Jakarta - Pakar hukum pidana Fachrizal Afandi menilai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) belum cukup mengurangi disparitas putusan perkara tipikor.
"Perlu revisi UU Tipikor dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)," ujar Fachrizal dalam siaran pers yang diterima Tagar, Sabtu, 15 Agustus 2020.
Menurut Fachrizal pedoman pemidanaan yang digagas Mahkamah Agung merupakan kebijakan yang baik. Sebab, pada dasarnya aturan tersebut ikhtiar menghindari adanya disparitas yang tidak wajar.
"Namun yang perlu dicatat, karena hukum acara kita sebagian besar masih menganut civil law, pedoman seperti ini nampaknya lebih cocok diimplementasikan di Kejaksaan, alih-alih pengadilan," ucapnya.
Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Sistem Peradilan Pidana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Persada) Universitas Brawijaya Malang ini, menurutkan proses transplantasi hukum acara, terlebih yang berasal dari sistem yang berbeda harus dilakukan secara holistik dan hati-hati.
Selain itu, apabila mengadopsi system numerical guidelines ala common law system, harus ada penyesuaian peraturan perundang-undangan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Tentu masalah utama terkait rumusan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor harus segera diperbaiki untuk menghindari penafsiran dan praktik yang melebar dan sewenang-wenang," kata dia.
Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin menandatangani Perma Nomor 1 Tahun 2020 pada 24 Juli 2020. Aturan tersebut bertujuan memudahkan hakim dalam mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor terkait kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam Pasal 6 Perma Nomor 1 Tahun 2020 terdapat lima kategori kerugian negara, yakni kategori paling berat lebih dari Rp 100 miliar, kategori berat lebih dari Rp 25 miliar sampai dengan Rp 100 miliar.
Selanjutnya, kategori sedang lebih dari Rp 1 miliar sampai dengan Rp 25 miliar, kategori ringan lebih dari Rp 200 juta sampai dengan Rp 1 miliar, dan kategori paling ringan sampai dengan Rp 200 juta.
Adapun rentang penjatuhan pidana untuk kategori paling berat lebih dari Rp 100 miliar dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan yang tinggi dapat dipidana penjara 16-20 tahun atau seumur hidup dan denda Rp 800 juta sampai dengan Rp 1 miliar.
Sedangkan untuk kategori paling berat lebih dari Rp 100 miliar dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan yang rendah dapat dipidana penjara 10-13 tahun dan denda Rp 500 juta sampai dengan Rp 650 juta.
Kemudian, untuk kategori berat lebih dari Rp 25 miliar sampai dengan Rp 100 miliar dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan yang tinggi dapat dipidana penjara 13-16 tahun dan denda Rp 650 juta sampai dengan Rp 800 juta.
Untuk kategori berat lebih dari Rp 25 miliar sampai dengan Rp 100 miliar dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan yang rendah dapat dipidana penjara 8-10 tahun dan denda Rp 400 juta sampai dengan Rp 500 juta. []