Untuk Indonesia

Mengembalikan Roh Oikumene Kita

Kaum terpelajar pribumi, lulusan Hogoore Thelogische School menjadi pelayan di gereja, semangat oikumene telah tertanam di sanubari mereka.
Pdt Saut Sirait. (Foto: Tagar/Istimewa)

Oleh: Pdt Saut Sirait*

Manakala kaum terpelajar pribumi, khususnya lulusan Hogoore Thelogische School (9 Agsustus 1934), menjadi pelayan di gereja, semangat oikumene telah tertanam di sanubari mereka.

Prof Muller Kruger, menjadi tonggak tersendiri dalam pengembangan theologia in loco, saat dia menjadi rektor ke dua. Sebelumnya, 28 Desember 1932, Christelijke Studenten Vereging (CSV) of Java telah berdiri di Kaliurang, 9 Februari 1950 menjadi GMKI, dimotori Leimena.

HTS kemudian berubah menjadi STT pada 27 September 1954. Mahasiswa HTS memperoleh ruang ber-theologia in loco dalam rumah oikumene, manakala mereka menjadi aktivis CSV of Java.

Ketika mereka lulus, perjumpaan lintas suku, denominasi gereja dan ragam disiplin ilmu dari mahasiswa-mahasiswa jon theologi, membentuk jiwa dan semangat oikumenis yang membara.

Spirit oikumene itu mereka wujudkan dengan mendirikan Dewan Permusyawaratan Gereja-Gereja pada Mei 1946, berpusat di Yogya, Majelis Usaha Bersama Gereja-Gereja di Indonesia Bagian Timur, pada 9 Maret 1946, berpusat di Makassar, dan Majelis Gereja-Gereja Bagian Sumatera.

Kaum terpelajar pelayan (pendeta) gereja-gereja yang dibekali theologia in loco yang mumpuni dan perjumpaan dengan seluruh suku, disiplin ilmu dan denominasi gereja di GMKI, semakin menguatkan kontak dan jaringan satu sama lain. 

Apalagi getar Ut Onmes Unum Sint, Yoh 17:21 'supaya semua menjadi satu', yang menjadi jiwa dan salam nasional GMKI, mendorong dan mempermudah mereka untuk mendirikan rumah oikumene yang lebih luas, tidak hanya pada diri mahasiswa dan senior-senior di GMKI, tetapi harus seluruh umat gereja.

Dengan mengambil tempat di STT Jakarta, 23-28 Mei 1950, dilaksanakan konferensi pembentukan dewan gereja-gereja di Indonesia.

Spirit menjadi satu itulah yang menjadi keharusan untuk terus-menerus digemakan DGI (d/h PGI) melalui keputusan, program, langgam, sikap dan elan para eksekutif PGI.

Namun dengan jujur harus diakui, pada masa rezim PGI saat hubungan dengan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan yang oikumenis mengalami kemerosotan. Ini yang pertama dalam sejarah gerakan oikumene di Indonesia.

PGI yang tujuan utamanya mewujudkan oikumene, justru menciptakan 'keretakan oikumenis'. Sungguh sebuah ironi, para pengemban 'oikumene', khususnya para penanggung jawab yang fulltimer di PGI justru menciptakan jarak, bahkan 'permusuhan' dengan organisasi pemuda-mahasiswa yang menjadi pilar utama oikumene di Indonesia ini.

Sidang Raya ini harus mengembalikan roh oikumene itu dengan lebih dulu memilih orang yang tidak mengalami 'masalah kejiwaan oikumenis'

Pada organisasi pemuda-mahasiswa yang oikumenis itulah anak-anak seluruh gereja-gereja, dari GBI, GMIM, GKS, GKE, GKJ, BNKP, dan lain-lain berjumpa dalam semangat dan bingkai oikumene. Kaum muda dan mahasiswa ini merupakan mitra intim yang dipelihara PGI sejak kelahirannya dan pada pemimpin-pemimpin yang lalu, kecuali 'Eksekutif Utama' PGI sekarang.

Teramat penting untuk segera memulihkannya. Orang yang membuat masalah atas keretakan itu saya pastikan tidak berjiwa oikumenis. Dan, bagian dari masalah tidak akan mungkin mengatasi. 

Sidang Raya PGI ini harus mengembalikan roh oikumene itu dengan lebih dulu memilih orang yang tidak mengalami 'masalah kejiwaan oikumenis'. Apalagi terhadap para pemuda dan mahasiswa yang merupakan masa depan, kesinambungan dan pembaruan semua.

Pemaknaan oikumene yang lebih substansial adalah pengadaan kanal atau jembatan bagi sinode-sinode untuk mendapat akses terhadap para pengambil keputusan dalam semua bidang. Selama ini, Eksekutif PGI, khususnya beberapa orang yang menguasai dan memiliki akses itu, tanpa 'membagi' kepada pimpinan-pimpinan sinode.

Padahal letak kepentingan umat yang membutuhkan perlu akses terhadap penguasa, sangat jelas sepenuhnya pada pimpinan sinode-sinode. Bukan sekadar membawa dan melibatkan para pimpinan dalam acara-acara seremonial. Pimpinan gereja-gereja hanya penggembira, bahkan jadi 'barang jualan'.

Eksekutif PGI berikut harus memastikan dan menjamin akses yang kuat bagi pimpinan sinode-sinode. Bahkan harus dipetakan dengan baik. Misalnya, pimpinan sinode-sinode di Papau perlu prioritas akses terhadap Panglima TNI atau Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri.

PGI harus bisa membuka akses bagi pimpinan sinode-sinode di Papua, langsung dan berkelanjutan. Demikian juga dengan pimpinan sinode-sinode di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan Jawa sekalipun. Bukan PGI yang menggenggam akses-akses pada penguasa, tetapi pimpinan-pimpinan sinodelah yang harus dibukakan.

Kasus pernyataan sikap 'iman' eksekutif, khususnya yang fulltimer di PGI menyangkut, harus menempuh mekanisme dan prosedur yang menghargai dan menempatkan pimpinan sinode-sinode sebagai pemilik PGI, bukan eksekutif. 

Tanpa memasalahkan substansinya, mekanisme dan prosedur mengenai LGBT, sangat jelas telah menempatkan eksekutif PGI di atas pimpinan sinode-sinode, yang memiliki dogma masing-masing.

Kerusakannya adalah pada mekanisme dan prosedur. PGI tidak memiliki hak untuk merumuskan semacam 'dogma' bagi gereja-gereja. Ini merupakan perusakan substansi PGI, fundamental oikumene yang telah bergeser.

Bagi gereja-gereja, dogma terhadap LGBT, mungkin tidak sesuai dengan selera dan iman eksekutif PGI, namun sama sekali PGI tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sikap baru atau 'dogma' PGI tersendiri atas hal itu. Hal ini sangat penting untuk dingatkan agar ke depan PGI tidak menjadi tuan dogma gereja-gereja.

Dalam kasus ini teramat jelas, Eksektutif PGI berhadap-hadapan bagai head-head terhadap pimpinan sinode-sinode gereja, yang sesungguhnya 'pemilik' PGI itu sendiri. 

Para pimpinan sinode sekarang pasti bisa mengingat dan mengenang, meski mungkin sayup-sayup dalam zaman Soeharto, sikap Eksekutif PGI yang sedemikian kuat bersatu dengan pimpinan sinode-sinode menghadapi tekanan berat mengenai asas tunggal yang melampaui kewenangan pemerintah.

Sangat kuat, cita rasa oikumene yang merambah ke seluruh umat dan berbuah. Atau mungkin Bapak Soeharto harus kita sebut dan hidupkan sejenak di ruang sidang Sidang Raya PGI, di Gereja Payeti? Maaf, Bapak Soeharto sudah meninggal, sekadar melawan lupa.[]

*Penulis adalah Senior GMKI

Berita terkait
PGI dan Gereja Tak Penting Bagi Jokowi?
Masyarakat Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) kecewa berat karena Presiden Jokowi tidak jadi datang membuka acara Sidang Raya PGI.
Sidang Raya di NTT, Pengurus PGI Jangan Politikus
Ada upaya memasukkan pengurus parpol yang masih aktif menjadi anggota Majelis Pekerja Harian PGI dalam Sidang Raya yang digelar di NTT.
Warga NTT Kecewa Jokowi Tak Hadiri Sidang Raya PGI
Warga NTT kecewa karena Presiden Jokowi tak hadir membuka Sidang Raya XVII Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (SR XVII PGI).
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.