KPCDI Minta Pemerintah Patuhi MA Soal BPJS

KPCDI meminta pemerintah mematuhi putusan MA yang menurunkan kembali iuran BPJS.
Ketua Umum KPCDI Tony Samosir (dua dari kanan) bersama kuasa hukum KPCDI (Foto: KPCDI)

Jakarta - Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) lewat kuasa hukumnya Rusdianto Matulatuwa menyambut baik pernyataan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahmud MD yang menyatakan bahwa keputusan atas Judicial Review dari Mahkamah Agung (MA) tentang pembatalan Perpres No 75 Tahun 2019 pasal 34, ayat 1 dan 2 akan dijalankan Pemerintah.

Mahmud MD menyatakan bahwa keputusan atas Judicial Review di MA bersifat final dan mengikat. Tidak bisa dilakukan PK (Peninjauan Kembali) seperti perkara perdata dan pidana.

Dalam siaran pers yang diterima Tagar, Jumat, 13 Maret 2020, KPCDI juga memberi aspresiasi atas keputusan MA tersebut. Keputusan tersebut angin segar di tengah proses hukum yang sering mengalahkan para pencari keadilan, khususnya rakyat kelas bawah.

"Keputusan itu akan disambut hangat oleh rakyat Indonesia karena akan meringankan beban pengeluaran mereka paska kenaikan iuran BPJS Kesehatan," kata Tony Samosir, Ketua Umum KPCDI.

KPCDI dan tim kuasa hukum mendesak agar keputusan MA ini dijalankan segera oleh Pemerintah. KPCDI meminta agar tidak ada keputusan dari Pemerintah ataupun BPJS Kesehatan yang mengakali dan mengaburkan keputusan MA tersebut.

Rusdianto menghimbau pihak penguasa yang masih mencoba untuk lari dari tanggung jawab hukum dengan melakukan intrik-intrik secara hukum. “Tindakan itu bukanlah hal yang patut untuk dicontoh. Putusan MA tentang uji materiil Perpres No 75 2019 bersifat final and binding,” kata Tony.

Ia mengatakan tidak ada alasan apapun dari pihak yang kalah untuk menunda, mengingat asas justice delayed is justice denied sehingga membuat putusan ini seolah-olah adalah putusan yang non executable.

“Menunda jalannya putusan ini sama saja dengan mengabaikan dan meniadakan hukum yang telah diperbaiki secara cermat oleh penegak keadilan yaitu Mahkamah Agung Republik Indonesia,” ujarnya.

Tony menyesalkan pernyataan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lenadi, di salah satu program televisi yang mengatakan putusan uji materiil tersebut mempunyai sifat Ultra Petita. 

"Sebuah pemikiran yang keliru dan menyesatkan, kurang memahami konsekuensi dari hukum yang telah diperjuangkan oleh masyarakat Indonesia yang telah bersusah payah mencari keadilan melalui mekanisme yang fair. Ini sama saja mengabaikan dan meniadakan hukum yang telah diperbaiki secara cermat oleh penegak keadilan yaitu Mahkamah Agung,” katanya.

Tim kuasa hukum KPCDI mensinyalir ada pernyataan menteri lain yang berbeda dengan Mahmud MD. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengancam untuk menarik kembali suntikan modal pemerintah sebesar Rp 13,5 triliun yang telah diberikan kepada BPJS Kesehatan.

Suntikan modal itu diberikan pemerintah demi menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan yang diproyeksi sebesar Rp 32,4 triliun pada akhir 2019.

Ancaman tersebut diungkapkan Sri Mulyani saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait kenaikan iuran. Anggota DPR saat itu meminta pemerintah membatalkan kenaikan iuran khususnya kelas 3 mandiri yang berasal dari peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). 

"Jika meminta Perpres dibatalkan maka Menkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun 2019 saya tarik kembali," kata Sri Mulyani.

Tony mengatakan pernyataan Menkeu ini sama saja Pemerintah ingin cuci tangan atas masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan, tetap bersikukuh beban defisit harus ditimpakan kepada rakyat.

Ia mengatakan cara pandang Menkeu melihat BPJS Kesehatan seperti perusahaan yang menghitung untung dan rugi. 

"Menteri Keuangan harus paham bahwa BPJS Kesehatan adalah bagian dari tugas negara untuk mengembangkan satu sistem jaminan sosial (pasal 34 UUD Tahun 1945). Pelayanan kesehatan adalah salah satu tanggungjawab negara," ucapnya.

Kuasa Hukum KPCDI juga mengatakan bahwa seyogyanya negara selaku pemegang kebijakan seharusnya bertindak lebih bijak, dimana anggaran kesehatan yang mendapat porsi sebesar minimal 5% (persen) dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat diprioritaskan untuk mendapat porsi yang lebih besar guna mengurangi beban rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Tony mengatakan Pemerintah harus menjalankan keputusan MA tersebut dengan sebaik-baiknya. Menurutnya Pemerintah harus menjadi contoh pihak yang taat hukum. 

"Perpres No. 75 Tahun 2019, Pasal 34 ayat 1 dan 2 dinyatakan oleh MA tidak mempunyai hukum yang mengikat lagi. Pemerintah harus segera menerbitkan Perpres baru demi kepastian hukum," katanya. []


Berita terkait
Suntikan Dana Pemerintah Untuk BPJS
Berapa saja jumlah suntikan dana dari pemerintah untuk BPJS?
Pengembalian Iuran BPJS Tunggu Rakor Menko PMK
Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan akan ada rakor dengan Menko PMK dan Menkeu terkait pembatalan kenaikan iuran pasca putusan MA.
BPJS Batal Naik, DPR Minta Sri Mulyani Patuhi MA
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani mematuhi putusan Mahkamah Agung soal putusan BPJS
0
Jawaban Jokowi Saat Ditanya Pilih Puan Maharani atau Ganjar Pranowo Capres 2024
Apa jawaban Presiden Jokowi ketika wartawan bertanya kepadanya: pilih siapa capres untuk Pilpres 2024, Puan Maharani atau Ganjar Pranowo.