Jakarta - Pengamat hukum pidana Fachrizal Afandi mempertanyakan komitmen Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, tidak mengambil alih penanganan kasus dugaan suap yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Poinnya di KPK sebenarnya. Selama KPK tidak minta, ya Kejaksaan Agung sah tangani sendiri. Kecuali sesuai Pasal 10A Undang-Undang (UU) KPK. KPK minta, maka kejaksaan wajib menyerahkan," ujar Fachrizal saat dihubungi Tagar, Kamis, 3 September 2020.
Paling berwenang dan objektif adalah KPK.
"Kalau cuman imbauan kayak tempo hari, ya susah," ucapnya menambahkan.
Baca juga: Pakar: Kasus Jaksa Pinangki, KPK Paling Berwenang
Fachrizal menjelaskan, di dalam Pasal 10A UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, lembaga antirasuah berhak mengambil alih kasus jaksa Pinangki. Terlebih, kata dia, kasus tersebut bersesuian dengan Pasal 11 UU KPK lantaran Pinangki adalah aparat penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi (tipikor).
"Pasal 10A bahkan bisa digunakan KPK memaksa kejaksaan untuk meminta kasus Pinangki," ucapnya.
Senada dengan Fachrizal, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan KPK adalah instansi yang paling berwenang dalam menangani kasus dugaan suap jaksa Pinangki.
"Yang harus diingat adalah tipikor ini dilakukan oleh penegak hukum, makanya yang paling berwenang dan objektif adalah KPK, karena KPK memang didirikan untuk menangani korupsi di kalangan penegak hukum," kata Fickar kepada Tagar.
Baca juga: KPK Bisa Paksa Kejagung Serahkan Kasus Pinangki
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengimbau akan mengambil alih kasus Pinangki jika perkara itu tidak selesai di tangan Kejagung. Dia mengatakan, KPK akan bekerja mengambil alih kasus Pinangki sesuai dengan aturan 10A UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
"Dan kasus itu kita lakukan supervisi untuk penanganan selanjutnya. Tetapi kalau memang seandainya tidak selesai, sesuai dengan Pasal 10A, bisa kita ambil. Saya kira itu," tutur Firli di kompleks gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 31 Agustus 2020.
Dalam kasus ini, jaksa Pinangki diduga menerima suap terkait kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA). Pihak Kejagung RI pun telah menetapkan Djoko Tjandra dan jaksa Pinangki sebagai tersangka dalam kasus ini. Menurut Kejagung, keduanya diduga berkonspirasi untuk mendapatkan fatwa dari MA.
Belakangan, politisi partai Nasional Demokrat (NasDem) Andi Irfan Jaya juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Andi Irfan Jaya diduga terlibat sebagai perantara pemberian suap. []