Kisah Nelangsa Penjaga Perbatasan Aceh dari Corona

Rupa muka yang tampak lelah bukanlah pancaran batin untuk menyerah di antara terik siang bolong yang mencorong di Subulussalam Aceh.
Suasana Posko Pemeriksaan Cek Suhu Tubuh Gugus Covid-19 pada dini hari di Desa Jontor, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh, Selasa, 7 April 2020, dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB. (Foto: Tagar/Nukman)

Subulussalam - Tepat 2 Maret 2020 yang lalu saat Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia yang terkonfirmasi positif corona virus disease 2019 (Covid-19) adalah menjadi awal kesiapsiagaan pemerintah, mulai dari pusat hingga ke daerah melakukan langkah-langkah antisipasi dalam penanganan pencegahan Covid-19.

Pembentukan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Pencegahan Covid-19 di masing-masing daerah merupakan salah satu strategi untuk meminimalisir penyebaran wabah virus yang bergelar corona itu.

Akselerasi demi memutus mata rantai penularan virus tersebut juga turut dibarengi berbagai kebijakan seperti, pembatasan jam malam, menutup akses jalan hingga membatasi jarak sosial antar warga dengan tidak memperbolehkan lagi menggelar pesta perkawinan, khitanan atau kegiatan sosial lainnya.

Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya kerumunan massa yang berpotensi menjalarnya penularan sang virus yang tak tampak oleh kasat mata itu.

Pokoknya mulai berangkat dari Subulussalam tidak bisa berhenti makan walaupun lapar harus ditahan. Gak bisa ke toilet selama perjalanan karena kami mengenakan baju APD yang sangat super panas itu.

Sementara Majelis Ulama Indonesia turut melahirkan fatwa larangan sementara pelaksanaan ibadah salat Jumat dengan anjuran menggantinya dengan melaksanakan salat fardu Zuhur di rumah.

Keseluruhan aturan-aturan tersebut merupakan runutan daripada penerapan social distancing (jarak sosial) dan stay at home (berdiam di rumah) yang dianggap cukup efektif untuk menekan inkubasi virus tersebut.

Terjangan bencana non alam ini memang telah membuat dunia resah hingga lini-lini perekonomian menjadi gelisah, menyusul sorak sorai lockdown agar segera dapat dilakukan yang dinilai merupakan langkah preventif menghadapi darurat bencana global ini.

Perbatasan AcehArus transportasi melambat akibatnya adanya pemeriksaan kesehatan terkait pencegahan wabah virus corona covid-19 di Desa Lae Ikan, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam yang merupakan pintu masuk perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara, Senin, 23 Maret 2020. (Foto: Tagar/Nukman)

Di Kota Subulussalam, salah satu daerah yang berada di ujung pesisir barat selatan wilayah Provinsi Aceh yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat, Provinsi Sumatera Utara, saat itu juga membuat sebuah posko pemeriksaan kesehatan tubuh bagi setiap penumpang kendaraan yang memasuki wilayah Kota Subulussalam yang beroperasi tanpa jeda selama 24 jam gara-gara virus corona.

Posko tersebut langsung didirikan oleh Pemerintah Kota Subulussalam, berkolaborasi bersama aparat gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian. Di sana tim rela menahan sengatan mentari serta menghadang dinginnya malam untuk mengecek kesehatan setiap tubuh penumpang kendaraan yang masuk, tak jarang mereka terhuyung-huyung mata tampak terseret kantuk, tatkala jiwa dalam ancaman bala, semua keluh mereka papah demi misi kemanusiaan.

Rupa muka yang tampak lelah bukanlah pancaran batin untuk menyerah di antara terik siang bolong yang mencorong. Dagu yang bergetar bukanlah luapan getaran gentar menggeluti deru prahara corona.

Janto Situmorang, pria, 41 tahun sebagai Ketua Public Safety Center (PSC 11) Subulussalam yang tampak aktif melakukan pengecekan suhu tubuh dan wawancara keluhan serta riwayat perjalanan setiap penumpang yang diperiksa kesehatannya.

Menurut penuturannya, bukan tak jarang mereka mendapat tentangan dari penumpang karena dianggap lambat melakukan pemeriksaan. Tak dipungkiri hal itu terjadi karena minimnya peralatan dan jumlah petugas medis di posko sementara, apalagi pada waktu dini hari lunjakan penumpang intensitasnya tinggi hingga mengakibatkan antrian kendaraan yang panjang.

"Yang paling sedih terkadang jam tengah malam kami kelaparan tapi apapun tak ada makanan yang mau dimakan, udah itu terkadang kami juga dibentak masyarakat karena penanganan lambat padahal karena alat pemeriksaan suhu tubuh yang terbatas sehingga dua orang yang bekerja menangani terkadang sampai banyak mobil yang mengantri," tutur Janto kepada Tagar dari balik masker yang menutup separuh wajahnya belum lama ini.

Perbatasan AcehSuasana Posko Pemeriksaan Cek Suhu Tubuh Gugus Covid-19 di Desa Jontor, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh, di mana setiap penumpang wajib menjalani pemeriksaan, Selasa, 7 April 2020. (Foto: Tagar/Nukman)

Menurut Janto, sebenarnya tim medis di lapangan sudah bekerja semaksimal mungkin terkait penanganan pencegahan Covid-19 ini, walaupun terkadang ada komentar negatif dari masyarakat yang mengira kalau mereka hanya bersantai ria di posko.

Yang paling sedih terkadang jam tengah malam kami kelaparan tapi apapun tak ada makanan yang mau dimakan, udah itu terkadang kami juga dibentak masyarakat karena penanganan lambat padahal karena alat pemeriksaan suhu tubuh yang terbatas.

"Ini sudah menjadi tugas kami, mandat ini wajib kami tunaikan dengan penuh tanggung jawab demi keselamatan jiwa warga Kota Subulussalam, walaupun di awal-awal dulu kami malah tidak pakai APD (alat pelindung diri) sewaktu merujuk pasien, tapi kami tetap siap melakukan itu hanya demi misi keselamatan bersama" ujar Janto.

Penobatan tim medis sebagai pahlawan garda terdepan bukanlah ajang bagi mereka menggalang pujian, bukanlah pula serapan bagi mereka dalam mencari keuntungan materi, sebab itu tidak sebanding dengan resiko yang disanding.

Ada pengalaman lain yang diceritakan, Janto yang bertitel Sarjana Kesehatan Masyarakat itu sewaktu membawa pasien suspect Covid-19 dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Subulussalam untuk dirujuk ke Rumah Sakit Zainoel Abidin di Banda Aceh.

Perjalanan darat menggunakan mobil ambulans menuju Banda Aceh memakan waktu tempuh lebih dari 10 jam. Saat itu Janto dan rekannya ditugasi untuk mengantarkan PDP positif rapid test, sesuai SOP (standar operasi prosedur) mereka tidak diperbolehkan berhenti atau singgah ke rumah makan.

"Pokoknya mulai berangkat dari Subulussalam tidak bisa berhenti makan walaupun lapar harus ditahan. Gak bisa ke toilet selama perjalanan karena kami mengenakan baju APD yang sangat super panas itu," katanya.

Lalu, sambung Janto, sepulangnya dari Banda Aceh lantas istri tidak memperkenankan mereka pulang ke rumah karena takut tertular virus.

"Kami ambil kesimpulan, dengan terpaksa kami memutuskan untuk menginap saja di posko PSC selama tiga malam, ya jelas situasi ini membuat kami merasa sedih sekali karena harus jaga jarak kepada anak istri," ucap Janto.

Perbatasan AcehJanto Situmorang saat melakukan pemeriksaan cek suhu tubuh salah seorang penumpang di Posko Pemeriksaan Cek Suhu Tubuh Gugus Covid-19 di Desa Jontor, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh beberapa hari yang lalu. (Foto: Tagar/Nukman)

Begitu juga dengan, dokter Muhammad Armansyah yang menceritakan pengalamannya dalam sebulan ini selalu dibaluri rasa harap-harap cemas dengan keamanan tubuhnya. Ia memang cukup andil di dalam penanganan virus corona atau Covid-19, selain menangani PDP (pasien dalam pengawasan) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Subulussalam.

Kapasitasnya sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Subulussalam membuat dirinya kerap turun untuk mengkoordinir kegiatan posko Covid-19 di Desa Jontor, Kecamatan Penanggalan sebagai posko pemeriksaan cek suhu tubuh bagi setiap penumpang saat memasuki wilayah Aceh terkhusus Kota Subulussalam.

Atas pelibatan profesinya itulah ia menjarakkan dirinya dari anggota keluarganya untuk menghindar diri dari ancaman penularan virus.

"Berjarak dengan anggota keluarga tidaklah sesuatu hal yang mudah, biasanya sepulang kerja bisa bercengkrama dengan anak, tapi hal itu tidak dapat dilakukan lagi, rindu anak dan rindu layaknya seorang ayah tidak dapat tersalurkan lagi, terbatas demi memproteksi diri dari penularan virus Covid-19 ini," keluhnya.

Dengan kondisi yang seperti ini ia simpulkan semuanya adalah sebagai tantangan dari seorang dokter serta ia jadikan apa yang ia lakukan itu sebagai suatu tanggung jawab diniah untuk membangunkan semangatnya agar selalu tampak gagah di hadapan anak dan keluarga tanpa memancarkan wajah penuh beban.

"Huh! Kapan ya wabah ini akan berakhir, apalagi ini sudah mau memasuki bulan Ramadan, terus lebaran, apalagi itu merupakan momen bagi setiap keluarga, sementara posko harus tetap berjalan," ujarnya.

Menjadi tim medis di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia adalah gantungan masyarakat saat ini sebagai garda terdepan yang berhadapan langsung di lapangan dalam melakukan penanganan pencegahan demi keselamatan anak bangsa.

Setiap melakukan tugas para tim medis juga harus mematuhi SOP yang ada guna melindungi diri. Seusai bekerja tidak lantas mereka pulang begitu saja ke rumah. 

Perbatasan AcehSuasana Posko Pemeriksaan Cek Suhu Tubuh Gugus Covid-19 pada dini hari di Desa Jontor, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, Aceh, Selasa, 7 April 2020, dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB. (Foto: Tagar/Nukman)

Berjarak dengan anggota keluarga tidaklah sesuatu hal yang mudah, biasanya sepulang kerja bisa bercengkrama dengan anak, tapi hal itu tidak dapat dilakukan lagi, rindu anak dan rindu layaknya seorang ayah.

Setiap tim medis harus menjalani penyemprotan disinfektan di ruangan disinfektan yang disediakan di sekitar areal posko, setelah itu, lalu mereka masuk lagi ke Hotel Hermes yang disediakan sebagai tempat khusus oleh Pemerintah Kota Subulussalam untuk warga ODP (orang dalam pemantauan), di sana mereka membersihkan diri lagi dengan mandi serta mengganti pakaian kerja, dan kemudian baru mereka diperbolehkan pulang ke rumah untuk beristirahat.

Diakuinya kalau saat ini pemerintah daerah sangat serius menangani Covid-19 ini sebagaimana telah mengikuti standar yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Hanya saja yang menjadi tantangan selama ini di lapangan adalah sikap kooperatif daripada penumpang yang sebagian ada yang didapati membandel, terkhusus supir-supir travel yang masih enggan menerima saran dari tim medis

"Tantangan di lapangan saat menghadapi para penumpang yang membandel, tidak jujur menjawab pertanyaan petugas, untuk itu marilah kita menerapkan kesabaran serta kesadaran diri, agar virus Covid-19 ini dapat teratasi dengan cepat dari negeri kita ini,"kata dokter Arman.[]

Baca cerita menarik lainnya: 

Berita terkait
Ramadan, Perempuan Cantik Sumut Masuk Islam di Aceh
Seorang perempuan asal Sumatera Utara (Sumut) bernama Cindy Oktavia (20 tahun) resmi memeluk agama Islam setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Satu Lagi Pasien Dinyatakan Positif Corona di Aceh
Satu pasien dalam pengawasan (PDP) di Aceh kembali dinyatakan positif terjangkit virus corona atau (Covid-19)
Penganiaya Guru di Aceh Cuma 2 Bulan Dipenjara
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut salah seorang orang tua murid yang menganiaya dirinya dengan tuntutan hukuman ringan di Subulussalam, Aceh.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.