Opini: Pancasila Sakti

Saya kehilangan momentum untuk mengucapkan selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila, karena tulisan ini terlamat muncul.
Presiden Jokowi memimpin upacara Peringatan Harlah Pancasila, yang digelar di Kawasan Monas, Jakarta, 1 Juni 2023. (Foto: setkab.go.id/Humas Setkab/Oji)

Oleh: Bagas Pujilaksono, Akademisi Universitas Gadjah Mada

Saya kehilangan momentum untuk mengucapkan selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila, karena tulisan ini terlamat muncul. Better late than nothing.

Selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober.

Pancasila adalah kita. Bung Karno mengiventaris nilai-nilai Pancasila dari bumi Nusantara yang ada pada manusia-manusia Indonesia. Suatu nilai-nilai luhur yang mengendap dalam waktu yang lama dalam diri manusia Indonesia, menjadi tradisi dan budaya Nusantara. Itulah Pancasila.

Nilai-nilai luhur universal tersebut disentesa oleh Bung Karno dengan penalaran dan insting yang kuat menjadi sebuah frasa yang elok dan indah.

Ketuhanan Yang Maha Esa dengan cara Manusiawi, adil dan beradab. Demi terwujudnya Persatuan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, demi terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pancasila adalah Ideologi Politik yang sifatnya sosialis.

Saya tidak ingin membongkar Pancasila pada tulisan ini, sebuah kajian filosofis Pancasila sebagai cabang Ilmu Filsafat, karena bukan itu tujuan saya kali ini.

Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober, terkait dengan tragedi Pembunuhan para Pahlawan Revolusi oleh PKI dengan cara keji dan biadab

Fakta sejarah tegas dan jelas menunjukkan, PKI gagal mengganti Pancasila dengan Ideoligi Komunis, dalam sebuah kudeta berdarah. Saya tidak bilang kudeta militer.

Nabok nyilih tangan, penalaran politik mengharuskan pada suatu conclusion, bahwa tragedi 30 September 1965, PKI bukan pemain tunggal. Ada kekuatan politik besar, yang selama ini menjadi rivalnya PKI, yang berkepentingan Bung Karno terjungkal. 

Termasuk infiltrasi kekuatan asing yang hanya imbas-imbis takut secara head to head dengan kharisma Bung Karno, memanfaatkan manusia-manusia Indonesia pengkhianat untuk menjatuhkan Bung Karno.


Pancasila sakti, tidak tergantung terjadi atau tidaknya tragedi 30 September 1965.


Saya beradai-andai, jika PKI tidak berontak pada 30 September 1965, apakah posisi Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, dan Pemimpin Besar Revolusi, aman?

Jawabnya jelas dan tegas, TIDAK AMAN. Bung Karno akan dijungkalkan dengan cara lain. Tujuan utamanya menjatuhkan Bung Karno.

Bung Karno adalah negarawan sejati, berdiri atas semua golongan. Saya tegaskan disini, Bung Karno tidak terlibat Tragedi Berdarah 30 September 1965. Bung Karno adalah korban seperti Jenderal Yani dkk, yang akhirnya Bung Karno jadi tumbal keutuhan bangsa dan negara.

Pancasila sakti, tidak tergantung terjadi atau tidaknya tragedi 30 September 1965. Pancasila memang sakti, sebagai ideologi politik negara karena dudukung oleh manusia-manusia Indonesia yang masih waras merasa sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi budaya bangsanya sendiri.

Momentum PKI sudah lewat, karena PKI dan ideologi komunis sudah dilarang oleh Negara.

Ada kelompok orang yang masih getol memanfaatkan isu PKI untuk kepentingan politiknya, untuk mendeskriditkan orang lain yang menghalangi jalannya. Padahal dirinya sendiri yang behaves like PKI.

Apa bedanya ekstrem kanan dan kiri? Tidak ada bedanya, sama saja, sama busuk dan bahaya bagi Pancasila dan NKRI.

Saat ini, kelompok ekstrem kanan tampak leluasa dan aman-aman saja, sluman slumun slamet, karena iklim demokrasi dan kebebasan.

Fakta, saat ini, Pancasila dan NKRI dalam ancaman serius kelompok ekstrem kanan, yang secara terang-terangan akan menggeser Pancasila dengan ideologi kadrun.

Menjelas Pilpres dan Pileg 2024, mereka bermain politik kamuflase untuk mengelabuhi publik, bergaya sok nasionalis, sok pluralis, dan sok kultural (mana ada onta pakai blangkon?). Semua hanya bohong-bohongan belaka.

Bagaimana rezim Orba membuang jejak, seolah bukan biang kerok kejatuhan Bung Karno?

Menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahakan kekuasaan, adalah modus rezim Orba. Sekaligus bukti, bahwa rezim Orba adalah kekuatan politik besar yang juga berkepentingan menjatuhkan Bung Karno.

Pancasila Sakti bukan hanya selogan tanpa makna, namun sebuah tantangan kedepan bagi bangsa Indonesia.

Hanya Ganjar-Mahfud yang secara konsisten berintegritas pada komitmen kebangsaannya. []

Berita terkait
Opini: Masihkah Mahasiswa Jadi Barometer Kekuatan Masyarakat?
Pernyataan ini banyak bermunculan pada masyarakat yang pernah menjadi aktivis kampus.
Opini: Peristiwa 30 September 1965
Hari ini saya memasang bendera merah putih setengah tiang untuk menghormati para pahlawan revolusi yang telah dibantai oleh PKI secara sadis.
Opini: Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan
Tulisan opini menanggapi Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 57 Tahun 2023 tentang wajib lapor lowongan pekerjaan bagi pwrusahaan-perusahaan.
0
Opini: Pancasila Sakti
Saya kehilangan momentum untuk mengucapkan selamat merayakan Hari Kesaktian Pancasila, karena tulisan ini terlamat muncul.