Kisah Saidul, Kehilangan Dua Anak Saat Tsunami Aceh

Saidul Karnain Ishak,15 tahun lalu saat tsunami Aceh, kehilangan 17 anggota keluarga, dua di antaranya anak kandungnya.
Saidul Karnain Ishak (Foto: Tagar/Tiva Rianthy)

Palangka Raya - Masih lekat dalam ingatan Saidul Karnain Ishak, peristiwa tsunami 15 tahun silam yang meluluhlantahkan Tanah Rencong Aceh, tepatnya 26 Desember 2004. Akibat musibah ini, ia harus rela kehilangan 17 keluarganya, dua di antaranya merupakan anak kandungnya.

Saidul, begitu dia biasa disapa, tidak tahu apakah kedua buah hatinya masih hidup atau telah meninggal dunia, ikut menjadi korban tsunami. Sebab jasad dua anaknya, Maulida dan Try Maulidin tidak pernah ditemukan hingga kini.

Mantan Kepala Biro Antara Kalteng ini tidak mengalami langsung dahsyatnya tsunami waktu itu. Saat bencana itu datang, Saidul sedang berada di luar kota, meliput kunjungan kerja Pangdam Iskandar Muda Mayor Jendral Endang Suwarya di salah satu kabupaten di Aceh.

Bagi dia, terasa berat untuk menceritakan peristiwa pahit yang menimpa anggota keluarganya. Itu seolah membuka luka lama. Namun ia mencoba menuturkan peristiwa saat itu, yang sampai detik ini, sangat sulit dilupakannya. Bahkan sang istri tercinta, Sulma tidak mau sedikit pun diwawancarai.

"Saat gempa saya berada di hotel. Kemudian lari keluar untuk menyelamatkan diri. Akhirnya Pangdam memutuskan untuk kembali ke Kota Banda Aceh," kata Saidul memulai cerita pedihnya, Kamis 26 Desember 2019.

Setelah makan siang dengan bupati sekitar pukul 13.00 wib, mereka pun pulang ke Banda Aceh dengan menggunakan helikopter. Ketika mendengar informasi bahwa salah satu kabupaten yang dekat laut banyak korban, Pangdam sempat turun di situ untuk menyerahkan bantuan.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa mendengar semua itu. Dan langsung duduk merenung tidak tahu harus apa lagi yang harus diperbuat.

Sesampainya di Banda Aceh, suasana saat itu memang sudah hiruk pikuk. Orang-orang lari pontang-panting untuk menyelamatkan diri. Kemudian rombongan meneruskan perjalanan dengan bus ke pusat kota. Dalam perjalanan ini, sudah melihat banyak kantong-kantong jenazah.

makam massalKompleks kuburan massal korban bencana gempa dan tsunami di Desa Suak Indrapuri, Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh. Foto diambil pada Rabu 25 Desember 2019. (Foto: Antara/Syifa Yulinnas)

Setelah berpisah dengan Pangdam di jalan, Saidul lantas meneruskan perjalanan ke rumahnya yang berjarak 3 kilometer dari pusat kota atau depan Masjid Raya. Di tengah jalan ia bertemu dengan tetangganya yang hanya bisa menyelamatkan dua anaknya.

Melihat hal itu, tentu saja membuat pikirannya berkecamuk, tentang kondisi keluarganya. Berselang waktu kemudian, Saidul bertemu dengan sahabatnya, yang merupakan anggota kepolisian. Ia pun minta diantar ke rumahnya. Belum sampai rumah, ban sepeda motor bocor, sehingga tidak bisa meneruskan perjalanan.

Pria kelahiran 20 Mei 1959 ini akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan pulang ke rumah dengan berjalan kaki, yang harus menempuh waktu selama 3 jam. Saidul berhasil juga sampai di rumahnya. Dia mendapati rumahnya sudah rata dengan tanah.

Salah satu tetanggannya memberitahu kepada Saidul, bahwa dua anaknya Maulida yang waktu itu berusia 15 tahun dan Try Maulidin berusia 11 tahun, masih belum ditemukan. Sedangkan istrinya dan satu anaknya yang selamat sudah mengungsi di Matai.

"Saya tidak bisa berbuat apa-apa mendengar semua itu. Dan langsung duduk merenung tidak tahu harus apa lagi yang harus diperbuat," ujar pria berkacamata kelahiran Tanoh Mirah, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen.

Saidul berusaha untuk mengumpulkan sisa tenaganya agar bisa sampai ke pengungsian. Lalu dia diantar temannya sekitar pukul 22.00 WIB untuk bertemu istri dan anaknya. Ternyata mereka sudah tidak berada di pengungsian, melainkan sudah di rumah kerabatnya. Satu jam kemudian baru dirinya bisa bertemu dengan keluarganya.

Saidul dan istri tak pernah lelah mencari keberadaan dua buah hatinya. Meskipun tak dipungkiri, sangat tipis harapan kedua anaknya masih hidup. Berbagai penampungan anak tsunami baik di dalam negeri sampai luar negeri, sudah dering disambangi, dengan harapan bisa menemukan kedua buah hatinya.

"Sampai hari ini kalau memang kedua anak saya sudah dipanggil Allah, saya tidak bertemu dengan jenazah. Usaha mencari di sekitar tsunami sudah saya lakukan," ucap pria 60 tahun ini.

saidul2Saidul Karnain Ishak (Foto: Tagar/Tiva Rianthy)

Kendati hingga kini Saidul masih belum bisa menemukan buah hatinya, namun ia tidak pernah berziarah di kuburan masal korban tsunami Aceh. "Kita tetap mohon kepada Allah supaya mereka diberi hidayah, diberi tempat. Kalau dia masih diberi umur panjang, pasti akan mencari orang tuanya," ujarnya.

Sampai hari ini kalau memang kedua anak saya sudah dipanggil Allah, saya tidak bertemu dengan jenazah.

Tujuh tahun setelah tsunami Aceh, tepatnya 2011 Saidul dan istri memutuskan menetap di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Kepindahannya ke Kota Cantik ini, karena dipercaya sebagai Kabiro Antara Kalteng.

Seiring berjalannya waktu ternyata Saidul dan istri yang kini berusia 54 tahun ini merasa betah tinggal di Palangka Raya. Sepasang suami istri mencoba merintis usaha berjualan mie Aceh.

"Yang namanya musibah kita rela saja, tapi dengan harapan, semoga diberi kesempatan, diberikan umur panjang dan diberi kesempatan hidup. Hakkul yakin saya, mereka akan tahu siapa orang tuanya," tuturnya.

Saidul dan Sulma, istrinya, hanya bisa mengenang kedua buah hatinya. Hanya doa yang bisa dipanjatkan kepada Sang Khalik. Saidul sempat bercerita bahwa kedua belahan jiwanya merupakan anak-anak yang cerdas. Terutama sang putri yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata untuk anak seusianya.

Kini, 15 tahun sudah berlalu, tsunami dengan gelombang Samudera Hindia di atas tujuh meter menerjang Serambi Mekkah. Bencana yang diawali dengan gempa berkekuatan 9,1 skala richter (SR) itu menelan 230 ribu korban jiwa meninggal dunia, yang sebagian besar warga Indonesia khususnya Aceh. []

Baca Juga:

Berita terkait
Kenangan di Merak Ketika Tsunami Menghantam Aceh
Beberapa jam sebelum tsunami menghantam pesisir utara dan barat Aceh, 26 Desember 2004, hujan deras dan angin kencang terjadi di Merak, Banten
Tsunami Aceh 2004, Cerita Duka dari Thailand
Menjelang pukul 08.00 WIB, 15 tahun yang silam, Aceh diguncang gempa hebat berkekuatan 9,1 SR yang kemudian diikuti dengan tsunami.
Kenang 15 Tahun Tsunami Lewat Pameran Foto PFI Aceh
Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh menggelar pameran foto di Sekretariat PFI Aceh, di Taman Putroe Phang, Banda Aceh, Aceh.