Kisah Lucas dan Santoso di Aksi Kamisan Jakarta

Lucas Tumiso ditangkap dan diasingkan di Pulau Buru karena dituduh PKI. Dia hadir di Aksi Kamisan 7 November lalu untuk menuntut keadilan.
Beberapa foto korban kekerasan HAM di Indonesia dipajang dalam Aksi Kamisan pada Kamis, 7 November 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Nefki Hasbiansyah)

Jakarta - Lucas Tumiso 79 tahun, usianya tidak muda lagi. Tapi pria yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ini tetap bersemangat. Setidaknya pada Kamis, 7 November 2019 lalu, dia hadir menjadi bagian dari Aksi Kamisan yang digelar di seberang Istana Jakarta.

Cak So, demikian ia disapa, bukan tanpa alasan bergabung bersama dalam Aksi Kamisan yang sudah digelar 609 kali ini. Aksi ini dimulai sejak 18 Januari 2007, sudah 12 tahun digelar secara rutin.

Dia bersama yang lainnya menuntut kejahatan HAM yang telah dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab pada masa itu. Para korban dan keluarga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat beraksi mengenakan pakaian dan atribut serba hitam. Aksi yang menggambarkan betapa gelapnya hukum di negeri ini.

Cak So, pria asal Samarinda, Kalimantan Timur ini bercerita betapa perihnya menjadi tahanan politik pada era Soeharto. Dia bersama ribuan temannya ditangkap dan ditahan tanpa diadili terlebih dahulu. "Saat itu berumur 25 tahun ditangkap ketika sedang mengajar, dituduh salah satu anggota PKI," katanya di sela Aksi Kamisan di Jakarta, Kamis, 7 November 2019.

Guru adalah profesi Lucas. Saat itu didatangi personel satu kompi dan menangkapnya. "Saya ditangkap menggunakan tronton satu kompi, dimasukkan dan ditahan di penjara Surabaya sebelum diasingkan ke Pulau Buru," kata dia.

Lucas mengaku ditangkap, karena dituduh sebagai salah satu anggota PKI. Lucas diasingkan ke Pulau buru dengan ribuan orang lainnya, salah satu tokoh yang kita kenal adalah Pramodya Ananta Toer.

Ditangkap ketika sedang mengajar, dituduh salah satu anggota PKI.

Lucas TumisoLucas Tusimo 79 tahun, menjadi tahanan politik pada era Soeharto. Dia dituduh PKI dan diasingkan di Pulau Buru. (Foto: Tagar/Muhammad Nefki Hasbiansyah

Kini Lucas yang sudah berumur senja itu hanya berharap pemerintah mau membayai dan bertaggung jawab atas apa yang telah dilakukan pada dirinya. Pria berumur 79 tahun itu merasa dibuat sengsara oleh negaranya sendiri. 

Dia mengalami penyiksaan yang panjang. Dia dipaksa kerja rodi dan kerap mendapat pemukulan selama pengasingan.

Lucas mencoba menghadapinya dengan ikhlas. Dia ingin bertahan hidup agar suatu saat dapat melihat kedua orang tua lagi. Selama 10 tahun Lucas menjalani pengasingan sebagai tahanan politik di Pulau Buru.

Kemudian Lucas dikembalikan ke Surabaya. Namun nasib berkata lain. Di Surabaya Lucas belum menyelesaikan penyiksaan yang diterima seperti saat masih di Pulau Buru. Penyiksaan itu dalam bentuk pengucilan dan tindakan tidak mengenakkan dari masyarakat dan aparat setempat.

Ini yang membuat Lucas berpikir keras bagaimana agar bisa bertahan hidup. Sampai akhirya dia kembali menjadi guru untuk anak-anak ABRI. Ada alasan mengapa harus menempuh langkah itu. 

"Ya maling kalau mau aman tinggalnya di rumah polisi, ya saya kalau mau aman dari pemerintah harus berlindung mengajar anak anak ABRI," ujarnya.

Lain lagi cerita yang dialami Santoso, yang juga mengalami kejahatan HAM. Ironisnya sampai detik ini Santoso tidak mengerti apa kesalahannya. Tapi perlakuan yang diterimanya sungguh miris. Santoso dipotong lidah dan kemaluannya oleh oknum aparat kala itu.

Santoso tidak mengerti mengapa didiperlakukan seperti itu. "Saya ga tau kenapa, mungkin karena saya orang miskin tapi saya pinter, itu kan pemberian Tuhan,” ujar Santoso.

Santoso dipotong lidahnya setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Akibatnya sampai sekarang tidak dapat berbicara dengan fasih dan jelas.

Di tengah keterbatasan, Santoso tumbuh menjadi pria hebat. Saat menginjak usia dewasa, Santoso mahir dalam olah raga Taekwondo. Beberapa kejuaraan yang diikuti selalu dimenanginya, meski lawannya adalah prajurit ABRI.

Tapi entah mengapa Santoso tetap mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan. Santoso dipotong kemaluannya untuk pertama kali oleh oknum prajurit. Pria yang hebat dalam bela diri tekwondo itu harus mengakhiri karirnya karena harus kehilangan kemaluannya.

SantosoSantoso 55 tahun, korban kekejaman HAM. Lidahnya dan kemaluannya dipotong, ikut dalam Aksi Kamisan pada Kamis, 7 November 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Nefki Hasbiansyah)

Santoso masih ingat pada 2004 lalu, lagi-lagi kemaluannya dipotong untuk kedua kalinya. Hal itu membuat Santoso tidak dapat menahan ketika ingin buang air kecil, sehingga dia diharuskan selalu minum obat. Santoso berontak, meminta keadilan HAM kepada negara. Namun apa daya ia tidak mendapatkannya.

Kesulitan hidup Santoso karena siksaan oknum prajurit itu tidak membuatnya menjadi tidak cinta kepada Tanah Air Indonesia. Di usianya yang 55 tahun ini, Santoso masih pandai melakukan bela diri Taekwondo.

Santoso dan Lucas, hanya sedikit contoh pelaggaran HAM di negeri ini. Keduanya bersama para korban dan keluarga korban, mengikuti Aksi Kamisan hanya menginginkan keadilan HAM atas perilaku pemerintah kepada rakyat. Para peserta aksi menuntut pemerintah segera membentuk pengadilan HAM.

Gemuruh orasi para aktivis dan para korban memecah menjelang petang saat itu. Mereka berharap suara rakyat didengar dan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pemerintah untuk kesejahteaan dan keadilan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang siapa mereka.

Peserta aksi membawa tuntunan agar negara menuntaskan dan bertanggung jawab menyelesaikan kasus HAM berat yang terjadi di Indonesia. Tuntutan itu seperti kejadian pada tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998. Talangsari, Tanjung Priok, Tragedi 1965, dan pembunuhan Munir.

Kejahatan HAM yang terus berulang seharusnya menjadi pembelajaran oleh pemerintah. Harusnya pemerintah bergerak cepat dan tangkas dalam menyelesaikan utang kasus-kasus pelanggaran Ham di Indonesia. Konsistensi Aksi Kamisan yang sudah menjadi agenda rutin ini dilakukan demi memperoleh kadilan dari negara.

Para pegiat kemanusiaan ini tidak ingin ada kasus kejahatan HAM yang menimpa warga negara di Indonesia ini. Mereka terus merawat ingatan melalui aksi ini. Mereka berpendapat kekerasan akan terjadi bila keadilan tidak pernah diperjuangkan.

Sudah menginjak epiosde ke-609 mereka bersuara lantang meneriakkan keadilan di seberang Istana Negara. Namun sayangnya kekerasan masih terjadi di bumi ini, seperti yang terjadi di Papua akhir-akhir ini.

Saat ini Indonesia sudah ada 30 kota yang melakukan Aksi Kamisan.

Foto MunirFoto Munir dipajang di sela Aksi Kamisan menuntut pemerintah menuntaskan kasus Munir, Kamis, 7 November 2019. (Foto: Tagar/Muhammad Nefki Hasbiansyah)

Menurut Sumarsih, salah satu aktivis, Aksi Kamisan di Jakarta mendapat dukungan banyak pihak. Bahkan di kota-kota lain juga menggelar Aksi Kamisan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. "Saat ini Indonesia sudah ada 30 kota yang melakukan Aksi Kamisan," kata dia.

Di Jakarta, Aksi Kamisan digekar setiap Kamis mulai pukul 16.00-17.00 WIB. Lokasinya berada di seberang Istana Negara Republik Indonesia. Peserta aksi mengenakan atribut yang serba hitam, dan berorasi guna menuntut keadilan hukum untuk diri mereka dan keluarganya.

Banyak aktivis lain ikut dalam aksi solidaritas ini. Mereka turun ke jalan guna memberikan dukungan. Aksi ini diharapkan menjadi media konsolidasi bagi gerakan rakyat dalam memperjuangkan keadilan hukum di negeri ini. Mereka menagih janji pemerintah dan mengingatkan kepada publik bahwa persoalan kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu belum tuntas sampai saat ini.

Menurut Komisaris Polisi Sapirin, selama dua tahun ditempatkan di Polsek Menteng, Jakarta Pusat. Dia menilai Aksi Kamisan selalu berjalan kooperatif sesuai peraturan yang berlaku. [] (Muhammad Nefki Hasbiansyah)

Baca Juga:

Lihat Foto:

Berita terkait
Hari Ini Tepat 540 Kali Aksi Kamisan Digelar, Jokowi Segera Panggil Jaksa Agung
Hari ini tepat 540 kali Aksi Kamisan digelar, Jokowi segera panggil Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Aksi Kamisan, Sumarsih: Bapak Presiden Minta Kami Mengejar-ngejar Bapak Moeldoko
Aksi Kamisan, Sumarsih: Bapak Presiden minta kami mengejar-ngejar Bapak Moeldoko. Jokowi menugasi Moeldoko untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Jokowi Membuka Pintu untuk Peserta Aksi Kamisan, Apa Hasilnya?
Jokowi membuka pintu untuk peserta Aksi Kamisan, apa hasilnya? 'Kami sudah 540 kali aksi Kamisan, masa kami cuma mau ngobrol sama Presiden.'
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.