Lubang-lubang menganga itu bagai mulut raksasa yang siap menelan korban. Tersebar di sejumlah wilayah di Aceh, itulah galian C, bekas penambangan bebatuan yang bisa disebut perusak lingkungan sekaligus pengundang bencana. Di Aceh galian C ilegal ini bahkan sudah memakan korban. Protes terhadap galian ilegal itu sudah berkali-kali dilancarkan, toh tetap saja bermunculan dan beroperasi.
Galian C yang sudah menelan korban misalnya, di Kabupaten Aceh Utara, Simeulu, dan di Kabupaten Aceh Barat. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh Muhammad Nur menyebutkan, aktivitas galian C di Provinsi Aceh banyak yang ilegal. “Tidak memiliki dokumen amdal,” katanya. Amdal akronim Analisa Mengenai Dampak Lingkungan.
Kegiatan galian C memiliki cara kerja mengeruk dan menggali dengan menggunakan alat berat. Dengan demikian dampak yang dihasilkan sangat berbahaya untuk lingkungan.
“Berdasarkan data yang kami peroleh, kerusakan lingkungan yang paling parah akibat galian C terdapat di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Bireuen, dan Aceh Timur,” ujar Muhammad Nur.
Menurut dia, seharusnya setiap pengusaha pada sektor pertambangan menyepakati satu daerah yang boleh “dikeruk” dan pertanggungjawabannya pun jelas. Sehingga, dengan demikian, memperkecil dampak kerusakan lingkungan.
“Galian C ini dibutuhkan untuk melakukan pembangunan, namun para pengusaha bersepakat saja mengambil satu wilayah saja dan jangan semuanya dicaplok,” kata Muhammad. Menurut dia, dengan sistem ini memperkecil angka kerusakan lingkungan.
Muhammad Nur menambahkan, yang dipersoalkan pihaknya adalah mekanisme pengambilan yang sesuai prosedur hukum. Itu, menurut Muhammad Nur, sampai sekarang belum dilakukan. Menurut dia, maraknya galian C ilegal mencerminkan masih lemahnya pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
Aktivis Walhi ini menunjuk Dinas Pertambangan dan Energi Aceh sebagai lembaga yang harus memiliki data mana saja yang tergolong galian C yang resmi dan ilegal. Dengan adanya data itu, maka aparat bisa melakukan penertiban. “Itu menjadi kewajiban aparat penegak hukum bersama pemerintah daerah untuk menertibkan para pengusaha galian C di Aceh,” katanya.
Walhi, ujarnya, mengimbau pemerintah menertibkan galian C ilegal di seluruh Aceh dan harus dilakukan segera. “Agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah,” katanya. Yang juga ditekankan Menurut dia, biaya bencana yang ditimbukan oleh galian ilegal tersebut tidak mampu ditanggulangi dengan APBD.
Tak Bisa Diperbaiki
Keprihatinan maraknya galian C ilegal di Aceh juga disuarakan Direktur Suara Hati Masyarakat (Sahara) Dahlan M. Isa. Menurut Dahlan, kerusakan lingkungan akibat aktivitas galian C tidak akan pernah bisa diperbaiki kembali. “Benar-benar merugikan masyarakat,” ujarnya.
Dahlan menunjuk kerusakan lingkungan akibat galian C yang terjadi di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara. “Mereka mengeruk galian dengan menggunakan alat berat dan kini terjadi lubang sangat besar di areal Sungai Sawang, dan kini ditinggalkan begitu saja,” ujarnya. Menurut dia, kerusakan lingkungan seperti ini tidak bisa diperbaiki lagi.
Harus ada ketegasan Pemerintah untuk mengatur penambangan ini
Akibat itu semua, ujar Dahlan, kondisi Sungai Sawang mengalami kerusakan sangat parah. Pada saat-saat tertentu sungai tersebut menjadi kering. “Untuk memperbaiki ya batu-batu besar yang diambil itu dikembalikan, tapi itu kan tidak mungkin,” katanya.
Forum Komunitas Hijau, komunitas di Aceh yang peduli pada kelestarian lingkungan, mendesak Pemerintah Aceh untuk menetapkan satu lokasi penggalian yang tepat dan melarang penggalian pertambangan selain di tempat itu. “Sekarang kerusakan di mana-mana. Harus ada ketegasan Pemerintah untuk mengatur penambangan ini,” kata Sekretaris Forum Komunitas Hijau, Saiful.
Saiful memprediksi, dengan kerusakan lingkungan akibat galian C seperti sekarang ini, maka tidak sampai lima tahun akan muncul bencana alam besar. “Seperti bencana longsor atau banjir badang,” katanya yakin. []