Perempuan Tangguh di Bilik Covid-19 RSAM Bukittinggi

Perjuangan paramedis melawan Covid-19 tidak bisa dipandang enteng. Mereka membunuh rasa takut hingga rindu bertemu keluarga terdekat.
Misfatria bersama rekannya sesama perawat Covid-19 RSAM Bukittinggi saat bertugas mengenakan APD. (Foto: Tagar/Dok.Humas RSAM Bukittinggi).

Bukittinggi - Suka bercampur duka, rindu dan airmata bercampur di batin para perawat di ruang isolasi Covid-19 RSAM Bukittinggi, Sumatera Barat. Bukan perjuangan mudah, mereka bertaruh nyawa melayani pasien terpapar virus corona.

Tugas ini adalah tugas negara yang membutuhkan kesiapan mental dan fisik, maka saya merekrut mereka yang paling siap.

Mereka berjuang bersama dokter spesialis, tim laboratorium, petugas ambulans serta tim pemulasaran jenazah pasien Covid-19. Jasa para perawat yang bersinggungan langsung dengan puluhan pasien isolasi tidak bisa dipandang sebelah mata.

Berpisah sementara dari keluarga, bekerja dengan kucuran peluh dari balik seragam APD nan tebal berlapis kian menguras tenaga dan fikiran.

Sejak dibentuk dan mulai bekerja 17 Maret 2020, kelompok perawat di RSAM Bukittinggi berjumlah 24 orang. Hanya empat di antaranya yang berjenis kelamin laki-laki, selebihnya kaum hawa. Secara bergantian, mereka saling memberi dukungan.

"Jika dipilih secara acak, awalnya banyak yang menolak. Karena tugas ini adalah tugas negara yang membutuhkan kesiapan mental dan fisik, maka saya merekrut mereka yang paling siap," kata Kepala Ruangan Isolasi Covid-19 RSAM Bukittinggi Misfatria Noor melalui telepon genggamnya, Selasa, 21 April 2020 sore.

Misfatria, merupakan perawat senior yang cukup disegani rekan sejawatnya. Alumnus Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Universitas Indonesia itu telah berpengalaman menangani wabah virus. Mulai dari Flu Burung hingga Mers Cov, wanita yang satu ini termasuk veterannya.

Berbekal pengalamannya itu, Misfatria dipercaya memimpin tim perawat. Dia pula yang diberi kepercayaan mengedukasi rekan seprofesi tentang protokol keselamatan saat menangani pasien. Bundo Noor atau Bu Vat demikian ia biasa disapa, pun membantu memasangkan APD bagi perawat lainnya.

PerawatMisfatria menyiapkan alat ventilator untuk dipasangkan kepada pasien Covid-19 di RSAM Bukittinnggi. (Foto: Tagar/Dok.Humas RSAM Bukittinggi).

Restu suami dan keluarga dekat menyertainya menempuh tugas berani itu. Dari sekian perawat, Misfatria yang paling berani pulang ke rumah setiap hari. Tentu dengan catatan, segala cara ia lewati untuk memutus rantai penularan virus mematikan itu.

"Pulang dari rumah sakit disemprot dulu. Transit di pemondokan langsung mandi dan ganti baju. Sampai di rumah mandi lagi. Yang terpenting, harus yakin dulu badan tidak membawa virus," katanya.

Penyandang gelar Magister Keperawatan Universitas Indonesia itu mengaku hanya tinggal berdua dengan suaminya di rumah. Itu pula yang meyakininya tidak perlu khawatir melawan Covid-19.

"Kucing kesayangan di rumah banyak yang harus diberi makan, kalau tidak pulang kasihan suami jadi ribet," selorohnya.

Misfatria berbagi kisah selama menangani pasien di ruang isolasi. Sejak mulai bertugas sebulan lebih, total sudah 61 pasien yang ditanganinya silih berganti. Mulai dari kelompok ODP, PDP hingga positif Covid-19. Usia pasien pun beragam dari yang muda hingga lansia.

Awal dapat kabar masuk tim, saya ketakutan dan sempat nangis.

Pola perawatan juga dikelompokkan. Ada yang disebutnya pasien mandiri, parsial care hingga total care. Mereka yang memiliki gejala ringan dan mampu mengurus diri sendiri, disebut kelompok pasien mandiri. Total care kebalikannya, biasanya berusia lanjut dan memiliki riwayat penyakit lain serta membutuhkan perhatian lebih.

"Kalau yang total care, itu semua kami yang tangani. Memasangkan popok, membasuh badan hingga menyuapi makanan," katanya.

Perawat Covid-19 lainnya, Vevi Murni Yana Abriani, gadis 26 tahun. Pertama kali mendapat kabar dirinya terpilih masuk tim, sempat menangis ketakutan. Si bungsu empat bersaudara itu dengan hati gundah mengabarkan kepada orangtuanya perihal tugas yang baru saja diterimanya. Si ibu pun menangis terisak.

"Awal dapat kabar masuk tim, saya ketakutan dan sempat nangis. Apalagi dengar berita, banyak petugas kesehatan yang meninggal karena virus ini. Rasanya batin tak sanggup jadi petugas covid. Saya kabarkan ke keluarga, ibu juga ikutan nangis,” ujarnya.

Enggan berlarut-larut dalam kegalauan, Vevi pun berserah diri pada takdir. Dia meminta petunjuk dan perlindungan pada sang pencipta.

“Saya bawa salat dan mulai pikir-pikir lagi. Setelah yakin segala sesuatu adalah takdir Allah, saya pun mulai menerima dan bersedia jadi perawat covid," tuturnya.

Pengalaman tentang tata cara pemakaian APD lengkap pun, masih menjadi hal tabu bagi alumni Poltekes Kemenkes Padang itu.

"Awal masuk ruang pasien sempat cemas dan waswas, saya nangis lagi. Pertama dinas dulu itu APD yang standar masih minim. Belum banyak bantuan, makanya kami pakai sisa stok APD ketika adanya kasus flu burung,” ceritanya.

Seiring berjalan waktu, tugas demi tugas mulai dijalaninya dengan ikhlas. Iringan canda tawa sesama petugas Covid-19 membuatnya kian tegar.

"Ternyata dinas di Covid-19 tidak seperti yang dibayangkan. Selagi bekerja sesuai SOP, Insyaallah gak apa-apa kok,” tuturnya.

Perawat Covid-19Vevi Murni Yana Abriani di sela-sela istirahatnya bersama rekan perawat Covid-19 RSAM Bukittinggi. (Foto: Tagar/Rifa Yanas).

Kesabaran Vevi Murni Yana Abriani kembali diuji tatkala kerinduannya pada keluarga membuncah. Sesekali pulang ke rumah, dia hanya bisa sampai di persimpangan jalan.

"Selama dinas di Covid, baru hari ini bisa pulang dan menginap. Itu pun setelah hasil swab saya dinyatakan negatif. Hari-hari sebelumnya, hanya sampai di simpang jalan. Jaraknya ke pintu rumah sekitar 500 meter. Di situ saya letakkan sambal dan uang, nanti kakak atau mama yang ambil," tuturnya.

Pihak RSAM Bukittinggi dibantu pemerintah setempat memang menyediakan tempat tinggal khusus bagi para petugas medis Covid-19. Ada yang diinapkan di mess, ada pula yang ditempatkan di hotel. Namun, mereka tidak bisa kemana-mana dan hanya mengurung diri saat jatah libur tiba, tetap saja membuat mereka jenuh.

"Di hotel memang disediakan kebutuhan, ada makanan. Untung saja ada teman curhat buat mengusir jenuh. Kalau tidak, tentunya bisa suntuk juga," kenang Vevi.

Duka lara tidak bisa bertemu anak semata wayang datang dari perawat Covid-19 lainnya. Dialah Yevi Fheldila. Sejak bertugas, hanya video call satu-satunya saluran pelepas kangen ibu dan anak itu. Pasalnya, keluarga Yevi tinggal di Kabupaten Pasaman. Sedangkan jatah libur Yevi bergilir pada hari dimulainya penerapan PSBB di Sumbar.

YeviYevi Fheldila merindukan keluarga sambil menatap jendela di penginapan tenaga medis Covid-19 RSAM Bukittinggi. (Foto: Tagar/Rifa Yanas).

"Sudah satu setengah bulan ninggalin anak. Sekarang jatah saya libur, tapi harus ikut masa karantina 14 hari. Jadinya, tetap tidak bisa langsung pulang ketemu keluarga," katanya.

Perawat berusia 31 tahun itu diminta orangtuanya untuk bersabar agar tidak lekas pulang. Padahal, sebelum jatah liburnya tiba, Yevi telah menerima hasil swab yang menunjukkan negatif Covid-19.

"Orangtua belum bolehin pulang. Mungkin parno, takut aku ditolak dari kampung. Yang paling sedih dari semua, anakku nggak mau ngomong lagi lewat telpon. Dia selalu tutup wajah kalau video call. Kangen aku dipanggil mandeh," tuturnya.

Penantian sebulan untuk jatah libur, tidak bisa dimanfaatkan Yevi bertemu anaknya yang bernama Dalutha Kuaka Nandana Hasri itu.

"Anakku 1 Mei ini ulang tahun. Karena diminta tidak pulang setelah 14 hari sejak off, sepertinya aku nggak akan bisa nemanin dia tiup lilin. Tentu aku harus lanjut berdinas untuk periode berikutnya. Jangan ditanya rasanya pak, berat tapi harus kuat," tutur istri Dian Hasri itu.

Yeni mengaku sempat dimarahi ibu ketika pertama mengemban tugas tersebut. Diapun menjadi gamang karena tidak mendapat restu sang ibu.

“Ibu sempat marah dan bilang saya cari mati. Saya diingatkan anak yang masih kecil. Malahan seminggu pertama nggak ditanyai kabar. Saya mau telpon pun takut dimarahi,” katanya.

Anak PerawatDalutha Kuaka Nandana Hasri, potret airmata kerinduan anak semata wayang Yevi Fheldila mengirim pesan pada ibunya. (Foto: Tagar/Istimewa).

Yevi menilai kekhawatiran ibunya hal yang wajar. Sebab, kata Yevi, berita di media begitu menakutkan. Setiap harinya ada petugas yang gugur. Satu hal yang membulatkan tekad mantan tenaga honorer RSUD Lubuksikaping itu adalah ketika ia teringat ikrar pengabdian perawat saat ia lulus kuliah.

"Semua orang pasti punya rasa takut, begitupun saya. Rasa takut akan tidak bisa bertemu anak. Takut gugur, macam-macam, lah. Ternyata setelah bismillah, semua bisa dilalui. Bersyukurnya, ada atasan yang selalu mendukung, mengerti kecemasan kami. Bahkan setiap awal dan akhir sift, selalu ada pesan semangat dan ucapan selamat istirahat di grup whatsapp ," kata si sulung tiga bersaudara itu.

Dikaitkan sebagai tokoh Kartini masa kini, Misfatria Noor, Vevi Murni Yana begitu juga Yevi Fheldila enggan jumawa. Bagi mereka, perjuangan pemilik nama Raden Ayu Kartini itu melambangkan kemerdekaan emansipasi kaum hawa.

"Dulu wanita masih dipandang sebelah mata. Semoga dengan cobaan Covid-19 ini tidak ada lagi yang menolak jasad kami,” tutur Misfatria Noor.

“Mungkin kami belum apa-apa dibanding sosok Kartini. Tapi, ada jiwa Kartini di tengah kami. Kini, kami hanya melanjutkan semangat juangnya. Mohon doakan semua ini cepat berlalu. Kami hanya ingin pulang berkumpul lagi dengan keluarga,” sambung Yevi Fheldila. []

Berita terkait
34 Hari Mencekam di Ruang Isolasi RS Kardinah Tegal
34 hari di ruang isolasi RS Kardinah Tegal bukan hal mudah. Tapi Lutfah Bariana mampu melewatinya. Seperti apa kisahnya?
Gowes Hingga Pelosok Melawan Covid-19 di Kulon Progo
Bersepeda menempuh puluhan kilometer hingga pelosok sambil aksi sosial di tengah pandemi Corona. Itulah yang dilakukan Ipung, warga Kulon Progo.
Senyum Kartini di Tengah Muram Pandemi Covid-19
Di tengah muram pandemi Covid-19, senyum terulas di bibir Hilda Agustini, dara berjiwa Kartini yang tak takut bermimpi setinggi bintang di langit.
0
FAO Apresiasi Capaian Kinerja Pertanian Indonesia
Kepala Perwakilan FAO, Rajendra Aryal mengapresiasi capaian kerja yang dilakukan jajaran Kementerian Pertanian selama tiga tahun terakhir.