Untuk Indonesia

Opini: Organisasi Mahasiswa: Lanjut atau Bubar?

Konsekuensi dari pergaulan mahasiswa yang makin luas tersebut adalah pergeseran spektrum atau paradigma berpikir dan gerakan mahasiswa itu sendiri.
M Fadil Tegar Syafian, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

TAGAR.id, Jakarta - Akhir-akhir ini saya mengalami kegaduhan dalam pikiran saya sendiri terhadap organisasi mahsiswa baik itu organisasi mahasiswa intra kampus ataupun ekstra kampus (ORMEK), banyak juga kalangan yang membahas bahkan hingga mahasiswa itu sendiri, yang perbincangannya selalu mengkerucut pada satu sub-tema yang besar yaitu Organisasi mahasiswa harus dilanjutkan atau dibubarkan saja.

Sebelum membahas ini lebih jauh, mari kita sepakati bahwa organisasi kampus yang dimaksud di sini adalah organisasi yang terikat dalam satu ikatan ideologis, baik di internal kampus seperti BEM atau Himpunan, maupun organisasi eksternal kampus layaknya HMI, PMII, GMNI, GMKI, KAMMI, dan lain sebagainya.

Pertanyaan ini menjadi menarik di tengah dunia kampus yang makin luwes dan global, di mana interaksi yang terjalin antar-mahasiswa tidak hanya terjadi dalam lingkungan kampus mereka belajar itu sendiri, namun justru lebih luas, bahkan secara internasional.

Konsekuensi dari pergaulan mahasiswa yang makin luas tersebut adalah pergeseran spektrum atau paradigma berpikir dan gerakan mahasiswa itu sendiri. Misalnya dalam skala kecil, dari gerakan yang bersifat eksklusif-ideologis, bertransformasi menjadi gerakan inklusif-kolaboratif, seperti gerakan berbasis teknologi, layaknya start-up.

Melihat interaksi mahasiswa yang makin dinamis tersebut, sebenarnya layak bagi kita untuk bertanya, apakah organisasi mahasiswa saat ini masih relevan atau malah sebaliknya?

Seperti yang saya singgung diatas apakah mampu organisasi mahasiswa saat ni beradaptasi diera revolusi industri 4.0, pergeseran paradigma, dan medan perjuangan, ditambah lagi hadirnya program magang, kampus merdeka, volunteering, bootcamp, hingga komunitas yang secara langsung menambah hardskill dalam dunia profesional. 

Meninjau dari tantangan persaingan kerja saat ini, mahasiswa cenderung memilih program tersebut kebanyakan dari mahasiswa menilai bahwa program tersebut lebih menguntungkan dibandng organisasi mahasiswa yang kegiatannya diisi dengan rapat-rapat, dan segudang proram kerja, poltik internal dan eksternal yang membuang waku dan belum tentu juga semuanya menghasilkan output yang positif dan membangun.

Itu juga yang menjadi pembeda antara gerakan organisasi mahasiswa masa kini, dan aktivis jaman dulu sebelum reformasi, jika aktivis sebelum reformasi (angkatan 90) memilki fokus isu gerakan bersama yaitu penggulingan soeharto dan reformasi, Namun, hari ini, hal tersebut berbeda. 

Jika wacana yang didengungkan 20-an tahun silam lebih bernuansa nasional, hari ini organisasi mahasiswa seharusnua justru memiliki spektrum yang lebih luas dan global. Misalnya, wacana-wacana yang berkembang di mahasiswa hari ini bersifat green, seperti daur ulang sampah, penggunaan botol tumblr, renewable energy, atau isu ramah lingkungan (environmental) atau juga isu keseteraan gender, HAM dan lainnya, bukan malah sibuk untuk mengambilkan keuntungan untuk diri sendiri. 

Contoh dikampus saya tercinta dimana mahasiswanya hanya fokus pada hal yang bersifat oportunis dan euphoria saja, hingga melupakan esensi nya sebagai masyarakat intelektual, sebagai penyambung lidah rakyat.

Maka dari itu diperlukannya rediscovery dan pembaruan atas identitas organisasi mahasiswa saat ini agar Organisasi mahasiswa dapat lebih diminati di era modern dengan menghadirkan isu-isu yang relevan dan menarik bagi mahasiswa.


Benang Merah

Secara pribadi, saya tetap optimis jika organisasi kampus yang sudah mapan selama ini, baik di lingkungan internal maupun di eksternal kampus, akan tetap bertahan dalam beberapa kurun waktu mendatang. 

Namun, penting juga bagi teman-teman aktivis yang selama ini aktif di organisasi tersebut untuk berpikir lebih reflektif: apakah organisasi ini yang mahasiswa butuhkan hari ini?

Dari beberapa paparan di atas, ada baiknya bagi teman-teman untuk sedikit memodifikasi wacana ataupun cara bergerak selama ini. 

Misalnya, jika selama ini gerakan lebih dilandaskan pada isu-isu internal kampus atau eksklusif seperti agama, HAM atau kesukuan, cobalah untuk membuka keran kolaborasi lintas sektor dan gerakan. Sehingga, ikatan interaksi yang terbangun oleh mahasiswa menjadi lebih fleksibel dan inklusif.

Kedua, tidak ada salahnya untuk mengarusutakaman isu-isu global ke dalam agenda-agenda organisasi. Dengan demikian, wacana yang diciptakan menjadi lebih bervariasi, dianggap lebih up to date dengan apa yang dunia hari ini bicarakan. Walau, tentu saja, tidak bisa melepaskan wacana utama yang selama ini telah diperjuangkan.

Serta, memberikan nilai tambah pada keilmuan dan keterampilan yang akan dibutuhkan mahasiswa di masa mendatang. Misalnya, pada penguasaan IT, literasi teknologi dan media dan beberapa isu-isu seksi dan kekinian lain yang dibutuhkan mahasiswa hari ini di masa mendatang

Pada akhirnya, dengan memperkuat interaksi kolaborasi yang inklusif, penguasaan wacana-wacana global serta keterampilan yang dibutuhkan untuk masa mendatang, saya berpikir, organisasi, baik yang ada di dalam maupun di luar kampus, dapat bertransformasi menjadi organisasi yang lebih kuat dan adaptif.

Karena memiliki nilai dan ideologi yang sudah ajeg dan solid, namun juga mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman yang fleksibel serta terbuka. Selamat Berproses.


M Fadil Tegar Syafian, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya*

Berita terkait
Presiden Biden Ampuni Lebih Banyak Utang Biaya Kuliah Mahasiswa AS
Pengampunan yang diberikan presiden dari Partai Demokrat itu akan membantu 125.000 peminjam dengan menghapuskan utang sebesar 9 miliar dolar AS
Opini: Masihkah Mahasiswa Jadi Barometer Kekuatan Masyarakat?
Pernyataan ini banyak bermunculan pada masyarakat yang pernah menjadi aktivis kampus.
Nadiem Makarim Tak Lagi Wajibkan Mahasiswa S1 Kerjakan Skripsi, Begini Alasannya
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim tidak lagi mewajibkan mahasiswa S1 mengerjakan skripsi.