Jakarta - Head of Invest Avrist Asset, Farash Farich menilai investor sudah menerima kondisi perekonomian di Indonesia yang minus dan utang bertambah, terlepas dari adanya UU Cipta Kerja. Investor umumnya sudah membuat keputusan dengan mempertimbangkan masa depan terlebih dahulu sebelum berinvestasi.
"Untuk pertumbuhan ekonomi minus tahun ini kurang lebih sudah diterima investor, begitu juga peningkatan utang untuk stimulus," kata Farash saat dihubungi Tagar, Jumat 16 Oktober 2020.
Jadi, kata Farash yang menggerakan keputusan investor lebih ada di ekspektasi mereka atas masa depan. Sebab, semua estimasi menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia diperkirakan minus selama tahun 2020.
"Kecuali misal Covid-19 memburuk signifikan, di mana data kita semakin mirip India dan Brasil, PSBB lagi dan meluas seperti di kuartal kedua. Dengan demikian kontraksi ekonomi bisa lebih tinggi dari perkiraan harapan sekarang," ucap Farash.
Di satu sisi, kata dia, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat naik belakangan ini tak bisa disebut karena efek dari UU Cipta Kerja. Sebab, pergerakan pasar modal dalam jangka pendek sulit dijadikan indikator.
"Kinerja seminggu terakhir juga cenderung flat, di samping itu ada faktor eksternal yang membaik. Jadi, sulit dalam jangka pendek melihat efek kuat UU Cipta Kerja mempengaruhi pergerakan IHSG dalam jangka pendek," ujar Farash.
Namun, kata Farash, secara umum investor berharap adanya Omnibus Law dari berbagai undang-undang di dalamnya serta aturan pendukungnya bisa membawa hasil positif nantinya. Adapun hasil positif yang diharapkan, seperti pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kinerja emiten, penurunan pengangguran, stabilitas rupiah dalam jangka panjang. "Bila itu terwujud maka dengan sendirinya valuasi nilai saham emiten akan meningkat dengan stabil di masa depan," tuturnya.
- Baca Juga: Pengamat: IHSG Naik Belum Tentu Efek UU Cipta Kerja
- Asosiasi Emiten Sebut UU Cipta Kerja Membuat IHSG Menghijau