Hidup Miskin di Tengah Ladang Gas Lhokseumawe Aceh

Ismail menggeleng samar. Pria berusia 42 tahun di Lhokseumawe, Aceh, ini terdiam ketika ditanya berapa penghasilan sehari-hari.
Seorang warga berdiri di depan rumah gubuknya, rumah yang tidak layak huni di Kota Lhokseumawe, Aceh. Secara geografis, letak rumah tersebut sangat dekat dengan ladang gas, jarak tempuh hanya memakan waktu 20 menit. (Foto: Tagar/M Agam Khalilullah)

Lhokseumawe, Aceh - Ismail menggeleng samar. Pria berusia 42 tahun yang tinggal di kawasan Kota Lhokseumawe, Aceh, ini terdiam beberapa saat ketika ditanya berapa penghasilannya sehari-hari.

Dengan sorot mata menerawang, ia mempermainkan sebatang rokok di jemari.

"Coba bayangkan saja sekarang semua persoalan serba mahal, sementara tidak ditopang penghasilan memadai, lapangan kerja serba sulit dan sekarang semuanya serba sulit," ujar Ismail.

Ismail sehari-hari bekerja membersihkan kebun milik orang lain. Kadang ia diminta memetik buah kelapa. Pekerjaan yang berisiko, tidak sebanding dengan penghasilan.

Penghasilan hariannya rata-rata Rp 30 ribu kadang lebih. Yang menjadi persoalan kadang ia tidak mendapat penghasilan sama sekali ketika tidak ada yang meminta membersihkan kebun dan memetik buah kelapa.

"Beginilah kehidupan saya, penghasilan sehari-hari ya seperti ini, tapi saya harus terus berusaha untuk menghidupi anak dan istri. Semua pasti ada jalan kalau kita terus berusaha," tuturnya.

Kehidupan yang sama dialami Idris akrab disapa Kek Derih, pedagang di tepian trotoar. Usianya sudah mencapai 80 tahun. Kulit mengerut membalut rapat tulang kering di sekujur tubuhnya.

Hari itu ia mengenakan kemeja batik coklat muda dipadu celana kain dan peci, bersama sepeda ontel tua, matanya nanar menatap lalu lalang kendaraan di Jalan Merdeka Utama, Kota Lhokseumawe.

Ia duduk di tikar lusuh yang digelar di trotoar depan Taman Riyadah, Kota Lhokseumawe. Menunggui dagangannya yaitu pisang, sayur ubi, kangkung, daun jeruk purut, ketela, ubi, daun pisang. Barang dagangannya adalah hasil bercocok tanam bersama sang istri.

Lokasi jualannya pindah-pindah. Tidak menetap di satu tempat.

"Saya punya dua anak, satu laki-laki kerja di Pekanbaru, penghasilannya tidak banyak, satu lagi anak perempuan tinggal di luar Aceh. Saya dan istri harus tetap berusaha membiayai hidup. Saya malu untuk meminta-minta," katanya.

Ismail dan Kek Derih ini hidup di kawasan harta karun, yang perut buminya mengandung gas alam, termasuk daerah penyumbang devisi terbesar negara.

Beginilah kehidupan saya, penghasilan sehari-hari ya seperti ini, tapi saya harus terus berusaha untuk menghidupi anak dan istri. Semua pasti ada jalan kalau kita terus berusaha.

Kemiskinan AcehGubuk bersisian dengan kebun tebu di Lhokseumawe, Aceh. Gubuk tersebut adalah rumah warga miskin,letaknya berdekatan dengan kekayaan gas bumi. (Foto: Tagar/M Agam Khalilullah)

Ladang Gas

Bagi daerah yang menyimpan harta karun di perut bumi berupa gas alam dan bahkan menjadi daerah penyumbang devisi terbesar negara, fenomena Ismail dan Kek Derih harusnya tidak terjadi.

Namun kenyataan angka kemiskinan Kabupaten Aceh Utara termasuk tinggi, di atas rata-rata nasional. Bahkan Aceh Utara pernah mendapat gelar daerah termiskin di Aceh.

Menoleh ke belakang, pada tanggal 24 Oktober 1971 perusahaan minyak asal Amerika Serikat melakukan eksplorasi di Desa Arun, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Awalnya perusahaan tersebut mencari potensi minyak bumi, namun saat dilakukan pengeboran ternyata gas alam yang ada.

Lokasi pengeboran 30 kilometer dari tenggara Kota Lhokseumawe dan deposit gas alam itu di kawasan hamparan sawah subur mencapai 17,1 triliun kaki kubik, sehingga layak untuk dikembangkan selama puluhan tahun.

Pimpinan eksplorasi dan produksi Mobil Oil kala itu Alex Massad menyediakan dana sebesar 400.000 Dollar Amerika Serikat, untuk melakukan eksplorasi sumur gas yang ditemukan tersebut.

Kemudian Pertamina bekerja sama dengan Mobil Oil dan Japan Indonesia LNG Company (JILCO), membentu perusahaan patungan yang diberi nama PT ARUN NGL Co, kini telah berganti nama menjadi PT Perta Arun Gas.

Pada Sabtu 16 Maret 1974 didirikan PT Arun sebagai perusahaan operator, peresmian kilang oleh Presiden Soeharto pada 19 September 1978. Perusahaan berlokasi di Desa Blang Lancang, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Sebelumnya pada tanggal 3 Desember 1973, telah dilakukan penandatanganan kontrak penjualan LNG dengan sejumlah perusahaan industri di Jepang, untuk tenggang waktu 20 tahun.

Berikutnya dengan perusahaan Korea Selatan, melalui perusahaan Electric Power Corp. Perusahaan itu menandatangani kontrak LNG sebanyak 2 juta ton pertahun, mulai 1981 hingga 2006.

Dalam rangkaian kontrak LNG tersebut, di kawasan Blang Lancang, Kecamatan Muara Satu Lhokseumawe, untuk tahap pertama dibangun tiga train kilang pencairan gas. Pembangunan kilang itu dipercayakan kepada perusahaan Bactel Inc, yang dilakukan dari tahun 1974 sampai tahun 1978.

Kilang gas tersebut seluas 271 ha dengan panjang 1,7 km dan lebar 1,5 km serta dilangkapi pelabuhan khusus pengangkut produksi. Kilang LNG Arun dilengkapi 2 buah pelabuhan LNG untuk pengiriman produksi ke negara pembeli, sedangkan untuk pengiriman kondensat dilengkapi 2 buah sarana pemuat, yaitu Single Point Mooring (SPM) dan Multi Buoy Mooring (MBM).

Keunikan yang dimiliki oleh Arun yaitu belum ada di negara lain kala itu, yang menggunakan tenaga penggerak turbin tidak memakai tenaga air, tetapi memakai sistem gas turbin yang mampu menghasilkan tenaga 30.000 HP dan mampu menggerakkan kompresor pendingin.

Bahkan bisa memanfaatkan isi kontrak untuk pengembangan produk, menurut kontrak LNG yang dijual memiliki kalori antara 1.070-1.170 BTU/SCF. Pada permulaan start sampai 6 train LNG yang dihasilkan PT Arun, mengandung 1.163-1.165 BTU/SCF.

Sehingga teknologi yang digunakan di PT Arun, merupakan teknologi yang bertemperatur rendah, karena LNG merupakan gas bentuk liquid bersuhu sampai minus 160 derajat celsius. Selain itu, geotermal gradien sumur Arun, merupakan sumur terpanas di dunia.

Pengapalan perdana condensat yang dihasilkan sumur gas Arun dengan negara tujuan Jepang, dimulai pada tahun 1977, sementara pengapalan LNG dimulai tahun 1978 dan pengapalan LPG dimulai tahun 1988.

Provinsi Aceh menjadi pemasok energi bagi beberapa negara dan lokasinya juga sangat strategis. Selain itu, juga sebagai salah satu daerah penyumbang devisi terbesar untuk negara.

Hingga tahun 1977, PT Arun telah mengekspor 663,12 juta BBLS kondesat, 1.904 ton LPG dan 378,27 juta m3 LNG. Daerah Aceh menjelma menjadi pemasok devisa negara yang besar melalui produk LNG, LPG dan kondensat di samping minyak tanah.

Sepuluh tahun kemudian tepatnya 2 Agustus 1988, PT Arun melakukan pengiriman LPG perdana ke Jepang. Dengan demikian hingga 1 Juli 1997 PT Arun telah mengapalkan 2938 LNG dan 329 LPG ke Negara Jepang, Korea dan Amerika Serikat.

Akibat melimpah gas, maka dibangun beberapa perusahaan lain di Kabupaten Aceh Utara, seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), PT Kertas Kraft Aceh (KKA).

Namun sayang beberapa perusahaan raksasa yang dibangun tersebut, telah berhenti beroperasi karena tidak tersedia pasokan gas. Padahal secara geografis, letak perusahaan itu tidak jauh dari ladang gas.

Meskipun demikian perekonomian masyarakat Aceh, terutama di kawasan Aceh Utara tidak semegah perusahaan raksasa itu. Masih ada yang menempati rumah-rumah yang tidak layak huni.

Angka Kemiskinan

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, persentase kemiskinan di provinsi paling barat Indonesia itu terus mengalami kenaikan, yaitu pada tahun 2000 persentase kemiskinannya mencapai 15,20 persen.

Sementara pada tahun 2001 mencapai 19,20, tahun 2002 mencapai 29,83 persen, tahun 2003 mencapai 29,76 persen, tahun 2004 mencapai 28,37 persen, tahun 2005 mencapai 28, 69 persen, tahun 2006 mencapai 28,28 persen, tahun 2007 mencapai 26,65 persen, tahun 2008 mencapai 23,53 persen, tahun 2009 mencapai 21,80 persen, tahun 2010 mencapai 20,98 persen, tahun 2011 mencapai 19,57 persen, tahun 2012 mencapai 19,46 persen, tahun 2013 mencapai 17,60 persen dan tahun 2014 persentase kemiskinannya mencapai 18,05 persen.

Yang sangat ironis, tahun 2015 Badan Pusat Statistik Aceh merilis laporan Provinsi Aceh menempati daerah miskin kedua di Pulau Sumatera, yang jumlah penduduknya mencapai 859 ribu jiwa dan dengan persentasenya mencapai 17,11 persen.

Peringkat tersebut masih terus bertahan sampai pada tahun 2016, yaitu Provinsi Aceh masih menduduki peringkat daerah termiskin kedua di Sumatera, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 841 ribu jiwa dan persentase mencapai 16,43 persen.

Hingga tahun 2017 dan 2018 gelar tersebut masih bertahan, Aceh masih menduduki peringkat daerah termiskin nomor urut dua di Sumatera. Semoga saja suatu saat nanti 'gelar' tersebut berubah menjadi terkaya.

Aturan Khusus

Akademisi Universitas Malikussaleh Wahyuddin mengatakan perlu regulasi anggaran Migas Aceh agar manfaat tepat sasaran.

Ia menilai sekarang ini penggunaan dana Migas Aceh belum tepat sasaran. Hasil dana migas belum dinikmati sempurna oleh masyarakat daerah penghasil. Bagi hasil dana migas berlangsung sangat tertutup.

"Mengenai persoalan bagi hasil dana migas ini pun masih tidak sempurna dan kita tidak mengetahui dasar-dasar bagi hasilnya di sub sektor mana saja. Maka coba bayangkan daerah kaya gas alam, tapi sumber daya alamnya terus saja diambil," ujar Wahyuddin.

Ia mengatakan apabila kondisi yang terjadi sekarang ini terus saja bertahan, masyarakat yang berada di daerah penghasil gas alam itu masih saja tetap miskin. Tidak ada perubahan.

Selain itu, persoalan utama bagi hasil dana migas tidak serta merta dibagi langsung ke daerah Aceh Utara sebagai daerah penghasil, tetapi dana itu dikembalikan ke provinsi dan kemudian diserahkan kepada pemerintah pusat.

"Setelah dikelola oleh pemerintah pusat, maka dana itu baru dibagikan ke setiap kabupaten dan kota. Bisa kita lihat sekarang, kecamatan penghasil gas alam di Aceh Utara masih termasuk dalam kategori daerah miskin," tutur Wahyuddin.

Idealnya harus ada kebijakan khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti aturan yang mengatur daerah penghasil gas bisa mendapatkan porsi anggaran lebih besar dan jangan membagi anggaran dengan komposisi tertentu.

Dalam pembagian dana migas tersebut, maka bisa dicontoh seperti pembagian Dana Otonomi Khusus (Otsus), sehingga setiap daerah bisa mendapatkan anggaran dengan porsi yang sama rata dan dihitung berdasarkan jumlah penduduk, serta luas wilayah.

"Dana migas yang saat ini, tidak terlalu berdampak dalam menyumbang angka kesejahteraan masyarakat Aceh dan memang itu diproduksi oleh perusahaan besar, kemudian diambil secara nasional dan pengembalian dana itu juga diperuntukkan ke seluruh Indonesia," kata Wahyuddin. []

Tulisan menarik lain:

Berita terkait