Untuk Indonesia

Fachrul Razi Sebaiknya Mundur

Menteri Agama Fachrul Razi sebaiknya mundur legowo, atau kita tunggu keberanian Presiden Jokowi. Tulisan opini Adlan Daie PWNU Jawa Barat.
Fachrul Razi. (Foto: Antara/Wahyu Putro A)

Oleh : Adlan Daie*

Penunjukan Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Maju, terus terang, hingga hari ini setelah pelantikannya masih menyisakan 'ketersinggungan' sejumlah kiai, para ajengan dan aktivis jaringan NU. Tak terkecuali komunitas jaringan Relawan Pesantren Jokowi yang membawahi 250 pesantren di Jawa Barat yang terlibat penuh secara partisipatif dalam tim pemenangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin dalam kontestasi pilpres 2019.

Suatu ketersinggungan yang dapat dipahami secara wajar karena Fachrul Razi sebagai Menteri Agama tidak memiliki titik sambung sosiologis dengan representasi sosial pesantren dalam peta keagamaan di Indonesia.

Secara historis, pembentukan Kementerian Agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebuah kementerian yang tidak ditemukan dalam konsep negara-negara modern. Dulu dibentuk pertama kali di era penjajahan Jepang dengan nama 'shumubu', kantor jawatan urusan agama. Bentuk kompromi penjajah Jepang dengan ormas-ormas Islam di bawah inisiatif KH. Hasyim Asy'ari, pengasuh pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur sekaligus pendiri Nahdlatul ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia. Di sinilah roh historis kementerian agama dipertaruhkan.

Kekecewaan dan ketersinggungan para kiai NU penting direspons secara cepat oleh Menteri Agama untuk legowo mundur.

Karena itu, penunjukan seorang menteri meskipun sepenuhnya hak prerogatif Presiden, haruslah mempertimbangkan aspek historis di atas dan kompetensi yang memadai, connected dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementerian yang akan dipimpinnya selain tentu sisi akseptabilitasnya sebagai pejabat publik. Sisi historis dan kompetensi inilah yang dalam pandangan penulis kurang memadai dimiliki Fachrul Razi sebagai Menteri Agama hingga sejumlah pernyataannya acapkali 'memproduksi' kegaduhan di ruang publik.

Pernyataannya bahwa ia adalah 'Menteri Agama Republik Indonesia bukan Menteri Agama Islam' dengan menarasikannya di ruang publik mencerminkan 'miskinnya' pemahamannya atas suasana kebatinan saat awal proses pembentukan Kementerian Agama yang diinisiasi ormas-ormas Islam hingga konteks pesan 'toleransi' yang hendak disampaikannya cenderung 'kebablasan' dan ahistoris.

Caranya menerjemahkan instruksi Presiden untuk menangkal radikalisme dengan turunan kebijakan hanya menyentuh aspek 'tertib pakaian' cadar dan celana cingkrang adalah cara-cara 'militeristik'. Tidak menyentuh level pemahaman yang memadai tentang radikalisme dengan segala problem laten dan manifesnya hingga menimbulkan kegaduhan dan 'ketersinggungan' sebagian umat Islam yang merasa 'diganggu' ekspresi lahiriah dari keyakinan atas agama yang dianutnya.

Dalam konteks inilah penting bagi Presiden dan para staf lingkaran Presiden untuk sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Prof. Dr. Din Samsudin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI pusat, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Bahwa pembentukan Kementerian Agama secara historis terkait dengan aspirasi ormas Islam terutama NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia.

Karena itu, menurutnya, meskipun penunjukan Menteri Agama, sekali lagi, adalah hak prerogatif Presiden akan tetapi kearifan mempertimbangkan aspek historisnya penting dalam kerangka meletakkan tanggung jawab kementerian agama tetap dalam suasana kebatinan mayoritas umat Islam di Indonesia.

Kegagalan membaca aspek historis di atas hanya akan melahirkan resistensi dan penolakan. Misalnya, dengan tidak diundangnya Menteri Agama dalam acara puncak Hari Santri Nasional (HSN) di Jawa Timur, basis utama kaum Nahdliyin. Dalam konteks yang lebih luas, dapat melemahkan kohesi-kohesi sosial umat Islam dalam moderasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam'iyah' diniyah wal ijtimaiyah) yang moderat dan teruji kesetiaannya terhadap Pancasila dan NKRI dalam dinamika perjalanan prasejarahnya, NU tentu berbeda dengan ormas dan tim sukses 'musiman' yang secara vulgar menagih 'upah jabatan' atas kontribusinya terlibat dalam tim sukses pemenangan Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019.

Kekecewaan dan 'ketersinggungan' para kiai NU sebagaimana digambarkan di atas penting untuk direspons secara cepat oleh Menteri Agama untuk legowo mundur dari jabatannya. Atau berharap Presiden segera mengganti Menteri Agama, setidaknya, mereposisi ke kementerian lain dengan menunjuk Menteri Agama baru dari komunitas yang dari silsilah dan tradisi keilmuannya tersambung dengan khazanah Islam kepesantrenan.

Pandangan kaidah fiqih pesantren dar ul mafasid muqaddam 'ala jalbil masholih mengajarkan kearifan kepada kita bahwa mencegah kegaduhan yang potensial membawa mudhorot. Terlebih bersumber dari pemahaman dasar agama yang salah, antara lain, misalnya tidak memahami rukun 'khotbah Jumat' bagi seorang Menteri Agama penting didahulukan daripada keinginan mendapatkan maslahat dari ikhtiar pencegahan radikalisme melalui cara-cara tidak proporsional.

Mari kita tunggu keberanian Presiden untuk mengembalikan Kementerian Agama ke khittah historisnya yang tersambung secara tradisional dengan NU, ormas Islam yang tidak memiliki cacat historis dalam pengabdiannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

*Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat

Baca tulisan lain:

Berita terkait
Harta Kekayaan Menag Fachrul Razi Tembus Rp 22 Miliar
achrul Razi menjabat Menteri Agama periode 2019-2024. Total harta kekayaan eks Panglima TNI itu tembus Rp 22 miliar lebih.
NU Tak Mengundang Menag Fachrul Razi Peringatan HSN
Pengurus Wilayah NU Jatim tidak akan mengundang Fachrul Razi di puncak peringatan Hari Santri Nasional (HSN) pada Minggu 28 Oktober 2019 nanti.
Fachrul Razi Sebagai Menteri Agama Membanggakan Aceh
Menurut Daud Pakeh, meski Fachrul Razi berasal dari militer, bukan berarti ia tak mengerti cara memimpin di Kementerian Agama.
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.