Jakarta - Gerakan radikalisme dan terorisme disinyalir masih terus berlangsung, terutama menggunakan platform media sosial dalam menyebarkan pengaruh dan merekrut pengikut. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika harus lebih aktif memblokir konten-konten radikalisme di dunia maya.
Nasir Abbas, yang dikenal sebagai eks teroris dari jaringan Jamaah Islamiyah dalam sebuah diskusi daring pada Minggu, 14 Februari 2021 kemarin, menyarankan pemerintah untuk lebih gencar memblokir konten-konten berkaitan gerakan radikalisme dan terorisme di dunia maya.
Dia menilai pemerintah masih kurang tegas dan kurang banyak dalam melakukan pemblokiran. Padahal konten-konten tersebut bisa menggiring opini dan perspektif seseorang untuk mengamini dan mengikuti gerakan radikal dan terorisme.
“Coba sekarang buka Google cari konten wajib jihad, dalil wajib tegakkan negara islam, pasti Anda akan menemuinya. Jadi kalau konten-konten itu tidak pernah dihapus oleh pemerintah, itu berarti peluang,” tuturnya, dilansir dari inisiatifnews.com, Kamis, 18 Februari 2021.
Yang bisa hentikan mereka adalah penegakan hukum
Pemerintah kata dia, jangan segan-segan memblokir konten baik video, audio maupun teks yang tersimpan di internet agar dihapus tuntas.
“Konten-konten yang mengarah pada radikalisme dan terorisme, kalau mereka mau bentuk baru, ya gak masalah, kalau mereka munculkan 1.000, kita blokir juga 1.000. Kalau masih kurang karyawan untuk memblokir, ya tambah saja agar semua benar-benar bersih,” tukasnya.
Nasir Abbas menuturkan pengalamannya, sebelum adanya media sosial, rekrutmen dilakukan melalui surat menyurat. Namun dengan hadirnya media sosial, aktivitas penjaringan kelompok teroris cenderung dipermudah, termasuk melakukan baiat-baiat.
Dia mengingatkan, penyebaran narasi radikalisme berlangsung secara luas di media sosial. Pelakunya membagikan artikel-artikel, dan ada rekrutmen dan diperkirakan akan terus berlangsung.
Dibutuhkan konsistensi dan tindakan tegas aparat penegak hukum agar embrio teroris di Indonesia semakin bisa ditekan semaksimal mungkin. “Yang bisa hentikan mereka adalah penegakan hukum,” tandasnya. []