Indonesia Diminta Tegas Menanggapi Protes China Terkait Natuna

Indonesia diminta bersikap dan menjawab tegas nota protes China terhadap pengeboran minyak dan gas alam di kawasan pantai Natuna Utara
Deputi Menteri Kelautan Indonesia, Arif Havas Oegroseno, menunjukkan lokasi Laut Natuna Utara pada peta baru Indonesia, dalam konferensi pers di Jakarta, Indonesia, 14 Juli 2017 (Foto: Dok/voaindonesia.com/Reuters)

Jakarta – Pemerintah Indonesia diminta bersikap dan menjawab tegas nota protes China terhadap pengeboran minyak dan gas alam di kawasan laut di lepas pantai Natuna Utara, yang merupakan bagian dari wilayah Laut Cina Selatan yang sedang diklaim banyak negara. Eva Mazrieva melaporkannya untuk VOA.

Kantor berita Reuters hari Rabu, 1 Desember 2021, melaporkan bahwa China mengirim nota protes itu awal tahun ini dan secara terang-terangan meminta Indonesia menghentikan pengeboran di rig lepas pantai sementara yang merupakan “bagian dari wilayah China.” Secara terpisah China juga mengirim nota protes tentang latihan militer “Garuda Shield,” yang sebagian besar berlangsung di darat.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada VOA mengatakan “tidak dapat mengkonfirmasi isi berita tersebut,” karena “komunikasi diplomatik, termasuk melalui nota diplomatik, bersifat tertutup.” Namun beberapa narasumber yang dihubungi VOA dan tidak bersedia menyebut identitasnya, mengkonfirmasi hal itu.

Dinna Prapto RaharjaDr Dinna Prapto Raharja, pakar politik dan pendiri Synergy Policies (Foto: voaindonesia.com/Dok Dinna)

Diwawancarai secara terpisah hari Kamis, 2 Desember 2021, Dr Dinna Prapto Raharja, pakar politik dan pendiri Synergy Policies, mengatakan Indonesia harus menanggapi nota protes China itu. “Nota protes China itu tidak berdasar dan menunjukkan bahwa memang tidak ada penghormatan atas kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Nota ini wajib ditanggapi dengan bahasa yang terang dan tidak ditutup-tutupi tentang kekecewaan Indonesia atas komitmen China menghormati kedaulatan negara-negara Asia Tenggara,” ujarnya.

Ditambahkannya, “selama bertahun-tahun China melakukan klaim tidak berdasar yang sama pada negara-negara di ASEAN. Ada mixed messages yang disampaikan China terkait komitmen damai dan penghormatan pada kedaulatan wilayah.”

jokowi di kri di natunaPresiden Joko Widodo, ketiga kanan, didampingi pejabat kapal perang TNI AL KRI Imam Bonjol, di Kepulauan Natuna (Foto: voaindonesia.com/via AP)

1. Nota Protes China Terungkap Setelah Laporan Bakamla

Hal senada disampaikan Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR yang membawahi bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen. Farhan mengatakan mengetahui keberadaan nota protes China yang tidak pernah dilaporkan sebelumnya itu, ketika melakukan penelusuran pasca rapat dengar pendapat dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 14 September 2021. Ketika itu Sekretaris Utama Bakamla Laksamana Madya S. Irawan mengungkap keberadaan ribuan kapal milik Vietnam dan China yang memasuki perairan Natuna Utara di dekat Laut Cina Selatan. Ribuan kapal ini tidak terdeteksi radar dan hanya terlihat dengan pantauan mata. Sementara Bakamla hanya memiliki sepluh kapal patroli yang tidak cukup untuk menjaga perbatasan laut.

“Sebelum rapat itu Bakamla melaporkan tentang keberadaan kapal-kapal China di seputar rig lepas pantai dan merasa terancam dengan kehadiran mereka. Setelah itu kami rapat dan lalu mempertanyakan hal itu ke Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Luar Negeri. Baru diketahui adanya nota protes itu,” papar Farhan.

Lebih jauh Farhan mengatakan Indonesia harus menanggapi nota protes itu. “Nota diplomatik itu merupakan upaya sebuah negara untuk mendapat perhatian dari negara yang dikirimi nota itu. Sebagai sesama negara yang memiliki hubungan diplomatik, kita harus menanggapi. Apalagi karena konsep kedaulatan versi China dan versi Indonesia belum nyambung. Indonesia menggunakan UNCLOS, China tidak bersedia mengakui UNCLOS, tetapi menggunakan konsep sembilan garis putus-putus sebagai traditional fishing grounds-nya.”

2. Putusan Tegas UNCLOS 1982

Berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention for the Law of the Sea) atau Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, negara kepulauan yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan, dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik tertular pulau-pulau dan karang terluar kepulauan itu. Ini dapat mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, seperti yang terdapat di perairan Natuna Utara.

klaim china di laut china selatanPeta tumpang tindih klaim antara China dan negara-negara Asia Tenggara di atas Laut China Selatan (Foto: dw.com/id)

Klaim historis China bahwa nelayan-nelayannya sejak dulu telah beraktivitas di perairan itu telah dimentahkan dalam putusan pengadilan arbitrase dalam sengketa China melawan Filipina tahun 2016.

Indonesia menolak istilah “relevant waters” yang diklaim China karena tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS. Indonesia juga tidak mengenal apa yang disebut China sebagai traditional fishing grounds atau perairan perikanan tradisional, karena yang dikenal dalam UNCLOS adalah traditional fishing rights atau hak menangkap ikan secara tradisional.

3. Hikmahanto: Indonesia Tak Perlu Tanggapi

Melihat terang benderangnya masalah ini, Prof Dr Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia (UI) mengatakan nota protes itu tidak perlu ditanggapi. “Justru Pemerintah Indonesia melalui Bakamla perlu melakukan pengamanan agar pengeboran di rig lepas pantai tetap terlaksana,” tegasnya.

hikmantoGuru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. (Foto: Tagar/Antara)

Ada empat alasan menurutnya yang membuat Indonesia tidak perlu lagi menanggapi nota protes China itu. “Pertama, Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus yang diklaim oleh China di Laut China Selatan. Sementara China melakukan protes terhadap Indonesia atas dasar klaim sembilan garis putus ini.”

Hal kedua, ujarnya, adalah karena selama ini China mengklaim sembilan garis putus yang menjorok ke Indonesia terkait sumber daya alam sebagai 'traditional fishing ground'. “Traditional fishing ground merujuk pada sumber daya laut yang berada di kolom laut, seperti ikan. Lalu mengapa China protes terkait aktifitas pengeboran sumber daya alam yang berada dibawah dasar laut? Apakah China dengan sembilan garis putus akan mengklaim sumber daya alam di dasar laut?” tanya Rektor Universias Jendral A. Yani itu.

Lebih jauh Hikmahanto mengatakan dengan mengabaikan protes China berarti Indonesia konsisten tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus. Dan terakhir, ujarnya, “merupakan hal yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut tanpa menghiraukan protes China” karena Indonesia justru “melaksanakan hak berdaulat atas Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara sesuai ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB.”

4. Peningkatan Eskalasi?

Menghadapi kemungkinan peningkatan eskalasi di kawasan itu, pakar politik Dr. Dinna Prapto Raharja mengatakan itulah sebabnya Indonesia harus menyampaikan pesan yang tegas pada China agar negara itu “batas toleransi pemerintah Indonesia.”

“Pesan kita harus tegas. Kerjasama ekonomi tidak bisa diartikan berkompromi soal kedaulatan wilayah,” tegas Dinna.

Ia juga mendorong cara menjawab nota protes itu secara lebih luas, “bukan hanya bilateral, tetapi juga multilateral. Lewat PBB misalnya. Pastikan semua pihak update dengan tindak-tanduk China supaya sama-sama ada upaya meredakan nafsu China.” (em/lt)/voaindonesia.com. []

China Protes Indonesia Terkait Pengeboran dan Latihan Militer di Natuna

Konflik Natuna, China Tidak Mengakui ZEE Indonesia

Empat Alasan Pulau Natuna Ingin Dikuasai China

Ribuan Kapal China Menyerbu Natuna, Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan Pertahanan

Berita terkait
China Protes Indonesia Terkait Pengeboran dan Latihan Militer di Natuna
China meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di Natuna, Laut China Selatan
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.