Jemparingan Selamatkan Anak dari Candu Gadget

Jadwal latihan jemparingan dalam sehari dilakukan dua kali, sehingga bisa mengalihkan perhatian anak dari gadget.
Ilustrasi - Seorang anak belajar jemparingan. (Foto: tapakasmo.com)

Kulon Progo - Alun-alun Wates, Kulon Progo, Yogyakarta, dipadati ratusan orang membawa panah untuk mengikuti lomba memanah tradisional bertajuk Gladen Jemparingan Mataram Tingkat Nasional, Minggu, 20 Oktober 2019.

Olahraga jemparingan saat ini mulai dikenal dan menyebar ke berbagai daerah. Hal itu, terlihat dari peserta lomba memanah tradisional bertajuk Gladen Jemparingan Mataram Tingkat Nasional diikuti dari daerah lain, seperti dari Bali, Madura, Surabaya, Tangerang, Bandung, dan Cirebon.

Meski Jemparingan merupakan olahraga tradisional Kerajaan Mataram, juga memiliki fungsi lainnya yaitu mengalihkan kecanduan anak pada gadget. Era 4.0, keberadaan gadget sudah akrab dengan anak-anak. Jika tidak dikelola dengan baik, gadget justru hal ini membahayakan bagi anak.

Kita harus menghadapinya dengan cara yang cerdas.

Pengurus Paguyuban Jemparingan Langen Progo, Kulon Progo Joko Mursito mengatakan, jemparingan sesungguhnya mempunyai makna dan arti yang sangat mendalam. Anak-anak yang harus di tengah era global dengan teknologi yang sangat maju, harus bisa dikendalikan agar memiliki dampak yang baik.

"Kita tidak perlu menyalahkan perkembangan zaman, karena itu merupakan sebuah keniscayaan. Sehingga kita harus menghadapinya dengan cara yang cerdas," ujar Joko Mursito.

Joko menjelaskan, jemparingan menjadi suatu kegiatan yang memberi nilai pendidikan terutama untuk mengolah rasa, kepekaan dan juga gengsi. Dalam jemparingan tidak ada kompetisi, namun yang ada adalah perasaan senang karena mampu meraih sesuatu yang diinginkan dalam hal ini memanah bandul yang menjadi sasaran.

"Hal ini baik untuk anak-anak, karena bisa melatih tenggang rasa dan kepekaan utamanya," jelasnya.

Pembina Jepun Bali Tradisional Club (JBTC) Ida Ayu Anom Purnama Ningsih mengakui jemparingan bisa meningkatkan antusiasme anak, khususnya anak-anak Bali.

Baginya jemparingan mampu menguatkan kearifan lokal pada anak dan remaja. Tak hanya itu, jemparingan mampu membangun kebersamaan dan kekeluargaan, dan sikap saling mengmenghormati antar manusia.

"Selain itu, dengan kesibukan berjemparing ini membangun konsentrasi pada anak. Juga, kebiasaan anak bermain gadget juga bisa terkurangi. Karena mereka kan latihan pagi dan sore. Pulang latihan biasanya pukul 18.00 atau 19.00 WIB, biasanya kemudian lelah," kata Ida Ayu.

Saat ini, generasi muda di Bali sudah berminat pada jemparingan. Mereka terdorong oleh keberhasilan Bali memboyong gelar juara umum Jemparingan di sejumlah kabupaten di Yogyakarta, termasuk di Kulon Progo. Tidak heran jika perkembangan jemparingan di Bali, semakin pesat hingga diperkenalkan ke sekolah, baik PAUD, TK, SD, SMP hingga SMA.

"Tidak lupa, setiap keluarga pengantar anak dari bapak dan ibu, juga kakek neneknya juga kami rangkul," kata Ida Ayu.

Jemparingan AnakIlustrasi - Seorang anak belajar jemparingan.(Foto: Jemparingan Similir Jogja)

***

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo berupaya mendorong pelestarian budaya jemparingan dengan memperkenalkan kepada generasi muda.

Salah satu upaya memperkenalkan jemparingan yakni dengan memasukkan olahraga panahan tersebut ke dalam ekstrakulikuler sekolah. Selain itu, juga dikembangkan kampung jemparingan yaitu di Desa Pengasih.

"Tujuannya agar anak-anak mengenal budaya sendiri. Karenanya kita didik sejak dini," tutur Wakil Bupati Kulon Progo, Sutedjo.

Sutedjo menegaskan jemparingan bertujuan agar generasi muda lebih berbudaya, beretika dan bertanggung jawab.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kulon Progo Untung Waluyo mengatakan jemparingan merupakan puncak untuk menanamkan nilai Kemataraman. Menurut ajaran Kemataraman, salah satu untuk mewujudkannya adalah dengan Jemparingan, Slumum (berendam) dan Bertapa.

"Jemparingan itu sebetulnya, istilahnya megeng (menahan) nafas, kemudian melepaskan jemparing dan mencapai cita-cita. Sehingga sebuah usaha untuk mewujudkan harapan itu harus mementangkan gandhewa, megeng nafas, mewujudkan tujuan atau janji. Sehingga tujuan akhir adalah tercapainya tujuan," ujar Untung.

JemparinganMantan Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo saat mencoba olahraga Jemparingan di Alun-alun Wates, Kulon Progo. (Foto: Tagar/Harun Susanto)

***

Jemparingan merupakan olahraga panahan khas Kerajaan Mataram saat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, atau sejak awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta yakni Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I mengajarkan para prajurit belajar memanah. Dalam jemparingan terdapat beberapa gaya yang sarat filosofis yakni membentuk empat nilai watak atau karakter kesatria Mataram yakni, sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.

Selain memperkenalkan kepada para prajurit, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan kepada keluarga Kerajaan Mataram. Seiring waktu, jemparingan mulai dikenal rakyat biasa karena sering dijadikan perlombaan.

***

Cara jemparingan berbeda dengan olahraga panahan lain pada umumnya. Jika olahraga panahan pada umumnya, pemanah membidik sasaran dengan berdiri, tetapi jemparingan dilakukan dalam posisi duduk bersila di atas sebuah papan.

Perbedaan lainnya, jemparingan memposisikan gandhewa atau busur panah di depan perut dan tidak membidik sasaran dengan mata. Seseorang yang memegang gandhewa akan duduk menyamping dengan busur ditarik ke arah kepala sebelum ditembakkan ke arah sasaran.

Tak hanya itu, cara gaya Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan tradisi Mataram ternyata berbeda. Secara umum, perbedaan keduanya yang paling mencolok adalah cara memegang gandhewa. Seseorang yang memanah dengan gaya Keraton Yogyakarta, posisi gandewa horisontal. Gaya ini cara memanah sasaran tidak memandangnya dengan mata, melainkan dengan hati atau rasa.

Untuk jemparingan tradisi Mataram, posisi gandhewa vertikal atau setengah vertikal atau miring sekitar 45 derajat. Untuk mengincar sasaran, gaya ini seperti pada kebanyakan memanah pada lainnya, yakni menggunakan mata.

Sasaran dalam Jemparingan dalam bentuk bandulan dengan silinder tegak dengan panjang 30 cm dan diameter 3 cm. Bandulan atau wong-wongan terdapat beberapa bagian yakni sekitar sirah (kepala). Awak (badan) diberi warnah putih, dan jangga (leher) yang menjadi pertemuan antara sirah dan awak diberi warna kuning setebal 1 cm.

Di bandulan, juga terdapat bola dan lonceng kecil. Bola kecil dipasang sebagai penilaian. Jika gandhewa mengenai bola kecil, maka pemanah mendapatkan pengurangan poin. Sementara fungsi lonceng kecil dipasang, bertujuan agar mengetahui jika busur panah mengenai bandulan.

Jemparing dan gandhewa dibuat secara khusus agar bisa menyesuaikan dengan tubuh pemanah. Satu hal yang diperhatikan saat membuat jemparing dan gandhewa adalah si pembuat memperhatikan rentang tangan pemanah.

Ini bertujuan untuk menyesuaikan pemanah agar merasa nyaman dan dapat memanah dengan optimal. Sehingga jemparing dan gandhewa merupakan milik pribadi.

***

Cara jemparingan memiliki filosofi Kerajaan Mataram, pamenthanging andewa pamanthening cipta, memiliki arti membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik.

Makna yang terkandung di dalamnya tidak lain adalah pembentukan pribadi yang memiliki cita-cita, idealisme, komitmen yang tinggi, integritas moral dan nuraasi yang bersih. Maka tak heran, cara memegang gadhewa dengan gaya horisontal sejajar setinggi dada, tempat hati berada. Melepaskan anak panah tidak diincarnya lewat mata, tapi lewat rasa atau hati.

Kata dasar manah dalam kosakota bahasa Indonesia, berasal dari kosakata Jawa berarti hati. Sehingga cara memanah sasaran menggunakan dengan hati, perasaan, insting naluriah. Bukan dengan mengandalkan pandangan dengan mata belaka.

Sementara, jemparingan gaya Keraton Yogyakarta dalam kondisi hatinya sedang galau dan kalut, dipastikan tidak bisa mengenai sasaran yang tepat. Meski demikian, jemparingan gaya Keraton sampai saat ini masih lestari.

Masih lestarinya jemparingan gaya Keraton karena para abdi dalem tetap menjaga dengan melakukan latihan setiap Selasa dan Kamis pon dan Sabtu Pahing. Para pemanah ini pun akan selalu tampil jika ada pertandingan penting Hadeging Nagari Keraton.

Berdasarkan sejarah, Puro Pakualaman juga menggunakan jemparing bergaya Keraton. Namun, sejak Paku Alam VIII memimpin, gaya jemparingan mulai bergeser menjadi gaya tradisi Mataram. Itu dilakukan agar setiap lomba jemparingan banyak pesertanya. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Cerita Mahalnya Harga Kuburan di Siantar
Mengubur orang mati di Siantar sampai saat ini masih jadi persoalan. Tak jelas kepada siapa harus berhubungan. Harga pun mencekik.
Bolang Makassar YouTuber Pencerita Percintaan Anak Muda
Bolang Makassar menjadi salah satu YouTuber terkenal di Pulau Sulawesi. Konten yang dibuat menceritakan percintaan anak muda.
Menara Saidah dan Cerita Kuburan di Bawahnya
Menara Saidah, yang disebut-sebut berhantu itu, menurut warga sekitar dibangun di atas kuburan. Pengakuan bekas satpam dan ketua RT setempat.