Sejarah Malioboro dan Situasi Saat Pandemi Covid-19

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia termasuk Yogyakarta, Malioboro sepi seperti kota mati. Ini sejarah Malioboro dan situasinya kini.
Seorang warga duduk di kursi kayu di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Senin, 13 April 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta Trotoar di sepanjang kawasan Malioboro, Yogyakarta, tak seperti beberapa pekan lalu. Malioboro tampak lengang sore itu, Senin 13 April 2020. Tidak banyak orang berlalu lalang. Pun hanya segelintir pedagang kaki lima yang membuka lapak.

Semburat awan putih menggelantung di atas langit biru Malioboro, teduh dan mampu menemani hangat matahari sore. Cuaca seperti itu biasanya disukai para pengunjung, yang berjalan kaki dari ujung utara ke selatan atau sebaliknya.

Para wisatawan yang datang dari penjuru Tanah Air, bahkan tak sedikit wisatawan mancanegara sering menyempatkan waktu untuk menyusuri trotoar itu. Lalu singgah di depan lapak puluhan bahkan ratusan pedagang kaki lima, memilih kemudian membel buah tangan untuk kerabat di kampungnya.

Banyak hal yang menarik minat wisatawan di Malioboro. Selain sebagai salah satu ikon Kota Yogyakarta, toko dan pedagang kaki lima di kawasan itu menyediakan beragam barang khas Yogyakarta, mulai dari kain atau pakaian batik, ukiran, kerajinan kayu dan bermacam aksesoris serta pernak-pernik.

Saya yakin setelah pandemi ini bakal lebih ramai. Orang Jogja sendiri pun pasti kangen ke sini.

MalioboroUjung selatan Jl Malioboro, sekitar titik nol Kota Yogyakarta, Senin sore, 13 April 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Kalau pun ada pengunjung yang tidak berbelanja oleh-oleh, biasanya mereka duduk di kursi kayu yang disediakan di sepanjang trotoar. Tak jarang mereka sekadar berpose dan berswafoto di situ, sambil menikmati segelas es yang dijajakan pedagang asongan.

Hal lain yang tak kalah menarik di Malioboro adalah warung makan lesehan dan musisi jalanan. Wisatawan sering berkerumun untuk menikmati irama musik angklung dan tetabuhan yang dimainkan para musisi jalanan.

Wisatawan yang keasyikan dan memiliki rasa percaya diri tinggi, sering kali ikut berjoget di tengah kerumunan yang membentuk lingkaran, atau di depan para musisi itu.

Tapi sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, termasuk Yogyakarta, perlahan tapi pasti Malioboro mulai menyepi. Satu per satu para pedagang kaki lima dan toko-toko di sepanjang Malioboro tutup. Wisatawan pun tak lagi berkunjung.

MalioboroUjung selatan Jl Malioboro, sekitar titik nol Kota Yogyakarta, Senin sore, 13 April 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Dari ujung selatan trotoar, mata menjadi lebih leluasa memandang. Trotoar yang biasanya dipenuhi pejalan kaki pun berubah seperti kota mati. Tidak lagi ada kelompok musisi jalanan, juga tidak para pedagang kaki lima.

Kursi-kursi kayu di kawasan itu kosong, tanpa canda dan tawa pasangan yang dimabuk cinta, juga tanpa pose wisatawan yang siap mengunggah hasil swafoto ke Instagram atau Facebook dan WhatsApp.

Optimisme Warga Saat Pandemi Covid-19

Perbedaan situasi di sepanjang kawasan Malioboro dibenarkan seorang warga Yogyakarta yang melintas, Taufik, 28 tahun, yang mengaku sengaja menyusuri trotoar di kawasan Malioboro untuk melihat kondisi. Ia memakai masker kain untuk melindungi diri dari kemungkinan gangguan virus corona penyebab penyakit Covid-19.

Pada hari-hari biasa sebelum pandemi Covid-19 melanda, Taufik jarang berkunjung ke Malioboro untuk sekadar jalan-jalan. Biasanya ia ke Malioboro jika ada keperluan, misalnya berbelanja atau menemani kerabat yang kebetulan sedang berlibur di Yogyakarta.

Dulu, beberapa tahun lalu, saat Taufik masih duduk di bangku sekolah menengah atas, ia mempunyai lokasi favorit untuk nongkrong di kawasan Malioboro, yakni tepat di depan Gedung Agung atau di seberang Benteng Vredeburg.

MalioboroPertokoan di sepanjang kawasan Malioboro, Yogyakarta, Senin, 13 April 2020. Sebagian besar toko dan pedagang kaki lima memilih tutup saat pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

"Sebetulnya saya jarang sekali ke Malioboro, apalagi untuk nongkrong. Kalau weekend kan penuh banget, Mas. Buat jalan saja susah. Kalau dulu waktu SMA sering," kata dia.

Keinginannya untuk kembali menyusuri trotoar di Malioboro disebabkan beberapa unggahan foto di media sosial, yang memperlihatkan situasi kawasan Malioboro saat ini sangat sunyi. Taufik pun merasa penasaran.

Menurutnya, perbedaan situasi di sepanjang Malioboro sangat terasa. Bahkan saat mulai melangkah di kawasan itu. Bahkan saat memasuki area parkir, jumlah kendaraan yang terparkir sangat minim. Banyak lahan yang kosong. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, yang kadang untuk memarkir kendaraan pun harus agak jauh karena seluruh area parkir penuh.

Saat ini Malioboro disebutnya lebih sunyi daripada beberapa ruas jalan protokol lain di Yogyakarta. Tapi, menurutnya itu justru menunjukkan bahwa sebagian besar warga sudah paham tentang physical distancing. Sementara keramaian di ruas jalan lain bukan disebabkan kerumunan tetapi kendaraan yang melintas.

MalioboroHand sanitizer (kanan) pembasmi virus corona di depan pertokoan di kawasan Malioboro, Yogyakarta, Senin, 13 April 2020. Sebagian besar toko dan pedagang kaki lima memilih tutup saat pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Taufik mengaku optimistis nanti setelah pandemi Covid-19 berlalu, kawasan Malioboro akan kembali ramai dikunjungi. Ia yakin para pedagang dan orang-orang yang selama ini mengais rezeki di kawasan Malioboro akan kembali meraup rupiah.

"Saya yakin setelah pandemi ini bakal lebih ramai. Orang Jogja sendiri pun pasti kangen ke sini. Kalau sekarang suasananya benar-benar beda. Andong pun enggak ada, Mas. PKL (pedagang kaki lima) juga sedikit sekali," tutur Taufik.

Sejarah Malioboro

Kawasan Malioboro terletak sangat strategis, yaitu di antara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Tugu Pal Putih atau yang lebih dikenal dengan Tugu Jogja.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Yogyakarta, dijelaskan bahwa Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Keraton Yogyakarta. Dalam bahasa Sansekerta, kata "malioboro" bermakna karangan bunga.

MalioboroDeretan kursi kayu kosong di sepanjang trotoar kawasan Malioboro, Yogyakarta, Senin, 13 April 2020. Pada hari biasa, kursi-kursi itu dipenuhi pengunjung yang beristirahat. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

"Hal itu mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika keraton mengadakan acara besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M," demikian tertulis dalam laman tersebut.

Keberadaan Jalan Malioboro disebut tidak terlepas dari konsep kota Yogyakarta, yang ditata membujur dari arah utara-selatan, dengan jalan-jalan yang mengarah ke penjuru mata angin serta berpotongan tegak lurus.

Pola penataan itu diperkuat dengan adanya "poros imajiner" yang membentang dari arah utara menuju selatan, dengan keraton sebagai titik tengahnya.

MalioboroSpot nongkrong favorit wisatawan di Malioboro, Yogyakarta, di depan Benteng Vredeburg, kini sunyig. Foto diambil Senin, 13 April 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

"Poros" tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu Tugu (Pal Putih) di utara, ke selatan berupa jalan Margatama (Mangkubumi) dan Margamulya (Malioboro), Keraton Yogyakarta, Jl. DI. Panjaitan, berakhir di panggung Krapyak. Jika titik awal (Tugu) diteruskan ke utara akan sampai ke Gunung Merapi, sedang jika titik akhir (Panggung Krapyak) diteruskan akan sampai ke Samudera Hindia.

Pada zaman kolonial (1790-1945) pola pembangunan perkotaan itu terganggu oleh Belanda, yang saat itu membangun benteng Vredeburg (1790). Letaknya tepat di ujung selatan jalan Malioboro.

Selain benteng Vredeburg, Belanda juga membangun Societeit Der Vereneging Djogdjakarta (1822), The Dutch Governor's Residence (1830), Javasche Bank dan kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta.

"Komunitas Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII ( 1877 - 1921)".

MalioboroPengendara sepeda motor melintas di kawasan Jl Malioboro Yogyakarta, yang sunyi sejak pandemi Covid-19 melanda, Senin, 13 April 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Perkembangan komunitas Belanda itu berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, dan pendidikan. Selain itu juga disebabkan perdagangan antara orang Belanda dan orang Tionghoa, serta pembagian tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat Tionghoa dan kemudian dikenal sebagai Distrik Cina (Kawasan Pecinan).

Untuk meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Belanda juga membangun beberapa fasilitas lain, termasuk pembangunan Stasiun Tugu oleh Staat Spoorweg (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian.

Jalan Malioboro juga memiliki peranan penting di era kemerdekaan (pasca-1945), saat orang-orang Indonesia berjuang membela kemerdekaan dalam pertempuran yang terjadi utara-selatan sepanjang jalan. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Andong Malioboro Yogyakarta Riwayatmu Kini
Andong dulu menjadi transporasi idola di Yogyakarta. Seiring perkembangan zaman, keberadaannya berubah.
Penjelasan Manajemen Plafon Malioboro Mall Ambrol
Pengunjung Malioboro Mall Malioboro geger dan heboh saat plafon di tempat itu ambrol. Mall seperti banjir karena tumpahan air hujan.
Lumpia Basah Samijaya Malioboro Buruan Wisatawan
Lumpia basah Samijaya Maliboro punya keunikan rasa tersendiri. Lumpia ini salah satunya berisi irisan bengkoang, ini yang menjadi kekhasannya.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.