Jakarta - Dewan Penasihat Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur Bambang Haryo Soekartono menilai klaim China atas perairan Natuna bisa terjadi karena lemahnya pengawasan dan pengamanan di perairan yang kaya akan sumber daya laut. Hal ini membuat kapal-kapal ikan China yang dikawal Coast Guard China melakukan pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
"Sudah saatnya kita memberdayakan fungsi Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran," katanya kepada Tagar, Senin, 13 Januari 2020.
Klaim China atas Natuna bisa terjadi karena fungsi sea and coast guard tidak berjalan maksimal
Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik Indonesia (KPLP) atau Indonesia Sea and Coast Guard merupakan Direktorat di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Dalam UU Pelayaran, tugas KPLP adalah melakukan penjagaan dan penegakkan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai. Dalam menjalankan tugas, KPLP bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Bambang yang juga politisi Partai Gerindra itu menjelaskan, fungsi coat guard atau penjaga pantai secara panjang lebar dijelaskan dalam Pasal 277 ayat (1) hurus d UU Pelayaran. Dalam pasal tersebut disebutkan, fungsi coast guard adalah melaksanakan tugas pengawasan dan penertiban kegiatan salvage (penyelamatan), pekerjaan bawah air serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut.
Menurutnya, kekosongan wilayah periran Natuna baik dari sisi armada maupun nelayan menunjukkan fungsi coast guard tidak dijalankan dengan baik. Pemerintah malah membentuk Satgas 115 berdasarkan Perpres 115 Tahun 2015 tentang Satgas Pemberantasan Penangakapan Ikan Secara Ilegal. "Tugas utama dari Satgas 115 seharusnya mengembangkan dan melaksanakan operasi penengakan hukum dalam pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal," ucap Bambang.
Bambang menambahkan, fungsi dari Satgas 115 sebenarna sudah tercantum dalam fungsi Coat Guard yang ada dalam UU Pelayaran. Namun sejak disahkan menjadi UU, presiden belum menerbitkan peraturan pelaksana yang mengtur lebih lanjut terkait fungsi dan tugas dari Sea and Coast Guard. "Apabila pemerintah berkomitmen untuk melindngi sumber potensial perekonomian nasional dari sektor kelautan secara menyeluruh, maka Sea and Coast Guard harus diberdayakan," katanya.
Bambang juga menyoroti regulasi yang dikeluarkan eks Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurutnya dirinya tak setuju dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 32 Tahun 2016 tentang larangan penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang, pukat, troll kecil (jaring aktif).
Ia mengatakan kebijakan itu membuat nelayan beralih menggunakan gilnet atau jaring pasif. Penggunaan gilnet dapat mengganggu pelayaran seperti Laut Natuna karena radius jangkauannya bisa mencapai 10 kilometer. "Hal ini dapat mengganggu dan membahayakan kapal-kapal logistik dan kapal penumpang internasional yang melintas di jalur terpadat di dunia. Padahal nelayan dari Vietnam, China dan negara lain masih memakai pukat," ucap Bambang.
Kapal nelayan China yang mencuri ikan di Natuna juga pakai cantrang
Di tempat terpisah, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah harus mencabut larangan kapal tangkap berukuran 150 GT (gross tonnage) untuk menangkap ikan. "Kalau menurut saya, itu seharusnya dibuka saja sepanjang di Laut Natuna, khususnya di wilayah yang diklaim oleh China," kata penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Hikmahanto menambahkan, pemerintah juga perlu melonggarkan aturan para nelayan yang memakai cantrang ketika menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesai dekat perairan Natuna. Selama ini kapal China juga menggunakan cantrang untuk menangkap ikan. Bila penggunaan cantrang diizinkan untuk menangkap ikan di dekat Natuna, maka nantinya pemerintah juga harus melakukan konservasi di wilayah tersebut.[]
Baca Juga:
- Bangun Pangkalan Militer Natuna, DPR: Bukan Pamer
- Kapal China Tinggalkan ZEE, TNI Perketat Jaga Natuna