Pematangsiantar - Anggota Komisi I DPR, Sukamta mempertanyakan niatan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) berikan data kependudukan kepada sejumlah perusahaan pinjaman online (Pinjol).
Sukamta mengatakan, pihaknya akan mengulik persoalan akses data ini pada pembahasan Revisi Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).
"Harus jelas misalnya siapa saja yang bisa mengakses data pribadi, apa saja syarat dan batas-batasnya, bagaimana ketentuan monetisasi dari akses data ini (apakah perlu berbayar atau free), dan seterusnya," katanya kepada Tagar, Sabtu, 13 Juni 2020.
Baca juga: DPR Pertanyakan Besaran Bunga Dana Talangan BUMN
Terkait monetisasi, pada saat pembahasan RUU PDP mereka akan meminta penjelasan Kemendagri apakah data yang diberikan kepada Pinjol, gratis atau berbayar.
"Meskipun misalnya berbayar, perlu dipastikan pemegang data tidak seenaknya memindahkan atau memperjualbelikan data penduduk ke pihak berikutnya dan berikutnya yang akan merugikan pemilik asal data," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menegaskan, dalam pembahasan RUU PDP, Komisi I akan memasukkan sanksi tegas di dalamnya.
"Sanksi yang tegas juga akan kita atur di RUU PDP agar mampu memberi efek jera demi meminimalisasi penyalahgunaan data. Data sekarang ini sudah menjadi komoditas penting dan mahal serta rawan disalahgunakan untuk tindakan kriminal, penipuan, terorisme, dll. Jangan sampai akses data tidak terkendali," kata dia.
Baca juga: Sindikat Penipuan Penjualan APD Lintas Negara Terkuak
Selain itu, aspek perlindungan data kependudukan, kata dia rawan tidak terpenuhi. Pasalnya, RUU PDP saja baru akan dibahas di DPR tahun ini.
"Menurut Saya sepertinya sekarang ini belum tepat memberikan akses data kependudukan kepada Badan Hukum Indonesia (BHI) termasuk swasta di dalamnya," ucap Sukamta.
Dia mengaku, dalam UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) tahun 2006 yang sudah direvisi pada tahun 2013 memperbolehkan pengguna swasta untuk mengakses data kependudukan. Namun, pada undang-undang tentang PDP hal itu belum ada.
"Memang sudah ada regulasi PDP berupa Peraturan Pemerintah, tapi powernya tidak sekuat undang-undang. Pada titik inilah wajar jika kita semua khawatir adanya potensi penyalahgunaan data," ujarnya.
Dia menegaskan, saat ini banyak orang membutuhkan data kependudukan yang valid untuk kepentingan pembangunan bangsa, termasuk urusan bisnis yang bertujuan untuk menghidupkan laju perekonomian.
Kendati demikian, penggunaan data kependudukan secara berbasis digital ini sangat rentan disalahgunakan. Bahkan, sudah dipastikan ada upaya serangan dari hacker dan cracker.
"Era digital seperti sekarang hampir semua urusan lewat online meminta data pribadi kita. Jadi ini memang suatu keniscayaan. Karena data digital seperti ini sangat rentan disalahgunakan bahkan rentan terjadi serangan hacker dan cracker, maka peraturan perlindungannya harus jelas dan tegas," katanya.
Lantas, dia berharap RUU PDP segera disahkan untuk memastikan data kependudukan masyarakat Indonesia tidak disalahgunakan begitu saja.
"Ini harus menjadi dorongan bagi semua pihak agar RUU PDP segera dibahas dan disahkan," ucap Anggota Komisi I DPR, Sukamta. []