Bantul - Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) mendukung langkah KPU yang mengusulkan revisi Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, sehingga eks koruptor dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Koordinator KISP, Moch. Edward Trias Pahlevi menganggap, langkah KPU tersebut tepat. Saat aturan tersebut diberlakukan, maka dapat menjadi sanksi sosial bagi koruptor. Sekaligus dapat meningkatkan integritas kepala daerah.
"Kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah selama ini cukup marak," kata Edward dalam pernyataan tertulis, Kamis 15 Agustus 2019.
Menurutnya, sejak tahun 2004, KPK telah menangkap 21 gubernur, dan 103 wali kota/bupati di Indonesia. Kemudian sepanjang tahun 2018, juga terdapat 454 kasus penindakan dugaan korupsi.
Sepanjang itu sudah disepakati oleh DPR, kami tentunya siap melaksanakan UU
Sedangkan berdasarkan hasil Survei Transparency International, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di level 38 dari skala 0-100 pada 2018.
"Indeks mendekati 0 mengindikasikan masih terjadi banyak korupsi, sebaliknya makin mendekati 100 semakin bersih dari korupsi. Dengan hasil skor tersebut dapat dianalisis Indonesia masih banyak praktik korupsi," jelasnya.
Oleh karenanya, Edward menilai, larangan eks koruptor masuk dalam bursa pilkada merupakan langkah konkret. Mengingat, selama ini tak ada sanksi sosial yang tegas kepada para pelaku korupsi.
Namun demikian, Edward berharap ada payung hukum yang jelas dalam larangan tersebut, sehingga penyelenggara Pemilu, DPR, dan pemerintah harus duduk bersama dalam merumuskan revisi UU Pilkada.
Hal tersebut juga penting untuk mempersempit kemungkinan revisi itu nantinya dipersoalkan di Mahkamah Agung (MA).
Ketua KPU Kabupaten Bantul, Didik Joko Nugroho menyatakan, sebagai bagian dari penyelenggara pemilu di tingkat daerah, pihaknya siap untuk menjalankan regulasi, baik dalam bentuk UU maupun Peraturan KPU (PKPU).
"Sepanjang itu sudah disepakati oleh DPR, kami tentunya siap melaksanakan UU tersebut, termasuk apabila dilakukan revisi," tegasnya. []