Miris, 1 dari 3 Perempuan di Indonesia Alami Kekerasan Seksual

Pemerintah meluncurkan program universitas responsif gender mengatasi kekerasan seksual dengan korban perempuan.
Menteri PPPA Prof. Yohanna Susana Yembise memberikan kuliah umum di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, Jumat (9/11). (Foto: Dok Humas UGM)

Yogyakarta, (Tagar 10/11/2018) - Potret perempuan di Indonesia masih memprihatinkan. Sampai saat ini perempuan menjadi objek kekerasan fisik maupun seksual. Angkanya tergolong tinggi. Pelakunya beragam, mulai dari orang dekat atau lingkungan keluarga, teman dekat sampai orang yang tidak dikenalinya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Prof Yohanna Susana Yembise mengatakan, angka kekerasan fisik atau seksual terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi.

"Satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual," kata dia saat memberikan kuliah umum di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Jumat (9/11).

Bahkan, Menteri PPPA menyebutkan satu dari 10 perempuan pernah mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Artinya kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan masih sering terjadi. Dengan kata lain, intensitasnya masih tinggi. "Kita punya program dan kebijakan, tapi kita juga butuh kesadaran semua pihak," pintanya.

Yohanna mengatakan, pihaknya melakukan kerja sama dengan sejumlah pihak dengan komitmen bersama dalam menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan. Salah satu yang digandeng adalah pihak universitas. "Kami segera meluncurkan universitas responsif gender, jangan sampai ada lagi kekerasan terhadap perempuan," tegasnya.

Tidak hanya kampus, Kementerian PPPA juga menggandeng dunia pendidikan formal tingkat menengah. Sampai saat ini sudah ada 10.000 ribu sekolah di Indonesia yang sudah melaksanakan program responsif gender.

Lebih lanjut, Yohanna mengakui perempuan sering menjadi objek kekerasaan. Alasannya keterbatasan atau kesenjangan ekonomi. Ini terjadi karena sampai saat ini partisipasi kerja perempuan masih minim. Kecenderungannya perempuan setelah lulus sekolah lalu bekerja di sektor domestik.

"Sebenarnya sayang, biaya selama mengikuti pendidikan lalu akhirnya bekerja di sektor domestik," lanjutnya.

Menurut Menteri PPPA, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia hanya 17,19 persen, sedangkan angkatan kerja laki-laki 82,71 persen. Kesenjangannya sangat tinggi. Pemerintah sendiri pada 2030 menargetkan angka kesetaraan gender untuk akses pekerjaan bisa sama persentasenya.

"Ini tantangan, ada 126 juta perempuan Indonesia dibawa ke program 50:50 pada 2030 mendatang," ungkapnya.

Di tempat yang sama, Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan UGM Djagal Wiseso Marseno mengatakan, salah satu penyebab perempuan belum dominan dalam pembangunan adalah persoalan demografi di Indonesia. Seharusnya bonus demografi bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. "Jangan sampai usia produktif malah menganggur," ungkapnya.

Di negara berkembang, hanya sedikit negara yang sudah memberikan peran perempuan lebih dominan. Salah satunya Pakistan, peranan perempuannya dominan di pembangunan. Peraih nobel asal Pakistan, Muhammad Yunus mendekati dan mendorong perempuan untuk berkiprah dalam pembangunnan pedesaan. Pendekatannya membuahkan hasil. Saat perempuan diberi investasi modal, maka digunakan untuk modal usaha. []

Berita terkait
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.