Kontroversi Vonis Istimewa Majelis Banding Terhadap Pinangki

Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasarri kembali menjadi kontroversi lantaran ia mendapat perlakuan yang istimewa dari Majelis Hakim Bandung.
Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasarri. (Foto: Tagar/Brata)

Jakarta – Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasarri kembali menjadi kontroversi lantaran ia mendapat perlakuan yang istimewa dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, vonis penjara 10 tahun di pengadilan tinggi diubah menjadi empat tahun.

Pinangki mendapatkan julukan sebagai jaksa sosialita, karena gaya hidupnya yang mewah hingga kemudian dipecat dari profesinya sebagai jaksa. Ia menerima suap dan gratifikasi dalam kasus Djoko Tjandra.

Merespons hal ini, Pakar Hukum Luthfi Yazid  mengatakan pertimbangan Hakim lebih banyak kepada pertimbangan emosi dan non hukum seperti alasan karena ia merupakan perempuan dan memiliki balita, dan sudah iklas melepas jabatannya. 

“Padahal sebetulnya Hakim itu harus memutus perkara dengan pertimbangan hukum dan keadilan dengan rasio hukum dan keadilan,” ujar Luthfi Yazid saat diwawancarai Tagar TV, Selasa, 22 Juni 2021.

Pasalnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan banding yang diajukan terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus suap dan gratifikasi terkait Djoko Tjandra. 

Dalam putusannya Pinangki mendapatkan pengurangan hukuman penjara. Hal itu sudah tertuang dalam putusan No.10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yang diputuskan pada selasa 8 Juni 2021.


Jangan sampai hukum di Indonesia semakin jelek dan sebagai negara hukum harus menegakkan keadilan sebagai prioritas.


Alasan dibalik pengurangan masa tahanan Pinangki adalah karena ia memiliki balita yang berumur empat tahun, sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan. 

Karena hal tersebut banyak pihak yang tidak setuju dan mengatakan seharusnya hakim jangan membuat pertimbangan yang terkesan membantu terdakwa dengan alasan bias gender.


Alasan di Balik Vonis Istimewa Jaksa Pinangki

“Menurut saya Hakim telah gagal meyakinkan masyarakat tentang keputusan ini, karena dari putusan 10 tahun menjadi 4 tahun. Dalam kasus gratifikasi penerimaan suap dan juga pencucian uang,” ujar Luthfi. 

Pinangki yang merupakan penegak hukum, kata Luthfi, seharusnya tidak melakukan hal keji tersebut dan harus memberi contoh kepada masyarakat atas perilakunya.

Sebagai penegak hukum, lanjut Luthfi, yang terlibat kejahatan hakim dinilai salah karena esensi keadilan yang tidak bisa ditangkap oleh hakim, sehingga rasa keadilan masyarakat itu tidak bisa terpenuhi. 

“Kalau alasannya perempuan ya banyak juga terpidana yang perempuan, dan kalau jumlah tahun pidananya banyak juga bahkan yang hanya terlibat pencurian kakao atau hal kecil itu dipidana yang berat dan tidak sesuai dengan rasio keadilan,” ujarnya.

“Menurut saya kasus seperti ini harus dibongkar dan harus ada eksaminasi publik oleh perguruan tinggi supaya bisa dilihat apakah obyektif, ada alasan-alasan yang rasional. Karena bisa saja Pinangki ini adalah pion karena melihat ini kasus yang besar,” ucap Luthfi.

Ia berharap Hakim bisa menangkap rasa keadilan terutama dimasa pandemi ini banyak sekali orang-orang yang memanfaatkan kesempatan didalam kesempitan. Menurut Luthfi hal tersebut wajib dihukum berat karena sudah banyak merugikan dan harus menegakkan amanat keadilan.

Luthfi juga mengatakan dari kasus rendahnya vonis Pinangki,  banyak pihak yang menilai bahwa ada permasalahan serius di peradilan Indonesia, karena seharusnya sebagai penegak hukum vonis Pinangki harus ditambah bukan dikurangi. 

“Menurut saya memang begitu. Sejak Artidjo Alkostar tidak lagi menjadi Hakim Agung saya tidak melihat bahwasannya ada putusan-putusan lembaga peradilan ada efek jeranya,” ujarnya.

Luthfi mengatakan jangan sampai hukum di di Indonesia collapse dan persoalan hukum dalam situasi ini harus mendapatkan prioritas sehingga ada rasa keadilan dan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan. 

“Jangan sampai hukum di Indonesia semakin jelek dan sebagai negara hukum harus menegakkan keadilan sebagai prioritas,” katanya.

Menurutnya tindakan dalam kasus Pinangki ini merupakan kejahatan yang luar biasa dan sangat merugikan sendi-sendi kehidupan.

“Menurut saya tidak apa-apa untuk para koruptor dihukum mati atau seumur hidup seperti halnya di China, dan karena hal tersebut sangat merusak kehidupan masyarakat dan bisa melumpuhkan sebuah bangsa,” ujar Luthfi. 

(Selfiana)

Berita terkait
Saran dan Tanggapan MAKI Atas Vonis 10 Tahun Jaksa Pinangki
Berikut saran dan tanggapan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) atas vonis 10 Tahun yang dijatuhkan Hakim kepada mantan Jaksa Pinangki.
Jaksa Pinangki Dituntut 4 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta
ICW menilai, hukuman yang dijatuhkan terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari terlalu ringan
Jaksa Pinangki Terbukti Menerima Suap dari Djoko Tjandra
Eks Jaksa Agung Pinangki Sirna Malasari telah dituntut hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 500 Juta ditambah subsider 6 bulan.