Untuk Indonesia

Opini: Dekonstruksi Keadilan yang Bermartabat

Bicara ber-keadilan scenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat.
Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan. (Foto dok Pribadi)

Oleh: Darwin Steven Siagian, Advokat, Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Parahyangan

A.Pendahuluan

Bicara ber-keadilan scenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Studi hukum tidak akan lepas dari sebuah kondisi teks yang memiliki tujuan tertentu. Agar tujuan yang terkandung dalam makna teks secara hakiki dapat tercapai, diperlukan adanya dekonstruksi hukum. Melalui dekonstruksi, upaya pembangunan hukum di Indonesia yang selama ini dikenal hanya sebatas hukum yang berlaku secara yuridis-formal, perlu dimaknai kembali sehingga mencakup nilai-nilai kemaslahatan yang berlaku secara universal. Meskipun perlu diakui, bahwa nilai-nilai kemaslahatan tetap tidak akan mampu menciptakan kepastian hukum, kecuali melalui upaya supremasi hukum yang berupa teks-teks itu sendiri. Untuk menciptakan kepastian hukum (legal certainty), ajaran itu hampir pasti mutlak diperlukan, namun dalam realitas empirisnya ajaran hukum modern tersebut tidak begitu saja dapat diterapkan begitu saja menjadi rule of law tanpa melihat sebagai rule of morality.

Hukum dan etika memiliki keterkaitan diantara keduanya. Namun, tak jarang terjadi pertentangan antara hukum dengan etika. Kedua bahan hukum tersebut diinventarisasi untuk memperoleh analisis hukum yang bersifat preskriptif; serta memberikan studi konseptual holistik tentang masalah hukum yang dibahas. Penelitian hukum ini bertujuan untuk menganalisa kedudukan etika dalam instrumen hukum di Indonesia. Di sisi lain, kedudukan norma etika dan hukum di Indonesia adalah sederajat; dan bersumber pada Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Hidup yang tenang dan sederhana memberikan lebih banyak kebahagiaan, dibanding mengejar kesuksesan yang terus terikat dengan ketidaktenteraman," tulis Einstein dalam catatan pertama.

Perkembangan kehidupan dan perilaku masyarakat terjadi begitu cepat, sehingga perubahan hukum tidak cepat menyesuaikan dengan perkembangan perubahan yang terjadi yang mengakibatkan berbagai norma yang dimuat didalamnya selalu ketinggalan dari perubahan yang terjadi. Sebagai pendukung teori kegunaan (utility theory), Bentham mengatakan bahwa tujuan hukum harus berguna bagi individu masyakat demi mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Bentham dianggap sebagai bapak hukum Inggris karena pemikiran-pemikiran teoretisnya yang dinilai mendukung hukum yang berlaku di Inggris yakni common law

B.Permasalahan

1.Apakah keadilan bersifat objektif (hukum¬ alam) atau sebuah konsep yang ada di dalam diri manusia?

2.Apakah keadilan ber¬sifat tunggal atau berlaku secara umum?

C.Pembahasan

Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangkan nilai konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, didalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan.


Teori keadilan bermartabat mencatat suatu sikap dalam pembangunan sistem hukum berdasarkan Pancasila. Dikemukakan, bahwa sistem hukum Indonesia tidak menganut sistem hukum secara mutlak statute law, dan juga tidak mutlak menganut sistem common law, sekalipun banyak yang mendukung pendapat bahwa sistem judge made law itu menjunjung tinggi harkat dan martabat hakim sebagai lembaga atau institusi pencipta hukum, ciri yang menonjol dari teori keadilan bermartabat adalah bahwa dalam melakukan penyelidikan untuk menemukan kaidah dan asas-asas hukum dalam melalui lapisan-lapisan ilmu hukum sebagaimana telah dinyatakan di atas, teori keadilan bermartabat menjaga keseimbangan pandangan yang berbeda pada lapisan-lapisan ilmu hukum itu sebagai suatu konflik. Teori keadilan bermartabat menjauhkan sedini mungkin konflik dalam (conflict within the law).


Derrida akan mengungkapkan : pada dasarnya keadilan pada diri¬nya tidak dapat dipahami secara utuh di dalam bentuk. Oleh sebab itu, keadilan yang identik we-wenang dan kewajiban ini digambarkan sebagai “hantu” atau bersifat mistis. Alasannya tentu saja karena wujud dari keadilan dapat dirasakan se¬cara langsung di dalam wewenang dan kewajiban berlaku benar dan adil, tapi keberadaannya tidak dapat ditunjukkan atau didefinisikan secara pasti.

Dengan analogi dekonstruksi, untuk mengatasi hukum yang disparitas, hukum yang memihak, hukum yang karut-marut, maka dicoba untuk dipersandingkan antara hukum dan keadilan, yaitu ;

1)konsep keadilan sesuai dengan hukum,

2)Ide keadilan berada di luar tatanan hukum,

3)Keadilan bukan kesesuaian dengan hukum dan juga bukan sesuatu yang berada di luar hukum.

Penjelasan diatas dari para filsuf, menjelaskan bahwa keadilan tidak lagi berada dalam undang-undang, keadilan tidak berada dalam keadilan ilahi karena otoritas religius telah kehilngan daya pengikatnya, yang dikemukakan (Kant): keadilan tidak berada dalam keadilan akal budi, atau seperti yang dikemukakan oleh (Rawls) : keadilan yang dibayangkan, dan juga yang dikemukakan oleh (Habermas): pada praksis komunikasi demokrasi tanpa kekerasan, juga tidak ada dalam batas-batas dekonstruksi hukum.


Pembangunan hukum di masyarakat senantiasa dipengaruhi oleh berbagai norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (Pojanowski, 2021). Norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan menjadi unsur internalisasi pembentukan dan perkembangan hukum; terlebih memberikan ‘aroma’ moralitas di setiap proses kristalisasi ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum sebagai pedoman kehidupan sosial masyarakat tentunya memerlukan nilai-nilai etika dan moralitas sebagai pemandu bekerjanya hukum (Menon, 2020). Pada hal tersebut, hukum dikonstruksikan sebagai pancaran dari moral. Oleh karena itu, hukum tidak hanya dimaknai secara tekstual yang hanya berorientasi pada aspek aturan hukum formal dan tertulis. Hukum harus dimaknai secara lebih luas; terutama dengan memahami hukum tidak tertulis serta peran nilai moral sebagai pemandu hukum. Oleh karena itu, bekerjanya hukum di ruang sosial kemasyarakatan juga dipengaruhi oleh peran hukum tidak tertulis serta nilai-nilai etika dan moral. Etika lahir dari gagasan lokal yang diwujudkan dalam tindakan yang baik menurut masyarakat itu sendiri. Bahkan, masyarakat yang senantiasa hidup dengan memperhatikan prinsip-prinsip etika dapat berdampak pada hasil positif dalam penilaian hukum; oleh sebab, setiap masyarakat akan berusaha menjaga kehormatan mereka mengenai keyakinan atas sesuatu adalah 'benar' atau 'salah'.


“Kebusukan yang ada di dalam hukum menunjuk¬kan peran keadilan dalam hal memaksa hukum un¬tuk selalu berubah, dan perubahan tersebut terjadi dari dalam hukum itu sendiri yang menyadari bah¬wa ada sesuatu yang tidak pas dalam hal mewujud¬kan keadilan”.


Gustav Radbruch menuturkan bahwa hukum adalah pengemban nilai keadilan. Karena keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan harus berpangkal hukum positif dan harus juga menjadi unsur mutlak bagi hukum, tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hokum (Bernard L Tanya dkk,2013) Namun bila mengacu pada asas prioritas, Gustav Radbruch mengemukakan bahwa untuk menerapkan hukum secara tepat dan adil dalam memenuhi tujuan hukum maka yang diutamakan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan setelah itu kepastian hokum (Satjipto Rahardjo.2012)


Melihat penjelasan diatas, Penulis ber-argumen ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.

Pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya berkaitan dengan adanya upaya untuk menjaga kualitas serta integritas suatu institusi atau bidang pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam keadilan bermartabat menekankan bahwa hukum memiliki empat fungsi dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :

1)Hukum sebagai kaidah dan kumpulan asas-asas yang bercita moral menjadi pedoman sekaligus pengontrol kehidupan bermasyarakat ;

2)hukum yang berupa kaidah dan kumpulan asas-asas tersebut harus mampu menjadi penyelesai suatu sengketa di masyarakat ;

3)hukum berorientasi pada sarana dan upaya untuk melakukan rekayasa sosial ;

4)fungsi dan peran hukum untuk memelihara ketertiban sosial (social order).


Berkaitan dengan pendapat (Lawrence Friedman) diatas, menyebutkan keadilan bermartabat memiliki persamaan dengan konsepsi sistem hukum meskipun dengan beberapa perbedaan esensial bahwa keadilan bermartabat juga menekankan pada orientasi pada penggalian ideologi serta cita hukum bangsa untuk menjaga harmonisasi sosial di masyarakat.

D.Simpulan:

-Keadilan Bermartabat memandang etika dan moralitas sebagai hal yang wajib terkandung di dalam setiap instrumen hukum yang dibentuk; mengingat nilai-nilai khas yang tumbuh berkembang di masyarakat berasal dari kepatutan dan kebiasaan yang menjadi kebudayaan tindak tanduk. Dengan demikian, aspek etika dan moralitas dianggap sebagai ‘jiwa hukum’ bangsa Indonesia. Bermartabat sebagai suatu teori hukum bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan non-hukum,

-Memakai dekonstruksi hukum, keadilan tidak mungkin direduksi dalam tatanan, baik tatanan hukum atau prinsip akal budi. Melainkan penangguhan penentuan makna dan memutus kontinuitas interpretasi hukum yang ada. Secara tepat Henry Louis Mencken menyebut : politik dekonstruksi sebagai “politik rehat” yakni interpretasi dekonstruktif atas hukum berarti menghentikan sifat umum dari hukum dan memunculkan kelainan dari orang lain serta ‘bahasa dari yang lain”. []

Berita terkait
Opini: Mahkamah Konstitusi, The Gladiator of Constitution
Mahkamah Konstitusi telah melewati batas wewenangnya.
Opini: Kamisan UWKS dan Upaya Bangkitkan Dinamika Pemikiran dan Dialektika di Lingkungan Kampus
Dinamika pemikiran yang dulu begitu kuat kini terlihat semakin memudar di lingkungan universitas tersebut.
Opini: Keputusan MK
Hari ini MK menolak gugatan PSI, mengubah batas minimum usia Capres/Cawapres dari 40 menjadi 35 tahun.
0
Opini: Dekonstruksi Keadilan yang Bermartabat
Bicara ber-keadilan scenderung terjadi konflik dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat.