Untuk Indonesia

Opini: Yusril Bukan Kuasa Hukum Moeldoko

Kami sungguh tak habis pikir, informasi yang menyesatkan dari siapa itu hingga Rachland bisa mengatakan demikian?
Saiful Huda Ems (Foto: Tagar/Twitter @SaifulEms)

Saiful Huda*

Rupa-rupanya para penyembah Dinasti Cikeas semakin terdesak dan "teler" oleh serangan demi serangan politik dan hukum yang dilancarkan oleh para pendiri dan kader Partai Demokrat pro Moeldoko, hingga orang seperti Rachland Nashidik semakin membabi buta mengemukakan tuduhan demi tuduhannya pada Pak Moeldoko dan pihak istana. 

Dalam sebuah opini yang ditulisnya, Rachland mengatakan bahwa Prof. Yusril Ihza Mahendra mengaku sebagai kuasa hukum Moeldoko dalam perkara judicial review ke Mahkamah Agung

Kami sungguh tak habis pikir, informasi yang menyesatkan dari siapa itu hingga Rachland bisa mengatakan demikian? Apakah karena Rachland ini begitu dekatnya dengan lingkaran elit Trio Yudhoyono yang banyak bermasalah itu, seperti si mantan pecandu narkoba dan si mantan narapidana korupsi itu, hingga Rachland jadi ikut-ikutan teler dan linglung saat memberikan pernyataan?

Kami tegaskan sekali lagi disini, bahwa Prof. Yusril bukanlah kuasa hukum Pak Moeldoko, melainkan kuasa hukum empat orang kader Partai Demokrat yang mengajukan perkara judicial review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung. 

Itu semua dilakukannya, karena empat orang kader Partai Demokrat ini tau persis bahwa Trio Yudhoyono telah merekayasa AD/ART Partai Demokrat 2020 seenaknya sendiri, tidak mengindahkan prosedur yang benar dan sangat tidak demokratis, serta bertentangan dengan Undang-Undang Partai Politik, yakni Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dengan perubahan-perubahannya. 

Langkah mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung dilakukan untuk menguji secara formil dan materiil AD/ART Partai Demokrat 2020, yang selama ini digunakan untuk memperkokoh kekuasaan Dinasti Cikeas atau Dinasti Yudhoyono di Partai Demokrat itu, karena AD/ART Partai Politik itu dibuat oleh Partai Politik atas perintah dan delegasi yang diberikan oleh UU Partai Politik.

Rahland Nashidik dalam opininya juga menuduh pihak istana seakan terlibat dalam persoalan penggulingan si Bocah Brewokan Putra Pepo Yudhoyono di Partai Demokrat, hanya karena Rachland melihat Presiden Jokowi membiarkan saja kejadian itu, hingga menurut Rachland itu pada hakikatnya adalah krisis moral politik.

Memang sejak kapan Rachland faham soal krisis moral politik? Bukankah bosnya Rachland, yakni SBY yang justru telah lama mengalami longsor moral politik? Begitu sadar SBY tidak akan bisa mencalonkan sebagai Presiden RI lagi, maka secepat kilat SBY "menghabisi" Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan loyalis-loyalisnya, serta menghabisi para pendiri serta kader-kader kritis di Partai Demokrat seperti Bang Johni Allen Marbun, Bang Marzuki Alie, Bang Darmizal dll.? Kenapa Rachland mingkem saja melihat semua kejadian itu?.

Pihak istana sama sekali tidak terlibat dalam persoalan penggulingan si Bocah Brewokan Putra Pepo Yudhoyono, karena sejak awal Presiden Jokowi sepertinya sangat disibukkan oleh berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang harus beliau tuntaskan. 

Kalau saja Presiden Jokowi mau ikut campur dalam persoalan ini, maka tentu saja Menteri Hukum dan Ham Pak Yasonna Laoly akan mengesahkan KLB Partai Demokrat KLB. 

Iya kan, logikanya harusnya begitu kan? Tapi pada kenyataannya kan Kemenkumham tidak mengesahkan KLB Partai Demokrat? Nampaknya Presiden Jokowi menilai, persoalan konflik internal Partai Demokrat, adalah persoalan perlawanan kader-kader Partai Demokrat itu sendiri terhadap Bapak Mangkrak Indonesia yang malu dan merasa tertampar atas ulah Trio Yudhoyono yang berkuasa di Partai Demokrat bagaikan Raja Diraja, sebab Trio Yudhoyono memimpin Partai Demokrat dari seluruh penjuru mata angin. 

Mulai dari Ketum, Waketum, Ketum Majelis Tinggi, Ketua Banggar DPR RI dll. sampai Sang Menantu Nyonya Nyinyir yang merangkap jadi jubir gelap Dinasti Cikeas di Partai Demokrat.

Jadi kembali lagi ke tema awal, bahwa Prof. Yusril Ihza Mahendra itu bukanlah kuasa hukum dari Pak Moeldoko Ketua Umum Partai Demokrat yang gagah dan berwibawa itu, melainkan kuasa hukum dari empat kader Partai Demokrat yang mengajukan judicial review ke MA. 

"Pasukan" hukum Pak Moeldoko yang diketuai oleh Rusdiansyah, advokat muda yang kritis dan pemberani berambut hijau lumut itu justru sedang fokus bertempur di PTUN untuk menggugat keputusan Kementerian Hukum dan HAM (tergugat) serta AHY (tergugat intervensi). 

Dalam sidang gugatan DPP Partai Demokrat KLB Kamis 23 September 2021 lalu, pihak kami (DPP Partai Demokrat KLB) telah memberikan tambahan 19 bukti surat dan menghadirkan saksi fakta, yakni Ketua DPC Marcus Pentury dan Ibu Mega Ketua DPC Kab. Serang.

Tergugat dan Tergugat Intervensi mengejar legal standing dan sudah dijawab tuntas bahwa AHY sudah didemisionerkan di KLB, dan pemecatan Marcus Pentury setelah KLB tidak berlaku. 

Sedangkan Ibu Mega masih ketua yang sah karena tidak pernah mengundurkan diri atau menerima surat pemecatan dari AHY dan masih terdaftar di Sipol KPU. Keduanya menyampaikan bahwa Kongres V Partai Demokrat 2020 pimpinan AHY bertentangan dengan AD/ART 2015 dan UU Partai Politik. 


AHY anak Pepo yang masih belajar politik itu harus kalian arahkan untuk menjadi pengikut Partai Demokrat kepemimpinan Pak Moeldoko jika kalian tidak ingin jadi gelandangan politik setelah Pemilu 2024!


Tidak pernah ada pembahasan AD/ART dan Pemilihan Ketua Umum, dan AD/ART 2020 bertentangan dengan UU Parpol, sebab mana ada pemilihan Ketum langsung dipaket dari bapaknya sendiri yang jadi Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, memangnya ini Partai Politik atau Parto Pelawak? 

Olehnya hal tersebut menjadi dasar diselenggarakannya KLB di Deli Serdang yang kemudian menarungkan dua orang tokoh, yakni Moeldoko dan Marzuki Alie, dan yang akhirnya terpilihlah Dr. Moeldoko secara demokratis. Ini baru pemilihan Ketum beneran kan? Beda dengan pemilihan Ketum AHY yang paketan dari SBY, memangnya ngisi pulsa kuota?.

Masih menurut para saksi fakta yang dihadirkan dalam persidangan di PTUN itu, KLB di Deli Serdang dilaksanakan berdasarkan UU Parpol karena tidak mungkin dilaksanakan berdasarkan AD/ART yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan UU Parpol. Pelaksanaan KLB di Deli Serdang sangat demokratis, dimana semua tahapan mulai tata tertib, pembahasan AD/ART dan pemilihan Ketum dilaksanakan sebagaimana ketentuan. 

Tidak ada manipulasi seperti Kongres V Partai Demokrat di Jakarta 2020 yang penuh rekayasa Trio Yudhoyono. Nah, begitu jelas dan terang benderangnya para saksi fakta mengungkapkan kesaksiannya di PTUN Jakarta, yang bagaikan guntur meledak-ledak di Hambalang, lalu bagaimana mungkin para loyalis SBY memelintir berita seolah-olah para saksi fakta mendukung AHY?

Segala fakta telah terungkap di PTUN dan semuanya menghempas ke Cikeas, akankah Rachland Nashidik dan para loyalis Trio Yudhoyono lainnya masih akan betah menjadi pendukung Dinasti Cikeas yang telah menghancurkan Partai Demokrat menjadi partai yang bercorak oligarkis, monolitik dan diktator? 

Ingat, perolehan suara nasional Partai Demokrat yang dahulu berjaya, di Pemilu 2019 dalam kendali Trio Yudhoyono anjlok menjadi 7,77 % atau anjlok dari urutan ke 4 (di Pilpres 2014) menjadi urutan ke 7 dari 9 partai yang ada di parlemen. Ini semua tidak bisa dibiarkan jika kalian tidak ingin partai ini nyungsep alias tenggelam di Pemilu 2024. 

AHY anak Pepo yang masih belajar politik itu harus kalian arahkan untuk menjadi pengikut Partai Demokrat kepemimpinan Pak Moeldoko jika kalian tidak ingin jadi gelandangan politik setelah Pemilu 2024! Ayo cerdaslah sedikit Rachland dkk. Waktu kalian tinggal sedikit lagi, setelah itu Dinasti Cikeas akan tinggal puing-puing kenangan seperti Candi Ratapan Hambalang yang menyesakkan dada.[]


*Kepala Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat pimpinan Dr. H. Moeldoko.

Baca Juga:

Berita terkait
Demokrat: Dalil-Dalil Gugatan Moeldoko Tidak Memenuhi Syarat
Pihak Moeldoko tidak memberikan bukti yang sesuai untuk menguatkan gugatannya terkait penolakan pemerintah terhadap hasil KLB Deliserdang.
Fernando Emas: Loyalis AHY Jangan Linglung dan Pikun
Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas mengatakan loyalis AHY untuk tidak pikun atau berkurangnya daya ingat dan memori yang tersimpan.
Fernando Emas : Judicial Review AD/RT Demokrat Sangat Tepat
Hal ini menjadi pembelajaran bagi semua partai politik agar jangan sampai AD dan ART partainya melampaui UU Partai Politik.