PBB Soroti Sejumlah Perusahaan Minyak Raksasa di KTT Iklim Dubai 2023

Apalagi, Presiden COP28, Sultan Al Jaber, juga merupakan kepala ADNOC, perusahaan minyak dan gas nasional Uni Emirat Arab
Insinyur dan jurnalis Saudi di Aramco melihat proyek gas Hawiyah di Hawiyah, di Provinsi Timur Arab Saudi pada 28 Juni 2021. (Foto: voaindonesia.com/AP)

TAGAR.id, Dubai, Uni Emirat Arab - Perusahaan-perusahaan energi Barat biasanya menjadi tersangka utama ketika muncul kritik mengenai peran sektor tersebut dalam perubahan iklim. Namun ternyata juga terdapat perusahaan-perusahaan milik negara yang kurang berpengaruh tetapi turut mendominasi industri itu.

Sejumlah perusahaan energi tersebut akan menjadi pusat perhatian pada KTT Iklim PBB yang dibuka pada Kamis (30/11-2023) di Dubai. Apalagi, Presiden COP28, Sultan Al Jaber, juga merupakan kepala ADNOC, perusahaan minyak dan gas nasional Uni Emirat Arab.

Masa depan bahan bakar fosil menjadi inti konferensi yang akan diselenggarakan selama dua minggu ini. Negara-negara yang hadir berada di bawah tekanan untuk menyetujui penghapusan penggunaan minyak, gas, dan batu bara secara bertahap guna memenuhi tujuan Perjanjian Paris yang membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius.

“Meskipun perhatian sering terfokus pada peran perusahaan-perusahaan besar, yaitu tujuh pemain internasional yang besar, mereka menguasai kurang dari 13 persen produksi dan cadangan minyak dan gas global,” kata Badan Energi Internasional (IEA) dalam sebuah laporan pada pekan lalu.

Perusahaan minyak nasional “menyumbang lebih dari separuh produksi global dan hampir 60 persen cadangan minyak dan gas dunia,” tambah badan yang berbasis di Paris tersebut.

BUMN dan perusahaan minyak besar – termasuk BP, Chevron, ExxonMobil, Shell dan TotalEnergies – semuanya akan “berperan penting dalam upaya mencapai emisi nol bersih” pada 2050, kata IEA.

Alice McGownAlice McGown memegang tanda bertuliskan "tidak ada lagi fosil" sambil berpakaian seperti duyung di KTT Iklim PBB COP28, Minggu, 3 Desember 2023, di Dubai, Uni Emirat Arab. (Foto: voaindonesia.com/AP)

Kuat secara Politik

Perusahaan-perusahaan migas nasional raksasa di antaranya perusahaan minyak terbesar di dunia Saudi Aramco, hingga Rosneft dari Rusia, perusahaan China CNOOC dan Petrobras dari Brazil.

Beberapa perusahaan mengeksplorasi sumber daya di wilayah mereka sendiri, sementara yang lain, yang dikenal sebagai “perusahaan minyak nasional internasional”, melakukan eksplorasi di mancanegara.

“Perusahaan-perusahaan ini memiliki sumber daya berskala sangat besar,” kata Ben Cahill, peneliti senior bidang keamanan iklim dan energi di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS).

Negara-negara tersebut juga “umumnya memiliki biaya produksi yang rendah yang berarti bahwa mereka kemungkinan akan terus memproduksi minyak untuk jangka waktu yang lama karena mereka memiliki skala dan sumber daya yang murah,” tambah Cahill.

Negara-negara seperti Arab Saudi atau Rusia, memiliki pengaruh besar terhadap harga minyak dunia karena mereka dapat menurunkan atau menaikkan harga dengan mengoordinasikan pemotongan produksi melalui aliansi OPEC+ yang terdiri dari sejumlah negara produsen utama.

Operasi dan produk mereka merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca, tetapi sangat sedikit perusahaan nasional yang membuat target iklim.

Kilang minyak PetroChinaKilang minyak PetroChina Jilin Petrochemical Co. di Jilin, timur laut China, Senin, 24 Mei 2004. (Foto: voaindonesia.com/AP)

Namun terdapat pengecualian terhadap perusahaan-perusahaan besar seperti Saudi Aramco, ADNOC, PetroChina, dan Petrobras, karena mereka menetapkan target netral karbon pada 2045 atau 2050.

Hanya lima dari 21 BUMN dunia "yang secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki strategi terkait transisi energi dan kebutuhan untuk memitigasi risiko terkait,” menurut Natural Resource Governance Institute (NRGI).

“Di beberapa negara penghasil minyak, hasil bumi tersebut mempunyai kekuatan politik yang sangat besar sehingga industri minyak tidak menginginkan kendaraan listrik beroperasi dan mereka tidak ingin energi terbarukan bersaing dengan gas mereka,” kata David Manley, analis ekonomi utama di NRGI.

Cukup Buram

Sejumlah perusahaan BUMN juga kurang sensitif terhadap tekanan sosial dibandingkan negara-negara Barat yang harus bertanggung jawab terhadap investor yang semakin sadar akan iklim.

“Karena mereka tidak terdaftar di bursa saham, mereka tidak memiliki pemegang saham aktivis” di dewan direksi mereka, kata Manley.

"Sebagian besar dari perusahaan-perusahaan tersebut tidak jelas. Sangat sedikit informasi yang dipublikasikan tentang perusahaan-perusahaan tersebut. Jadi sangat sedikit akuntabilitas publik atau bahkan pemerintah terhadap keadaan perusahaan-perusahaan ini,” katanya.

Nicolas Berghmans, pakar energi dan iklim di lembaga kajian Institut Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungan Internasional di Paris, mengatakan BUMN energi menyumbang sebagian besar pendapatan negara mereka, bahkan di negara dengan perekonomian yang lebih terdiversifikasi.

Namun IEA memperkirakan permintaan bahan bakar fosil akan mencapai puncaknya pada dekade ini karena pertumbuhan “spektakuler” dalam teknologi energi ramah lingkungan dan mobil listrik.

“Prospek menurunnya permintaan minyak dan gas menambah dimensi baru terhadap kebutuhan negara-negara ini untuk mendiversifikasi perekonomian mereka,” kata Christophe McGlade, kepala unit pasokan energi di IEA.

Tim Gould, Kepala Ekonom Energi IEA, mengatakan bahwa “elemen yang tidak dapat dinegosiasikan” adalah bagi perusahaan minyak, termasuk BUMN, untuk mengurangi emisi dari operasi mereka.

Dia mengatakan perusahaan seperti Saudi Aramco atau ADNOC “memiliki peran kepemimpinan yang sangat penting di sana, dan mereka benar-benar dapat menentukan apa yang mungkin terjadi, apa yang menjadi agenda.” (ah/rs)/AFP/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Raksasa Perusahaan Minyak AS Chevron Akan Beli Hess Senilai 53 Miliar Dolar AS
Perusahaan energi raksasa Amerika Serikat (AS), Chevron, akan membeli saingannya Hess dalam sebuah transaksi bernilai 53 miliar dolar AS