Menangkal Kaum Pengusung Isu Kecurangan Pemilu

Tulisan Pdt. Saut Sirait tentang isu kecurangan pemilu yang sengaja dibuat dan dituduhkan secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Petugas KPPS bersama pendamping mendorong pemilih yang menggunakan kursi roda karena sakit pada pemungutan suara Pemilu 2019, di TPS 20, Helvetia Tengah, Medan, Sumatera Utara, Rabu (17/4/2019). (Foto: Antara/Irsan Mulyadi)

Oleh: Pdt. Saut Sirait*

Tahun 1994, oleh panggilan konstitusi dan iman, saya melibatkan diri dalam kepemiluan. Bersama Mas Gunawan Muhamad (Pemred Tempo, sering disebut Mas GM)), Nurcholis Madjid (Cak Nur), Mulyana Kusumah, Budiman Sudjatmiko, Torsca Santoso, Beathor, Marsilam Simanjuntak, Sri Bintang Pamungkas, Robikin Emhas, Mucthar Pakpahan, Tohap Simanungkalit, Ephorus HKBP Pdt. Soritua Nababan, dan beberapa tokoh lain. Kami melakukan pertemuan secara sembunyi-sembunyi.

Dari diskusi yang lumayan panjang dan lama itu, persoalan pemilu disadari sangat strategis dan efektif untuk demokratisasi di Indonesia. Konkretisasi dari diskusi itu adalah pembentukan pemantau pemilu di Indonesia, dengan nama Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. 

Deklarasi dilakukan di Café Venesia, pada 15 Maret 1996. Saya dengan Mulyana Kusumah merumuskan isi deklarasi dan saya sendiri yang diminta membacakan deklarasi. Cak Nur menyampaikan orasi dan Mas GM menyampaikan sambutan. Dukungan dari organisasi sosial kemasyarakatan, pemuda, mahasiswa dan agama sangat banyak. Mulai dari kelompok Cipayung, NU, Muhamadiyah, Katolik, HKBP, dan lainnya. Mereka menyampaikan nama-nama untuk duduk di dalam struktur kepengurusan yang bersifat presidium. 

Baca juga: Demokrat Sebut Ada Penggelembungan Suara di Medan

Pada waktu itu Mas GM didaulat jadi ketua umum, Mas Mulyana jadi sekjen dan Pius Lustrilanang, wakil sekjen, dengan presidium Ellyasa, Sira Prayuna, Muflizar Sarta, Leopold Sudaryano, Wandy Tuturong, Ray Rangkuti. Belakangan saya menggantikan Pius dan Nia Syarifudin jadi tenaga khusus. Mas Munir sempat masuk jadi anggota presidium. Mas GM kemudian mundur, karena alasan yang sangat manusiawi. Para pengurus yang waktu itu berkumpul di kantor, Jl. SMA 14 Cawang, menangis dan sepakat tidak akan ada pengganti ketum selamanya, sehingga KIPP dipimpin sekjen.

Pada Pemilu 1997, KIPP berhasil membangun jaringan di 43 Kabupaten, dengan jumlah pemantau yang sangat terbatas. Meskipun hati nurani mendukung namun ancaman dari Pangab Jenderal Faisal Tanjung waktu itu, sangat menakutkan: KIPP akan kita libas! 

Dengan jumlah yang sangat terbatas, tetapi terlatih, dengan formulir yang berisikan jenis dan jumlah pelanggaran, KIPP kemudian membuat laporan: pemilu inkonstitusional dan melanggar prinsip-prinsip pemilu yang luber. Dunia internasional terperangah, tetapi di dalam negeri, tidak satupun lembaga yang peduli. Muncullah istilah electoral fraud yang sistematis, terstruktur dan masif atau STM (dulu kita memanjangkan: Sekali Tembak Mati dan dikemudian MK memakai istilah TSM). 

Tentu saja pelanggaran STM itu di 43 daerah yang dipantau. Pada waktu itu, KIPP menghubungi Bang Sabam Sirait, anggota DPR dari Fraksi PDI. Semula beliau bersedia menerima, dengan menyertakan beberapa media yang bersedia. Namun dengan alasan yang tidak ditekahui Bang Sabam kemudian menyuruh untuk menghubungi Ibu Aisyah Amini, dari Fraksi PPP. 

Baca juga: Real Count KPU, Jokowi Makin Mengungguli Prabowo

Semula Ibu Aisyah bersedia, namun pada hari yang ditentukan, Ibu Aisyah menyatakan keluar kota dan diminta menyampaikan kepada sespri di ruangannya di Senayan. Singkat kata laporan itu sama sekali tidak muncul ke permukaan. Bahkan rombongan KIPP yang dipimpin Mas Mulyana tidak diperbolehkan masuk ke dalam DPR.

Setelah berkiprah di KIPP, saya terpilih menjadi Wakil Ketua Panwaslu Pusat, Komisioner KPU dan kemudian menjadi Anggota DKPP RI. Manakala bertugas di KPU, kasus pelanggaran Pilkada Madina pada tahun 2010 menjadi perhatian. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak atau bupati terpilih Hidayat Batubara-Dahlan Hasan Nasution, dianulir Mahkamah Konsitusi melalui Putusan MK No. 41/PHPU.D-VII/2010. Dasar pertimbangan MK adalah bukti-bukti yang diajukan pengadu menyangkut money politics yang terstruktur, massif dan sistematis. 

Putusan MK tersebut tergolong baru, sebab cakupan UU Nomor 32 tahun 2004, pasal 82 ayat (2) dan PP Nomor 17 tahun 2005 pasal 64, ayat 2, hanya mengatakan: bahwa pasangan calon/tim kampanye telah terbukti melakukan pelanggaran praktik politik uang (money politics) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekutatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon. Dinamika dan progress hukum dilakukan MK dengan putusan No. 41 tersebut. Sungguh sangat berkeadilan dan sadar relevansi waktu. Sebab bila menunggu hingga inkrach berdasarkan keputusan pengadilan, penetapan dan pelantikan paslon terpilih, pasti berjalan. 

Demo KPUMassa aksi hendak memasuki gedung KPU dihadang oleh aparat kepolisian yang berjaga. (Foto : Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Sementara itu, menunggu kepastian dan kekuatan inkrach, pasti juga melalui proses tempuhan waktu yang panjang dan bisa melampaui periode pelanggar. Manakala jadi Ketua Majelis Sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik di DKPP pada tahun 2012 untuk salah satu perkara pilkada di Sulawesi Selatan, satu fakta yang terbukti dalam persidangan mengenai seorang anggota tim kampanye paslon yang telah dilantik jadi bupati dan telah berjalan tiga tahun, dinyatakan terbukti dan divonis bersalah berdasarkan putusan kasasi MA. Sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi paslonnya sudah tiga tahun dilantik jadi bupati. 

Jelas sangat sulit untuk mengeksekusi putusan untuk menggugurkan bupati yang sudah bekerja. Apalagi nomenklatur di UU adalah pengguguran paslon, bukan bupati.

Selama berkiprah di kepemiluan, diskusi dan study komparasi dengan jaringan-jaringan endeavor democracy dan pegiat pemilu dari berbagai belahan dunia menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan. Mereka sering mengundang, baik secara personal maupun offisial, terutama pada saat negaranya melaksanakan pemilu. Memang tidak ada anutan sistem terbaik yang boleh diklaim suatu negara. Para pegiat pemilu sepakat, sistem yng dipergunakan tiap Negara merupakan sistem yang terbaik untuk Negara itu. Study perbandingan hanya akan tiba pada keunggulan-keunggulan, kelemahan dan kekuatan suatu sistem yang diterapkan suatu negara. 

Baca juga: Apakah Ahok Akan Seperti Mereka?

Dunia mengakui kerumitan pemilu di Indonesia, tetapi sekaligus juga mengakui sistemnya telah begitu baik memenuhi standar-standar kepemiluan dan demokrasi, terutama untuk menghindari terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan. Metode rekapitulasi penghitungan secara berjenjang, pada satu sisi diakui merupakan kerumitan. Namun melihat luas wilayah, jumlah partai dan kecenderungan elit-elit partai yang selalu mencurigai teknologi, sistem berjenjang itu sangat diakui sebagai formula yang sangat efektif. 

Bisa dibandingkan dengan India yang memakai teknologi dalam pencoblosan surat suara, tidak pernah ribut atas hasil rekapitulasi perhitungan. Dengan jumlah pemilih yang mencapai 700 juta, pengumuman resmi sudah dapat dikeluarkan KPU India dan para peserta percaya dan dapat menerima. Sama halnya di Jepang dan Australia, dari TPS langsung berproses pada pusat tabulasi nasionalnya. Hingga saat ini, kecurigaan para elit tidak berkurang, atau jangan-jangan mereka menikmati pola manual saat ini.

Pemilu 2019Saksi menyaksikan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat Provinsi di KPU Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/5/2019). KPU Provinsi Jawa barat mulai melakukan rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil penghitungan dan perolehan suara Pemilu 2019 yang dihadiri pimpinan partai, saksi peserta Pemilu dan Komisioner Bawaslu yang berlangsung hingga 11 Mei 2019. (Foto: Antara/M Agung Rajasa)

Sejauh saksi ada di TPS, maka segala jenis dan bentuk pelanggaran akan dapat diproses. Terhadap kesalahan atau kecurangan dalam penjumlahan angka, dijamin dan dipastikan akan bisa dikembalikan sesuai dengan suara pemilih. Bila saksi di TPS diangkat partai atau paslon kurang beres, di tingkat PPK akan bisa disergap. Bukan hanya salinan formulir C1, juga foto dapat dijadikan sebagai bukti untuk menggugat. Ujung kebenaran angka pasti ada di C1 Plano yang wajib disimpan dalam kotak suara. Bila diperlukan, sesuai dengan bukti-bukti yang disampaikan, C1 Plano dapat dibuka. Bila C1 Plano tidak ada atau rusak, tempuhan untuk mendapatkan kebenaran masih terbuka, melalui pemungutan suara ulang pada tiap-tiap TPS yang dianggap bermasalah. 

Artinya segala residu kecurangan, pasti dapat dibabat mulai dari KPPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, KPU RI dan terakhir Mahkamah Kontitusi yang bukan hanya dapat memutuskan membatalkan dan mengubah perolehan suara, penghitungan atau pemilihan ulang, tetapi juga mendiskualifikasi paslon.

Pada Pemilu 2019 ini, khususnya dalam pilpres, tersaji di hadapan seluruh masyarakat menyangkut isu kecurangan, diskualifikasi paslon dan people power. Bukan hanya dalam bentuk pernyataan di media, tetapi dalam bentuk-bentuk aksi demo ke kantor-kantor KPU dan Bawaslu

Mari sejenak melihat kronologisnya. Pertama, sebelum pemungutan suara dilaksanakan, tuduhan pemilu curang sudah digemakan bagian dari salah satu paslon. Bukan hanya di media, tetapi mendatangi KPU maupun Bawaslu. Amien Rais sendiri yang mengaku “bapak reformasi” sampai ikut mendatangi kantor KPU RI. 

Kedua, setelah selesai pemungutan suara, sesuai ketentuan KPU, proses input data dan hasil Quick Count ditayangkan berbagai media pada pukul 15.00 WIB, dengan hasil yang keseluruhannya menyatakan paslon 01 unggul. 

Ketiga, paslon 02 menyatakan bahwa kemenangan di tangannya dengan keunggulan 62% dan langsung menyampaikan pidato kemenangan. Tidak hanya satu kali tetapi tiga kali di markas paslon 02 di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. BPN paslon 02 menyangga pernyataan dan pidato kemenangan itu dengan klaim bahwa data-data dari TPS telah masuk. 

Keempat, setelah pernyataan dan pidato kemenangan, paslon 02 memunculkan tuduhan kecurangan pemilu. Suatu tuduhan yang dengan sendirinya menggugurkan pernyataan dan pidato kemenangannya sendiri. Semua hal diangkat dan dipertautkan dengan tuduhan kecurangan tersebut. Mulai dari salah input pada Situng KPU hingga kematian para pahlawan pemilu yang lumayan banyak. 

Kecurangan TSM dijadikan isu sentral dengan tuntutan diskualifikasi paslon 01, dibarengi dengan spanduk di beberapa tempat yang berisikan ucapan selamat atas kemenangan jadi presiden untuk paslon 02. 

Kelima, tidak cukup dengan ramuan isu-isu tersebut, atau mungkin isus-isu itu sebagai test the water, dan sekaligus pengkonsolidasian dan pengkondisian untuk dimuarakan menjadi menjadi gerakan masif, munculah isu dan gerakan people power.

Menjadi pertanyaan besar sesungguhnya kemunculan isu-isu tersebut dalam khasanah pemilu di Indonesia, dengan sistem yang sedemikian rapi mencegah kecurangan. Di samping itu, tanpa menyadari ketentuan peraturan perundangan-undangan, semua isu, apabila benar terbukti, tidak otomatis menjadikan paslon 02 sebagai pemenang dan dinyatakan sebagai presiden terpilih, untuk kemudian diambil sumpah oleh Ketua Mahkamah Agung

Kecurangan pemilu dan diskualifikasi, sebagaimana diusung paslon 02 untuk menjadi Presiden RI, bila merujuk pada sejarah kepemiluan di Indonesia dan terutama dengan 'yurisprudensi' atau paling tidak 'presedensi' dari putusan MK, sangat jelas: harus dilakukan pemilu ulang. 

Dalam kasus Madina, putusan MK No. 41/PHPU.D-VII/2010, pemenang yang terbukti melakukan kecurangan, tidak membuat peraih suara kedua langsung jadi pemenang. Pemilu ulang diperintahkan MK dengan syarat paslon yang terbukti melakukan kecurangan TSM, tidak lagi diikutkan. Di samping itu, kasus yang agak berbeda terjadi dalam Pilkada Tebing Tinggi. Paslon Walikota yang telah disahkan KPU Kota Tebing Tinggi, ternyata telah inkrach, Muhammad Syafri Chap, sebagai narapidana. Namun karena kesemrawutan perilaku aparat hukum, yang bersangkutan tidak dipenjarakan dan bisa ikut Pilkada. 

Putusan MK No. 12/PHPU.D-VIII/2010 tentang Pilkada Tebing Tinggi, memerintahkan pemilu ulang dengan syarat, Muhammad Syafri Chap tidak bisa menjadi peserta. Artinya, Muhammad Syafri terkena diskualifikasi dalam putusan MK No. 12 No. 12 tersebut, walau sudah jadi pemenang pilkada.

Hingga saat ini, bukti-bukti terhadap kecurangan yang dituduhkan paslon 02, belum pernah dimunculkan, baik oleh paslon 02 maupun BPN-nya. Tiap yang mendalilkan harus membuktikan, sama sekali belum dilakukan paslon 02 dengan BPN-nya. Apabila alasannya nanti harus disampaikan di pengadilan, seharusnya tuduhan itu disimpan dulu hingga tiba pada saat pengadilan. Mengumumkan kepada masyarakat dengan tuduhan curang, seharusnya diikuti dengan bukti-bukti kepada masyarakat, minimal indikator-indikator kecurangan. Apalagi besutannya adalah TSM yang harus memenuhi persyaratan berupa bukti-bukti yang ditentukan peraturan, mulai dari bukti-bukti adanya organisasi tertentu, baik ASN atau organisasi tertentu, persyaratan masif yang harus memenuhi area pemilihan dan jumlah yang lebih dari separuh dan sistematis yang didasarkan pada perencanaan, modus dan peralatan yang dipergunakan. 

KPU Sumut DidemoSpanduk milik Gemas Sumut Anti Makar di depan Hotel JW Marriot, Kota Medan, ketika KPU Sumut melakukan rapat pleno penghitungan suara. (Foto: Tagar/Reza Pahlevi)

Apabila terbukti sekalipun, tidak akan otomatis menjadi paslon 02 sebagai pemenang pemilu. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, KPU dan Bawaslu, pada tahapan penghitungan yang sudah tiba di KPU RI, memang memiliki kewenangan untuk melakukan pemilu ulang, tetapi tidak dalam rangka mendiskualifikasi salah satu paslon. Kewenangan itu hanya ada pada MK sesuai tahapan yang telah ditentukan. 

Jelas upaya yang dilakukan paslon 02, sangat menyita waktu, daya, energi dan tentu uang dengan upaya-upaya yang dilakukan. Bawaslu yang menerima laporan BPN baru-baru ini, pasti akan meminta bukti-bukti awal atas tuduhan kecurangan tersebut.

Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu bukan hanya urusan para peserta dan Bawaslu, tetapi seluruh rakyat Indonesia, bahkan luar negeri. Hingga saat ini, organisasi pegiat pemilu dalam dan luar negeri, belum ada yang mengeluarkan suatu pernyataan yang buruk apalagi curang dalam proses penyelenggaraan pemilu. Hanya paslon 02 yang dengan tegas meneriakkan kecurangan pemilu, dan itu berarti, termasuk pernyataan kemenangan 62% adalah berdasarkan kecurangan dalam pemilu. 

Bagi yang memiliki kesadaran, bukan hanya sekadar akal sehat, bukti-bukti yang muncul dengan terang dan jelas dipermukaan adalah upaya-upaya yang terstruktur, masif dan sistematis untuk menggiring masyarakat menyatakan curang. Penggiringan opini masyarakat sebelum pemungutan suara hingga hari ini untuk “menganggap’ pemilu curang terus-menerus dilakukan melalui BPN dan kalangan yang dapat dikatakan pro 02, ke seluruh Indonesia, sangat jelas merupakan bagian dari TSM. 

Jadi tuduhan kecurangan pemilu yang TSM hingga hari adalah penggiringan opini masyarakat yang dilakukan secara paslon 02 dan BPN serta jaringannya ke seluruh Indonesia, harus dinyatakan: tindakan para penuduh kecurangan itulah yang TSM. Sudah begitu direncanakan, bahkan sebelum pemungutan suara, meliliki organisasi, pola dan keberlanjutannya dan menyebar ke seluruh Indonesia, masifnya masif. Ujung dari semua upaya itu sudah jelas muncul di lapangan: People Power!

Aneh, pemilu yang sesungguhnya merupakan the real of the real of people power yang konstitusional dan diatur secara berkeadaban, kini hendak diruntuhkan dengan people power kebohongan yang sungguh biadab. Demi masa depan dan kemajuan Indonesia, mari jangan bikin Indonesia punah. Masa depan kita dan anak-anak bangsa ke depan berada di tangan kita semua, bukan di tangan para “pelacur politik”. Saatnya rasa jijik dan kejujuran di kedepankan secara lebih nyata dan tampak, bukan hanya di mulut dan sikap, tetapi tindakan konkret.Tiada kata selain: LAWAN!!! Dengan penuh kelembutan, kasih sayang, sesuai aturan dan konstruktif. Hidup Indonesia dan demokrasi.

Saut SiraitPdt Saut Sirait (Foto: Dok. Pribadi)

Penulis: *Pdt. Saut Sirait (Dosen Etika di STT HKBP Pematangsiantar, Mantan Anggota KPU, Bawaslu, dan DKPP)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.