Menahan Rindu, Karantina Mandiri 14 Hari di Empang

Selama karantina mandiri 14 hari, Dwi dan Tria tinggal di gubuk di tengah empang, tanpa listrik, sunyi, jauh dari rumah warga desa.
Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, saat karantina mandiri di empang, dikunjungi ayah ibunya. Mereka tetap menjaga jarak saat ketemu. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Makassar - Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi, 26 tahun, mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia. Sedangkan Tria Buana Lestari Sutandi, 21 tahun, mahasiswa Ilmu Peternakan di Universitas Islam Negeri Alauddin. Mereka adalah kakak adik.

Dwi dan Tria tinggal di rumah kos di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pada 1 April 2020, keduanya melakukan perjalanan untuk pulang ke kampung halaman di Desa Tappilina, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat.

Di tengah perjalanan, saat masih berada di Kota Makassar, telepon seluler Dwi berdering. Di layar ponsel tertulis nama ayahnya, Sultan Sutandi. Dwi mengangkat telepon tersebut. Terdengar suara ayahnya di ujung telepon. Ayahnya adalah Kepala Desa Tappilina.

Ayahnya meminta Dwi dan adiknya agar tidak langsung pulang ke rumah. Agar keduanya turun di empang, berjarak 30 kilometer dari rumah keluarga, melakukan karantina mandiri selama 14 hari di empang.

Alhamdulillah bisa juga ketemu dan melihat wajah ibu secara langsung. Meski tidak bisa cium tangannya, setidaknya kami bisa ketemu dan melihatnya langsung.

Cerita Dwi dan TriaDwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, di gubuk karantina di empang di Desa Tappilina, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Dwi Reskiyah yang tadinya semangat karena telah lama menahan rindu orang tua, seketika lemas kecewa. Tapi perasaan itu tidak berlangsung lama. Ia menyadari maksud ayahnya untuk kebaikan bersama. Karena saat ini Makassar sudah masuk zona merah, wilayah berbahaya, dengan penyebaran virus corona terbanyak di Sulawesi Selatan.

"Sedikit sedih karena kebiasaan kami kalau bertemu orang tua, selalu cium tangan orang tua, tapi sekarang kami berjarak 30 kilometer dari mereka. Tapi ini untuk kebahagiaan bersama, semoga masa karantina kami bisa cepat selesai dan kami kumpul keluarga lagi,” kata Dwi kepada Tagar, Selasa, 7 April 2020.

Wanita yang akrab disapa Kiki itu mengatakan keputusan menjalani karantina mandiri atas permintaan ayah.

"Saya pulang kampung karena kampus lockdown, mahasiswa kuliah online dan kami anak kos sudah kesulitan mendapatkan lauk di warung, ikan basah pun jarang mi pabbalu (penjual) di Makassar. Jadi kami pilih mudik," tutur Dwi.

Cerita Dwi dan TriaDwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, saat pertama kali tiba di gubuk empang untuk melakukan karantina. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Enjoy Hidup di Gubuk

Dwi bercerita di empang milik ayahnya terdapat sebuah gubuk berukuran 3 x 4 meter. Di sinilah ia dan adiknya me-lockdown diri sendiri selama dua pekan. Tak ada jaringan listrik. Tiap malam Dwi menyalakan lilin. Untuk mengecas power bank, Dwi dan adiknya minta tolong ngecas di rumah warga berjarak tiga kilometer dari empang.

“Saya sejak kecil sudah terbiasa hidup di alam, dari dulu sudah biasa bermalam di empang. Jadi selama menjalani karantina kami akan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin,” kata Dwi.

Ia bisa menikmati hidup dengan fasilitas serba terbatas di empang. "Maklum, kami dulu anak Pramuka. Inilah salah satu hasil dari kegiatan ekstrakurikuler."

Selama ia dan adiknya mengisolasi diri di empang, setiap hari orang tuanya mengirimi makanan. Untuk membuat lauk ikan, mereka tinggal ambil di empang.

"Kami sebenarnya tidak punya masalah dengan Covid-19. Kami lakukan ini karena kami sayang keluarga, dan semuanya. Bagi yang sedang mudik, sayangi keluarga Anda. Jangan terlena rindu keluarga. Jaga jarak, isolasi diri Anda untuk kebahagiaan bersama," kata Dwi.

Cerita Dwi dan TriaDwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, membakar ranting untuk persiapan membakar ikan hasil pancingannya. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Karantina Meski Tanpa Gejala

Tria adik Dwi mengatakan ayahnya seorang kepala desa, sehingga rumahnya selalu banyak tamu. Ini yang menjadi alasan ayahnya mengasingkan dirinya dan kakaknya di empang. Untuk mencegah risiko penyebaran Covid-19.

Alasan lain, karena ia dan kakaknya sering sakit, imunitas atau daya tahan tubuh sering lemah, dan orang tuanya sudah paruh baya. Usia menuju lanjut usia rentan tertular virus tersebut.

“Dan juga ada warga yang menjaga posko pengantisipasian di perbatasan desa,” ujarnya.

Menjalani karantina mandiri, Tria mengaku ia dan kakaknya dalam keadaan sehat tanpa ada gejala sama sekali. Ia juga menuturkan karantina yang disarankan orang tuanya dilakukan sebagai contoh yang baik bagi warga desa agar melakukan karantina mandiri selama 14 hari.

“Saya dan kakak tentu saja mendukung dan terima. Ini virus yang mudah menyebar, jadi kami benar-benar sadar pentingnya karantina mandiri. Kita tidak tahu apa selama ini terkena virus atau tidak karena bisa jadi bagian dari kategori orang tanpa gejala (OTG) atau carrier,” tutur Tria.

Cerita Dwi dan TriaMasakan hasil kreasi Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, saat karantina di gubuk empang. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Baca juga: Asimtomatik Carrier, Sang Pembawa Virus Corona

Untuk memenuhi kebutuhan harian, kata Tria, setiap hari orang tuanya datang membawa bahan makanan, sayur-sayuran, dan snack, dengan tetap menjaga jarak. 

“Saat orang tua datang membawakan makanan, kami hanya saling bertatapan, tidak bersentuhan tangan,” ujar Tria.

Bertemu Ibu Setelah Seminggu Karantina

Dwi bercerita, saat pertama berada di lokasi karantina, hal yang sangat dirindukan olehnya dan adiknya adalah ingin bertemu dan melihat wajah ibunya. Karena sejak awal dikarantina, selalu ayahnya yang datang menjenguk.

“Kebetulan pada hari-hari pertama kami menjalani karantina, ibu saya kondisi kesehatannya lagi kurang baik. Tentu mendengar informasi dari bapak mengenai kesehatan ibu, semakin membuat hati sedih, tapi tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Dwi.

Bersyukur, pada hari ketujuh ia dikarantina, kondisi ibunya bernama Hasdina membaik dan berkesempatan menjenguk dirinya dan adiknya di lokasi karantina.

“Alhamdulillah bisa juga ketemu dan melihat wajah ibu secara langsung. Meski tidak bisa cium tangannya, setidaknya kami bisa ketemu dan melihatnya langsung,” ujar Dwi.

Cerita Dwi dan TriaIkan bandeng hasil pancingan Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, di empang ayahnya. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Sultan Sutandi, ayah Dwi dan Tria, mengatakan keputusan melakukan karantina kepada dua anaknya karena takut ada virus corona yang ikut, apalagi di Makassar sudah banyak orang yang kena.

“Namanya antisipasi, langkah ini saya lakukan juga agar warga lain di desa saya saat anaknya pulang ke kampung, tidak langsung pulang ke rumah, tapi sebaiknya melakukan terlebih dahulu karantina,” ujar Sultan.

Ia mengatakan saat ini di desa yang ia pimpi semakin gencar upaya mencegah penyebaran virus corona. Di antaranya dengan melakukan penjagaan ketat di pintu masuk menuju desanya. 

“Kami ingin warga yang ada terhindar dari yang namanya virus corona itu,” ujarnya.

Cerita Dwi dan TriaDwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi dan adiknya, Tria Buana Lestari Sutandi, di gubuk karantina di empang di Desa Tappilina, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah dari Dwi Reskiyah Fajriyanti Sutandi)

Memancing dan Masak Sendiri

Dwi dan Tria selama menjalani karantina, setiap hari melakukan hal-hal menyenangkan. Seperti pagi hari saat ingin sarapan, ingin menikmati lauk segar, mereka memancing di sungai yang berada tidak jauh dari gubuk tempatnya tinggal.

“Aktivitas yang kami lakukan, bangun pagi memberi makan ikan peliharaan, siang mandi di pantai, memancing di sungai, dan makan kelapa muda yang tumbuh bebas di pinggir pantai. Sore memberi makan ikan di empang, malam masak buat makan,” tutur Dwi.

Ia tidak pernah jenuh selama melakukan karantina, meski melakukan rutinitas sama setiap hari. “Kadang kalau ingin mencari suasana beda, kami ke pinggir pantai, mandi air garam, kami juga punya lokasi di pinggir pantai, jadi seperti pantai pribadi,” tuturnya.

Dwi berharap pandemi corona segera berakhir agar ia bisa kembali ke Makassar untuk menyelesaikan skripsi. “Kalau wabah ini berakhir, saya cuma ingin kembali ke Makassar untuk menyelesaikan skripsi yang terbengkalai. []

Baca juga:

Berita terkait
Sejarah Malioboro dan Situasi Saat Pandemi Covid-19
Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia termasuk Yogyakarta, Malioboro sepi seperti kota mati. Ini sejarah Malioboro dan situasinya kini.
Keyko Atlet Polo Air, Sebelum dan Sesudah Corona
Amazia Keyko Radisty usai berlatih fisik saat ditemui. Ini kisah atlet termuda polo air wanita di Yogyakarta, sebelum dan sesudah pandemi corona.
Listrik Gratis Tiga Bulan Darurat Covid-19
Sariman, Frida, Yuli, warga Yogyakarta menceritakan pengalaman menikmati listrik gratis dan dapat diskon di tengah situasi darurat Covid-19.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.