajib dilarang atas nama undang-undang.

Terus bagaimana kalau FPI ganti nama, misalnya jadi Front Pemuja Itik, visi-misinya memasyarakatkan potong bebek angsa sampai ke kuali. Atau menjadikan nasi bebek sebagai makanan terenak di dunia. Ini tidak masalah. Silakan saja. Karena memasarkan nasi bebek tidak bertentangan dengan undang-undang kita. Kalau FPI Front Pembela Islam yang kemarin itu jelas, visi-misinya saja khilafah. Masak mau dibiarkan berkeliaran di Indonesia?

Dengan pelarangan ini, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Fadli Zon bereaksi keras. Ia membela FPI mati-matian. Berbeda dengan Fadli, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rahayu Saraswati malah mendukung langkah pemerintah melarang FPI. Sementara di antara keduanya, sikap Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto tidak berubah. Ia tetap menjadi pemegang trofi sebagai orang paling pendiam seangkasa raya.

Setidaknya, sejak diangkat sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Jokowi, suara Prabowo nyaris tak terdengar. Prabowo boleh saja diam, tapi orang mau tahu, sebetulnya sikap Gerindra untuk FPI ini, yang asli itu yang mana? Apakah yang disuarakan Fadli atau yang disuarakan Saras?

Kalau saya sih simpel membacanya. Suara Saras itu keluar karena tidak enak, kan Prabowo dan Sandiaga sudah masuk kabinet Jokowi. Sementara di mata saya, sikap Gerindra yang asli, ya suara Fadli itu. Yang membela FPI habis-habisan. Saat pembubaran HTI, Fadli juga melakukan pembelaan pada HTI habis-habisan juga.

Jadi meski sudah ada dalam koalisi pemerintah, Gerindra ya tetap Gerindra. Pembelaannya pada FPI dan HTI dulu menunjukkan wajah sebenarnya. Istilahnya kalau sekarang nih ya buat Gerindra, kuenya doyan, tapi dia tidak mau membereskan bekas makanannya sendiri. Para pendukung Prabowo-Sandi yang saat pilpres dulu kecewa, karena Gerindra tergiur masuk kekuasaan. 

PKS misalnya, sikapnya jelas dari awal mendukung FPI, iya kan? Dia mendukung HTI. Kemarin-kemarin petingginya juga bersimpati pada gerakan teroris ISIS, bersimpati apda gerakan teroris Al Qaeda, karena memang dekat-dekat ke sana. Clear.

Prabowo-Sandi dan Gerindra dianggap mengkhianati mereka. Sementara bagi pendukung Jokowi-Ma'ruf, sikap Fadli yang seringkali nyinyir terhadap kebijakan pemerintah ini juga dianggap sebagai sebuah pengkhianatan. Jadi itulah risiko Gerindra yang bersikap kewaria-wariaan. Dianggap berkhianat di mana-mana. Laki-laki bukan, perempuan bukan. 

Itulah kesimpulan saya yang saya rekam dari obrolan di berbagai media sosial. Tapi mungkin saja sih sikap saling bertabrakan itu sebagai strategi Gerindra untuk tetap mengumpulkan suara dan mempertahankannya. Fadli berposisi mempertahankan suara dari kelompok-kelompok garis keras. Sementara Saras dengan pernyataannya kemarin diharapkan mengais-ngais suara kaum nasionalis.

Jadi, bagi Gerindra, sikap mereka yang kewaria-wariaan itu ya tidak masalah. Mungkin dalam politik mereka berpikirnya seperti itu. Tapi benar enggak sih itu enggak masalah?

Kenapa Gerindra tidak belajar dari Partai Demokrat, saat Pilpres 2014. Waktu itu Partai Demokrat mengambil sikap tidak mendukung Prabowo, tidak mendukung Jokowi. Maunya di tengah kayak sosis hotdog. Hasilnya apa yang terjadi? Suara Demokrat terjun bebas. Dari 20 persen Pemilu 2009, tinggal 10 persen Pemilu 2014. 

Kemudian karena sikapnya yang ambigu terus-terusan, posisinya kayak sosis hotdog terus-terusan. Suaranya merosot lagi tinggil 7 persen Pemilu 2019. Kalau model ini terus dilanjutkan Demokrat, tidak jelas kelaminnya, saya rasa mempertahankan 7 persen bukan perkara mudah bagi partai anak cucu Cikeas ini.

Memang kita tidak bisa begitu saja menempelkan kasus Demokrat yang anjlok ke Gerindra, atau sikap Gerindra sekarang. Tapi yang harus dicatat teman-teman Gerindra, tidak ada satu kelompok masyarakat pun yang suka dikhianati, apalagi dikhianati parpol. Teh Ninih saja tidak suka dikhianati.

Di mata saya, sikap Gerindra yang asli, ya suara Fadli itu. Yang membela FPI habis-habisan. Saat pembubaran HTI, Fadli juga melakukan pembelaan pada HTI habis-habisan juga.

Mungkin dulu ketika media sosial belum seramai sekarang, partai bisa-bisa saja main roller coaster gitu. Pagi jadi Sunarto, malam Sunarti. Tidak jelas. Tapi dulu masyarakat cuek karena keterbatasan akses informasi, sehingga mereka sulit membandingkan Sunarto dan Sunarti. Omongan yang satu dan omongan yang lain sulit mereka banding-bandingkan. Jadi mereka tidak tahu partai lagi main roller coaster. Tapi kini ada media sosial. Orang bisa melihat dengan jelas ketidakkonsistenan sikap sebuah parpol atau seorang politikus.

Kehadiran media sosial membuat rakyat melek politik. Media sosial membuka raung kepada semua orang untuk mengungkapkan unek-uneknya secara langsung. Akibatnya apa? Obrolan politik tersampaikan dengan bahasa rakyat, baik rakyat jelata maupun rakyat jelita. Semua mengerti politik.

Ada dampak positif ketika suasana seperti itu. Partisipasi pemilu terus meningkat. Kemarin di tengah pandemi misalnya, partisipasi pilkada bisa sampai 75 persen. Menurut saya itu angka yang luar biasa. 

Satu hal yang juga pasti pada era media sosial ini, ingatan publik tidak lagi sependek dulu. Para politisi boleh sekarang ngomong iya, besok ngomong enggak. Dan seolah publik lupa. Biasanya mereka mengambil sikap, tidak apa-apa sekarang berbuat ngaco, besok bisa diubah, nanti orang juga lupa.

Mereka salah. Ingatan publik mungkin pendek, tapi jejak digital itu panjang dan keras, Kawan. Ingatan kita itu bisa dimunculkan lagi dengan jejak digital lama. Maksudnya begini. Ketika Fadli ngomong membela FPI, Saras ngomong membela Pemerintah, orang bisa menyejajarkan, ini maksudnya apa? Sikap Gerindra apa?

Jadi pada zaman media sosial kayak sekarang, rekam jejak dan konsistensi politisi atau parpol akan menjadi variabel penting bagi masyarakat yang sudah tercerdaskan untuk menentukan pilihan politiknya nanti. Masyarakat cerdas. Tidak mudah lagi ditipu dengan bedak dan lipstik. Pada masa depan saya yakin parpol yang kelamin tidak jelas, yang sikapnya kewaria-wariaan, yang ambigu, yang di sini bilang iya, di sana bilang enggak, alias tidak jelas, lama-lama juga akan dicuekin sama orang.

Kenapa? Karena pada saat ini kita membutuhkan sikap politik yang konsisten, yang clear. PKS misalnya, sikapnya jelas dari awal mendukung FPI, iya kan? Dia mendukung HTI. Kemarin-kemarin petingginya juga bersimpati pada gerakan teroris ISIS, bersimpati apda gerakan teroris Al Qaeda, karena memang dekat-dekat ke sana. Clear. Jelas posisi di mana mereka. Tapi Gerindra posisinya ambigu, banci.

*Pegiat Media Sosial


Berita terkait
Denny Siregar: Antara Fadli Zon dan Rahayu Keponakan Prabowo
Wakil Ketua Gerindra Rahayu Saraswati ponakan Prabowo dukung Jokowi berantas FPI. Fadli Zon anggota Gerindra kayak juru bicara FPI. Denny Siregar.
Fadli Zon: Pembubaran FPI, Penembakan Laskar dan Penahanan Habib Rizieq
Anggota Komisi I DPR Fadli Zon berpendapat pembubaran FPI serentetan dari penembakan yang menewaskan enam laskar dan penahanan Habib Rizieq Shihab.
Fadli Zon Minta Pemerintah Jawab, Kenapa FPI Tak Dilarang Sejak 2019
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon mempertanyakan keputusan pelarangan aktivitas Front Pembela Islam kenapa tidak terjadi sejak Juni 2019?
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.