Laki-laki Heteroseksual Jadi Penyebar HIV/AIDS di Aceh

Beberapa daerah mengaitkan LGBT dalam penyebaran HIV/AIDS, padahal yang potensial menyebarkan HIV/AIDS di Aceh justru laki-laki heteroseksual
Ilustrasi (Foto: aids.nlm.nih.gov)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Ketika kasus HIV/AIDS mulai merangkak naik muncullah upaya cari kambing hitam yaitu menyalahkan LGBT, padahal yang jadi penyebar HIV/AIDS di masyarakat justru kaum heteroseksual. “Jadi untuk di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, maka kalangan LGBT yang bertanggung jawab paling besar terhadap penyebaran HIV dan AIDS di dua daerah tersebut,” tutur Khaidir. Ini ada dalam berita “Bocah Empat Tahun di Aceh Terinfeksi HIV”, Tagar, 4 Maret 2020.

Sebagai Direktur Yayasan Permata Aceh Peduli (YPAP) Khaidir menyampaikan informasi yang tidak akurat sehingga menimbulkan salah paham di masyarakat yang akan berujung pada stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap LGBT.

Terkait dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang kasat mata hanya transgender yang juga dikenal sebagai waria. Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dikenali karena tidak ada ciri-ciri yang khas pada fisik dan perilaku mereka yang menggambarkan lesbian, gay dan biseksual.

Pada lesbian tidak ada seks penetrasi sehingga risiko penularan HIV melalui aktivitas seksual pada lesbian tidak ada. Itulah sebabnya lesbian tidak masuk dalam kelompok kunci. Sedangkan gay tidak punya istri sehingga tidak ada penyebaran HIV/AIDS ke masyarakat. Penularan HIV/AIDS hanya terjadi di komunitas gay.

Maka, pernyataan Khaidir yang menyebutkan “ …. kalangan LGBT yang bertanggung jawab paling besar terhadap penyebaran HIV dan AIDS di dua daerah tersebut (Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara) ….” tidak akurat karena lesbian bukan kelompok kunci dan gay tidak mempunyai istri. Waria justru didatangi laki-laki heteroseksual, bahkan yang mempunyai istri.

Yang jadi persoalan besar pada LGBT adalah biseksual. Mereka ini mempunyai istri tapi juga pasangan homoseksual. Itu artinya biseksual jadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari komunitas mereka ke masyarakat. Yang beristri menularkan HIV/AIDS ke istrinya, sedangkan yang tidak punya istri menyebarkan HIV/AIDS ke pasangan seksual mereka.

Justru laki-laki heteroseksual yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah dan di luar nikah. Perilaku laki-laki heteroseksual dewasa yang berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara serta di daerah lain di Aceh adalah:

(1). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam nikah atau di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh, bahkan di luar negeri.

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh, bahkan di luar negeri.

Yang perlu diingat adalah PSK ada dua tipe, yaitu:

(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b), PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, PSK online, cewek prostitusi online, 'artis dan model' prostitusi online, dll.

Maka, pernyataan Khaidir yang menyebutkan bahwa proses penularan HIV/AIDS kepada bocah umur empat tahun itu belum tahu bagaimana tentulah jadi tanda tanya besar karena sudah dijelaskan ibu anak itu HIV-positif. Itu artinya anak umur empat tahun itu tertular dari ibunya pada saat persalinan atau menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Kalau saja Khaidir berpikir jernih tanpa balutan moral tentulah akar persoalan penyebaran HIV/AIDS di Aceh dilakukan oleh laki-laki heteroseksual. Kalau disebutkan di Aceh tidak ada lokalisasi pelacuran bukan berarti tidak ada transaksi seks dengan berbagai modus, bahkan memakai media sosial. Berita “Prostitusi Online Lewat Facebook dan WhatsApp di Aceh” di Tagar, 9 Juli 2019, menunjukkan transaksi seks melalui media sosial di Aceh.

Jika Aceh terus menyangkal andil laki-laki heteroseksual sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat itu artinya Pemprov Aceh membiarkan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Jika ini terjadi maka epidemi HIV/AIDS di Aceh kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Bertahan Hidup dengan Jalan Prostitusi di Aceh
Meski Kota Lhokseumawe Aceh kaya gas alam melimpah, namun sangat banyak persoalan di antaranya perempuan memilih bekerja di jalan prostitusi.
Prostitusi Online Lewat Facebook dan WhatsApp di Aceh
Lewat tengah malam di sudut kafe di Lhokseumawe, Aceh, seorang putri remaja mengutak-atik ponsel, mengecek Facebook dan WhatsApp.
Prostitusi Online di Banda Aceh Rata-rata Mahasiswi
Pihak kepolisian telah mengamankan seorang germo, MRS (24) yang merupakan warga Desa Pematang Cengal, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.