Kopel: Belum Ada Parpol di Indonesia yang Punya Keuangan Sehat

Komite Pemantau Legislatif menegaskan revisi hukum kepemiluan penting dilakukan. Banyak persoalan substansial yang harus diperbaiki.
Bendera PDI Perjuangan dalam kampanye Pemilu 2019. (Foto: Facebook/PDI Perjuangan)

Jakarta - Meski pembahasan RUU Pemilu sejauh ini belum ada kepastian apakah akan dilanjutkan di DPR RI, Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menegaskan revisi hukum kepemiluan penting dilakukan. Sebab ada banyak persoalan substansial yang harus diperbaiki.

Direktur Kopel Indonesia Anwar Razak saat menjadi pembicara dalam diskusi virtual yang digelar Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan tajuk Maju Mundur Revisi Undang-Undang Pemilu pada Minggu, 7 Februari 2021, menegaskan harapan pihaknya tersebut.

"Ini merupakan momentum untuk melakukan reformasi secara substansial terhadap UU Pemilu. Dalam sistem pemilu kita masih sangat banyak persoalan," katanya.

Menurut Anwar Razak, ada tiga persoalan krusial yang menjadi catatan pihaknya sehingga UU Pemilu yang ada saat ini penting untuk direvisi dan menjawab persoalan kepemiluan itu sendiri.

Selama ini kata Anwar Razak, pembahasan masih berkutat pada sistem pemilu nasional, pemilu daerah, jadwal pilkada, dan ambang batas.

Padahal sebetulnya ada persoalan penting yang mesti dijawab. Pertama terkait dengan kepesertaan pemilu atau parpol-parpol yang ikut pemilu.

"Kami melihat selama ini dalam UU Pemilu kita belum menyentuh bagaimana kemudian mendorong parpol yang sehat dalam pemilu. Yang selama ini menjadi ukuran hanya berapa jumlah kepengurusan sampai ke daerah. Sementara kesehatan parpol dari sisi pendanaan dan pengelolaan tidak tersentuh. Sampai sekarang kita belum menemukan ada parpol yang sehat dari sisi keuangan," ungkapnya.

Kopel Indonesia, ujar Anwar Razak, sejak 2013 sampai hari ini masih mengamati itu dan melakukan riset terkait soal pendanaan parpol.

Kopel Indonesia menemukan, sangat krusial terkait pendanaan parpol ini. Banyak yang tidak tercatat, misalnya pengeluaran kecil padahal banyak sekali kegiatan dengan pendanaan yang begitu besar. Ketika dicek ke laporan tidak kelihatan pendanaan besar. Tapi kegiatan wah, di hotel dsb.

"Berbagai macam kegiatan besar dengan jumlah anggaran besar, tapi tidak kelihatan dalam pelaporan keuangan. Hal ini tidak tersentuh dalam UU Pemilu kita saat ini. Semestinya ini menjadi salah satu poin yang dibicarakan," ujarnya.

Kedua adalah soal rekrutmen calon legislatif atau caleg. Menurut Anwar Razak, publik mencatat dan pihaknya melihat selama ini ada istilah caleg kutu loncat, yakni kader yang pindah dari satu parpol ke parpol lainnya.

Hal ini menjadi pertanyaan, apakah parpol dimaksud tidak melakukan kaderisasi atau sebuah mekanisme yang membuat seorang kader kuat dan tetap bertahan, serta maju sebagai caleg di parpolnya.

Belakangan juga ada istilah caleg transferan, yakni caleg yang memiliki potensi suara besar di sebuah dapil, namun diambil oleh parpol lainnya. 

Kalau kemudian pembahasan RUU Pemilu maju, maka partisipasi publik harus sangat dipertimbangkan

Ini menurut Anwar Razak sebuah kecelakaan dalam mekanisme perekrutan caleg. Parpol yang sudah mengkader calegnya bertahun-tahun namun kemudian ditransfer ke parpol yang lain.

"Itu kecelakaan (dalam rekrutmen caleg) menurut saya," tegasnya.

Hal ketiga yang menjadi perdebatan serius dalam revisi UU Pemilu, kata Anwar Razak, adalah bagaimana mengatasi money politic atau politik uang. Isu menurut dia, belum pernah terselesaikan meskipun ada instrumen di bawah yang bekerja.

Anwar RazakDirektur Kopel Indonesia Anwar Razak. (Foto: Tagar/YouTube Perludem)

Politik uang sejauh ini masih berlangsung secara masif. Penyelenggara dinilai belum bekerja maksimal dan tidak menyelesaikan persoalan.

Baca juga: 

"Mereka (penyelenggara) bekerja. Namun secara masif (politik uang) masih terjadi. Tidak terdeteksi oleh para penyelenggara itu," ujarnya.

Menurut Anwar Razak, isu ini harus dibahas sehingga sistem kepemiluan betul-betul clear dari politik uang. Orang-orang yang masuk di dalam (peserta) tidak bisa melakukan permainan politik uang.

Seseorang yang terpilih tidak bagaimana kemudian berpikir bahwa dirinya sudah mengeluarkan banyak uang, dan sejak awal sudah memulai praktik-praktik politik uang, atau praktik korupsi, bisa berdampak ketika mereka masuk ke lembaga parlemen.

Dia juga menyinggung soal netralitas Aparatur Sipil Negara atau ASN, isu substansial yang sama sekali tidak pernah tersentuh. Mestinya dalam revisi UU Pemilu ini yang harus lebih banyak diperbincangkan dan dibahas lebih awal.

Lebih jauh dia menyebut, sangat disayangkan sejak awal dalam pembahasan revisi UU Pemilu minim sekali partisipasi publik, termasuk tidak memberikan ruang kepada penggiat kepemiluan untuk memberikan masukan.

Padahal perintah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa bukan hanya sosialisasi undang-undangnya, tetapi sejak proses draft sudah mulai disosialisasikan ke publik agar ada tanggapan publik.

"Kalau ini, kalau kami melihat perbincangan itu hanya di seputar fraksi di DPR. Sementara masyarakat sipil hanya membincangkan maju mundur (pembahasan), membincangkan soal tarik menarik. Kita tak membincangkan yang substansial dari kepemiluan. Kalau kemudian pembahasan RUU Pemilu maju, maka partisipasi publik harus sangat dipertimbangkan," tukasnya. []

Berita terkait
NasDem Putar Haluan Tak Mendukung Revisi UU Pemilu
Fraksi NasDem menarik dukungan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Tersandera Isu Pilkada Serentak, NasDem Tolak Revisi UU Pemilu
Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi NasDem menilai pembahasan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu sedang tersandera.
Jimly Asshiddiqie Sayangkan Pemerintah Enggan Bahas RUU Pemilu
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyayangkan sikap pemerintah dan sebagian besar parpol cenderung menolak direvisinya UU Pemilu.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.