Palangka Raya - Maraknya kasus kekerasan seksual yang masif menimpa perempuan di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menjadi perhatian bagi aktivis pembela hak-hak perempuan. Karenanya, mereka mendesak rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Perempuan (PKS) segara disahkan.
Desakan para aktivitas perempuan Kalteng ini bukan tanpa alasan. Sebab kasus kekerasan seksual di Kalteng sudah masuk darurat. Kasus yang terjadi sepanjang bulan ini, seperti di Barito Timur, Barito Utara dan Seruyan, menjadi indikasi ketidakramahan awal 2020 bagi kaum perempuan dan anak.
Kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tak jarang diabaikan dan tidak didampingi dalam memulihkan korban akibat kondisi traumatis yang dialami.
Aktivis perempuan Novia Adventy Juran misalnya. Ia menyebut kenyataan tiga kasus di Januari tersebut menjadi sebuah ironi yang menyayat-nyayat kemanusian dan perlindungan terhadap kaumnya.
"Kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tak jarang diabaikan dan tidak didampingi dalam memulihkan korban akibat kondisi traumatis yang dialami," kata dia di Palangka Raya, Selasa, 21 Januari 2020.
Menurut Wakil Ketua Bidang Perempuan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kalimantan Tengah ini, salah satu cara untuk mencegah dan membasmi para predator seksual adalah dengan regulasi yang kuat. Karenanya RUU PKS perlu segera disahkan.
RUU PKS tersebut, lanjutnya, sudah masuk dalam 50 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Dengan disahkannya RUU PKS, diyakini dapat menekan tindak kekerasan seksual yang menyasar perempuan dan anak.
Dengan adanya RUU PKS, juga dapat menjadi harapan terhadap penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Sebab regulasi itu selain bisa mencegah kekerasan seksual, juga mengatur hak pemulihan korban serta meletakkan kewajiban negara untuk melakukan penghapusan kekerasan seksual.
"RUU PKS menjadi krusial untuk disahkan karena memuat hal-hal yang tidak diatur di rancangan KUHP," ujarnya.
Ia juga mendorong instansi terkait turut terlibat dalam mendampingi korban dengan menyediakan rumah aman dan membuka layanan pemulihan psikologis korban. Sebab hal tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak. Termasuk memberi hukuman berat bagi pelaku pelaku kekerasan seksual.
"Kami juga mengajak masyarakat untuk bersolidaritas dan berempati terhadap korban dan tidak menjadikan kasus-kasus yang sedang terjadi sebagai lelucon seksis," imbuhnya. []
Baca juga:
- Pasutri di Bima Perkosa Anak Angkat Selama 6 Tahun
- Beragam Kekerasan Anak dan Perempuan di Subulussalam
- Anak Dominasi Kasus Kekerasan Seksual di Sumbar