Semarang – Zaman terus bergulir, tren boleh berubah. Namun pandangan masyarakat soal ragam persoalan perempuan dan anak masih stagnan. Mayoritas menganggap perempuan dan anak sebagai aset sehingga kekerasan masif terjadi.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3P2KB) Jawa Tengah mencatat sebanyak 8640 perempuan jadi korban kekerasan. "Itu sejak 2015 sampai 2019 ini. Mereka melapor telah mengalami kekerasan berbasis gender," kata Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan DP3P2KB Jateng Sri Dewi Indrajati, Rabu, 6 November 2019.
Persoalan lain terkait perempuan juga terus dipantau. Di kurun waktu yang sama, laporan yang masuk ke DP3P2KB memperlihatkan 50 % perempuan berstatus kepala keluarga tidak memiliki akta nikah, 78 % bercerai karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan 40 % lainnya buta huruf.
Sri Dewi menegaskan semua korban yang telah melapor tersebut berhak mendapat layanan dan gratis. "Karena itu sudah menjadi tanggung jawab negara," ujar dia. Pihaknya juga kerja sama dengan aparat penegak hukum di penanganan kasus perempuan dan anak.
“DP3P2KB juga sudah ada kesepakatan dengan kejaksaan dan kepolisian terkait dengan penanganan korban kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak, sudah ada perspektif yang sama,” katanya.
Dari evaluasi atas laporan masuk diketahui ada benang merah antar kasus. Yakni diawali dari cara pandang terhadap perempuan dan anak. Meski saat ini perkembangan teknologi digital memungkinkan masyarakat mudah mengakses informasi, kenyataannya banyak laki-laki milenial yang masih memandang perempuan dan anak sebagai pihak yang lemah, mudah digoda.
Mereka melapor telah mengalami kekerasan berbasis gender.
Perempuan dan anak layaknya investasi yang bisa dimanfaatkan. “Kami menangani perempuan yang dijual suaminya untuk membayar utang. Dan saat ini masih ditangani Polda Jateng. Dengan ketakutan akan diteror, selama proses hukum kita dampingi, diberi penguatan, ini tidak gampang,” tambah Sri Dewi.
Selain itu, DP3P2KB juga melihat selama ini persoalan perempuan, termasuk penanganannya, masih terkotak-kotak. Pihaknya ingin menggabungkan suara perempuan dengan berbicara mengenai permasalahan dan kebutuhan perempuan di Jawa Tengah. Karenanya diinisiasi kongres perempuan tingkat Jawa Tengah pada 25 dan 26 November 2019 di UTC Hotel, Jalan Kelud Raya, Kota Semarang.
“Kami ingin merumuskan, hasilnya adalah kebutuhan dan tantangan yang harus dihadapi. Tujuannya untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan, kepemimpinan yang dibutuhkan seperti apa?” ucap dia.
Hasil yang akan didapatkan dari keadilan gender ini diharapkan tidak untuk perempuan saja. Tapi juga berdampak dan bisa dirasakan oleh laki-laki, anak dan keluarga. Jadi, kongres tersebut bukan hanya mengekspose perempuan dengan segala persoalan dan tantangannya.
“Ini akan memunculkan keadilan untuk semuanya. Untuk orang sehat, disabilitas, orang sakit, orang miskin dan orang kaya,” tuturnya.
Ditambahkan, kongres wanita bukan kali ini saja. Sebelumnya, digelar kegiatan serupa di Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Kongres-kongres tersebut menghasilkan banyak rekomendasi untuk mengatasi kesenjangan dan diskriminasi perempuan, dalam bidang pendidikan, kesehatan, perkawinan dan keluarga hingga kekerasan dalam rumah tangga.
“Persoalan ini yang akan kita update karena semakin berkembang dan kompleks agar ada solusi. Kesadaran masyarakat melapor semakin baik. Yang tinggi kekerasan anak, yang meningkat kekerasan kepada perempuan,” kata Sri Dewi. []
Baca juga:
- Budaya Patriarki Sebabkan Perempuan Sulit Berkarier
- Delapan Anak Perempuan Indonesia Jadi Pemimpin Sehari
Lihat lainnya: