Duo Gondrong Penggagas Serambi Baca di Bantaeng

Gerakan Serambi Baca Tau Macca di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, terus berjuang mencerdaskan anak-anak bangsa.
Serambi Baca Tau Macca yang selalu dipenuhi anak-anak. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Takdir dan Jamal, dua lelaki berambut panjang alias gondrong berasal dari Desa Bonto Lojong, Kecamatan Ulu Ere, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel). Sebuah daerah di ketinggian 1.200 meter lebih dari permukaan laut.

Saya tak mau ada lagi orang yang seperti saya, dalam hal ini putus sekolah dan kekurangan wawasan.

Kampung Takdir alias Aby dan Jamal cukup indah. Pesona pinus dan khas tanaman hortikultura turut menambah asri warga yang tinggal di atas dan kaki bukit, tebing hingga jurang itu.

Lokasi Bonto Lojong dapat ditempuh dalam perjalanan sekitar 35 menit dari pusat Kecamatan Ulu Ere. Namun sarana sekolah untuk mengenyam pendidikan layak di sini tidak seberapa. Fasilitas belajar pun belum memadai.

Para guru datang dan pergi sekenanya. Bahkan, Aby dan Jamal menemukan fakta adanya siswa kelas 5 sekolah dasar (SD) tak lancar membaca. Namun ketika ditanya kenapa bisa naik kelas, jawabannya sungguh di luar nalar.

"Guruku takut sama bapakku," kata Aby menceritakan jawaban siswa tersebut kepada Tagar, beberapa waktu lalu.

Kehidupan di Desa Bonto Lojong berjalan pelan, kurang dari 3.000 jiwa warga di sana bisa dibilang makmur. Hidup mereka bertani dan berkebun, sebagian juga peternak dan juragan tanah.

Namun kata Aby, pendidikan di sana terkesan sebatas formalitas semata. Sudah untung bisa baca dan tulis. Sungguh sebuah realita kehidupan yang menyedihkan di era perkembangan teknologi dan pendidikan yang kian pesat.

Kami biasa dianggap lawan politik-lah, saingan apa begitu, tetapi lagi-lagi masyarakat percaya akan eksistensi kami.

Aby dan Jamal sangat menyayangkan jika selamanya generasi penerus di kampungnya itu terlena dalam ketertinggalan. Mereka jengah dengan kebiasaan putus sekolah setelah mahir membaca yang membudaya. Mereka tak terima jika generasi selanjutnya hanya tahu makan, minum, tidur, bikin anak dan bekerja.

GondrongJamal (kiri) dan Aby (kanan), dua penggagas Serambi Baca Tau Macca di Bantaeng. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Keprihatinan tersebut memutar otak Aby dan Jamal untuk merangsang minat generasi dalam membaca. Mereka pun menggalakan budaya membaca di bangku belajar non-formal. Gerakan kecil yang mulai dikenal luas itu bernama Serambi Baca Tau Macca.

Jamal adalah seorang sarjana yang memilih pulang untuk mengabdi di tanah kelahirannya. Sedangkan Aby, sekolahnya hanya sampai di tingkat menengah atas (SMA). Dia menikah di usia muda dan mereka pun bertemu sebagai seorang sahabat yang memiliki visi-misi sama untuk masa depan anak-anak di Desa Bonto Lojong.

"Saya tak mau ada lagi orang yang seperti saya, dalam hal ini putus sekolah dan kekurangan wawasan. Saat itu saya sudah mengenal uang, tanpa harus sekolah saya bisa menghasilkan uang, pemikiran saya saat itu,"tutur Aby.

Pria berkulit putih itu merasa keputusannya menghentikan pendidikan hanya sampai tamat SMA adalah hal ceroboh. Sebuah pengalaman pahit yang tak ingin ia bagi dengan orang lain, terutama adik-adiknya di Desa Bonto Lojong.

Nama Gerakan Spontanitas

Keduanya bertekad menjalankan Serambi Baca Tau Macca. Sebab respon positif dari anak-anak yang berada dekat rumahnya mulai menggeliat. Namun tentu setiap jalan tak pernah mulus. Banyak juga yang menolak dan kontra terhadap gerakan baca tersebut.

Gerakan Serambi Baca Tau Macca mulai berjalan tahun 2011. Kala itu, teras rumah Aby selalu dipenuhi anak-anak untuk sekadar membaca kisah-kisah Nabi dan Rasul, atau buku-buku doa ajaran Islam. Namun namanya belum Serambi Baca. Tiga tahun setelah itu barulah lahir nama Serambi Baca.

Nama Serambi Baca Tau Macca lahir secara pontanitas. Saat itu, selesai salat magrib, rumahnya kedatangan seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang bernama Bahtiar. Dia menanyakan kenapa teras baca ini tidak di ekspose atau diposting di media sosial (medsos) untuk mencari donatur buku-buku.

"Beliau ngusul ekspose dan lahirlah nama Serambi Baca. Saya langsung jawab spontan, oh iya cocok itu pak," kenang Aby.

Belakangan kemudian disematkan kata Tau Macca. Hal itu tak lain untuk menambah nuansa kedaerahan di gerakan baca tersebut. Tau Macca sendiri dalam aksara Bugis-Makassar berarti orang pintar.

Lambat laun, semakin banyak yang berkunjung ke Serambi Baca. Koleksi buku-buku Aby dan Jamal pun kian menggunung. Tak hanya itu, relawan literasi untuk Serambi Baca juga mulai bertambah.

Istri dan Sepeda Motor Butut

Eksistensi Serambi Baca Tau Macca tak berjalan mulus begitu saja. Cercaan hingga cemooh menghiasi perjuangan Abi dan Jamal, yang bahkan datang dari keluarga sendiri.

Dukungan istri sebenarnya yang membuat kami bertahan sampai sekarang, termasuk Jamal juga, kami di support istri.

Aby pernah dilarang menggagas ini oleh saudara kandungnya. Namun niatnya tak pernah surut berhenti dengan kerikil-kerikil hambatan itu. Sebab, istri tercinta tetap setia mendukung geliat Aby yang mati-matian berjuang demi mencerdaskan anak bangsa.

"Sempat ada penolakan dari dari saudara sendiri. Tahun 2011 itu kan saya pengantin baru. Saudara bilang, harusnya yang saya pikirkan itu cari pekerjaan, bukan malah membuka Serambi Baca Tau Macca yang tidak jelas arahnya," kenang Aby.

Larangan itu dianggap Aby karena saudaranya belum memahami betul apa sasaran gerakan itu. Lambat-alun setelah dijelaskan, niat baik itu perlahan diterima keluarga.

Istri Aby sendiri mendukung perjuangannya yang tak mau melihat anak-anak di sekitarnya putus sekolah.

"Dukungan istri sebenarnya yang membuat kami bertahan sampai sekarang, termasuk Jamal juga, kami di support istri. Tanpa dukungan mereka, kami tak leluasa bergerak kiri kanan, pulang ke rumah tidak bawa apa-apa, pergi minta beli bensin," kata Aby semberi tertawa.

Seiiring berjalan waktu, donatur buku datang silih berganti ke Serambi Baca Tau Macca. Anak-anak dari desa seberang datang ke serambi untuk membaca sesuka hati.

Ya, virus itu mulai merebak. Kabar santer terdengar di bukit-bukit tetangga dan desa-desa sebelah. Aby dan Jamal gelisah, bagaimana memenuhi panggilan iiwa-jiwa mereka yang haus membaca.

SepedaMotor baca Serambi Baca Tau Macca saat singgah di sebuah sekolah dan dihampiri oleh anak-anak. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Setelah bertahun-tahun menjalani sebagai relawan literasi, Serambi Baca Tau Macca akhirnya membuka layanan antar-jemput buku. Maksudnya, agar semua masyarakat di daerah berjulu "Butta Toa" ini bisa menikmati koleksi bacaan yang ada di sana.

"Kami keliling pakai sepeda motor. Kami kan ada layanan antar-jemput buku secara gratis, jadi biasa kami posting di sosmed beberapa judul buku yang ada, kemudian langganan tetap kami di sosmed memesan, setelah baca kami jemput kembali. Dan itu gratis. Kenapa kami seperti itu, karena sejak kami mulai bergerak aktif 2017, kami selalu berupaya bagaimana meningkatkan kualitas dan minat baca masyarakat," kata ayah dua anak itu.

Alasan orang-orang yang merasa tak cukup mampu meluangkan waktu untuk datang ke Serambi Baca Tau Macca menjadi motivasi mereka untuk menggunakan motor butut berkeliling Bantaeng. Begitu pula anak-anak siswa SD, yang masih kecil-kecil. Langkahnya belum mampu menapak jauh naik turun bukit untuk datang ke serambi.

Motor butut mereka dinamai motor baca. Baginya motor butut itu salah satu pemantik agar orang-orang berminat dan termotivasi.

"Kami sering dibilangi orang gila. Kami tidak komplain kalau kami dibilangi orang gila yang keliling dengan motor butut sambil membawa buku. Saya motivasi diri, mending kami gila dalam hal berkarya daripada waras tapi tidak berbuat apa-apa," tuturnya.

Saat ditanya kenapa menggunakan motor butut untuk keliling dan tidak gunakan motor lain. Aby dan Jamal hanya tersenyum. "Alasannya sederhana. Yah karena alasan ekonomi," katanya.

Tak sedikit yang berseru Merdeka, ketika motor baca lewat di desa desa. Sebuah pekikan yang membakar jiwa patriotis Aby dan Jamal. Kini pun kedatangan motor baca dielu-elukan.

"Kalau motor kami sudah lewat, itu banyak yang sudah tahu kalau ada buku dan mereka senang," timpal Jamal yang sejak perbincangan hanya kerap menebar senyum.

Mereka selalu memotivasi masyarakat agar terus membaca. Katanya, jika sering membaca, seseorang lebih memahami apa yang tak diketahui orang-orang yang tak pernah membaca.

Tanpa Dukungan Pemerintah Desa

Mereka memastikan sejak Serambi Baca Tau Macca berdiri, tidak satu pun dukungan pemerintah hadir untuk mereka. Bahkan, kata Jamal, kadangkala jika mereka dan pemuda setempat membuat kegiatan, justru dianggap saingan.

"Kami biasa dianggap lawan politik-lah, saingan apa begitu, tetapi lagi-lagi masyarakat percaya akan eksistensi kami sebatas ingin mencerdaskan kehidupan bangsa," bebernya.

Saat ini, mereka tiba di fase yang jauh lebih sulit daripada awal melangkah. Mereka kesulitan dalam memenuhi permintaan bacaan baru yang kian membludak dari pengunjung setia Serambi Baca Tau Macca. Sementara koleksi bacaan, masih itu-itu saja.

Namun mereka berjanji akan terus menggaungkan gerakan literasi ke setiap sudut-sudut desa di Kabupaten Bantaeng. Mereka sempat juga mendatangi sebuah desa di Parring-parring, perbatasan Ulu ere dan Desa Kayu Loe atau gudangnya anak-anak putus sekolah.

"Yang melanjutkan pendidikan sampai SMP itu bisa dihitung jari. jadi kami ke sana setidaknya beri motivasi untuk terus belajar. Dan kalau kami datang dari kejauhan itu pasti mereka senang, ada lagi motor baca," tutur Jamal. []


Berita terkait
Mereka yang Tak Kenal Libur Natal dan Tahun Baru
Syamsul, Nisa, dan Paryono adalah bagian dari mereka di barisan yang tidak mengenal libur Natal dan Tahun Baru. Apa pekerjaan mereka?
Pantai Seribu Pohon Cemara di Rembang
Karang Jahe di Rembang, Jawa Tengah, pantai dengan pesona hamparan pasir putih dan lembut, populer dengan sebutan pantai seribu pohon cemara.
Kisah Tiga Pendaki Tersesat di Gunung Lompobattang
Kisah bertahan hidup tiga mahasiswa Makassar ketika tersesat dan menghadapi keganasan alam Gunung Lompobattang.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.