Di LP Cipinang, Dia Mengaku Membunuh Mayjen MT Haryono

Pengakuan seorang anggota Pasukan Cakrabirawa yang membunuh Mayjen TNI M.T Haryono di malam 30 September 1965.
Pak Bungkus (tanda panah) saat berfoto bersama para napi di LP Cipinang sebelum melakukan pertandingan sepakbola antar napi. (Foto: Dok. Petrus Hariyanto)

Perawakannya bisa dibilang pendek, rambut putih di kepala mulai mendominasi. Walau tidak bisa dibilang gemuk, tapi timbunan lemak mulai melapisi pinggang dan perutnya.

Penampilannya rapi, memakai kemeja yang selalu dimasukan ke dalam celana, diikat ketat dengan sabuk kulit yang mulai usang. Mengenakan sandal plastik coklat bermerk Lily. Sandal tersebut di tahun 70-an sangat nge-trend, dipakai bapak-bapak usia matang.

Siapa yang menculik? Nggak ada istilah di militer menculik. Perintah atasan saya ini tangkap jenderal-jenderal yang akan melakukan kudeta.

Siapa yang menculik? Nggak ada istilah di militer menculik. Perintah atasan saya ini tangkap jenderal-jenderal yang akan melakukan kudeta.

Sudah tidak terlihat lagi jejak bapak ini sebagai mantan anggota militer. Otot-ototnya sudah mengendur, rahangnya juga tidak tampak perkasa lagi.

Padahal, 30 tahun yang lalu Pak Bungkus menjadi anggota pasukan Resimen Cakrabirawa. Sekumpulan prajurit pilihan yang anggotanya direkrut dari kesatuan pasukan elite di masing-masing angkatan dan kepolisian.

Lamanya mendekam di penjara melebihi usiaku, mungkin itulah yang membuat tubuhnya kini tidak seperkasa dulu. Belum ditambah lagi siksaan yang dialami selama proses interograsi. Tentu yang paling berpengaruh karena usianya kini sudah senja.

Tetapi, sebagai narapidana politik (napol) G30S, ia terlihat paling sehat. Orangnya santai, hampir setiap berdialog dengan lawan bicaranya dia tak lupa tersenyum. Bahkan, sering kali melucu.

Rasanya, aku sedang tidak berhadapan dengan sosok serdadu yang digambarkan oleh Orde Baru begitu keji dan sadis.

Mendengar Resimen Cakrabirawa ingatanku selalu tertuju tentang komunis, penculik, pembunuh dan pemberontakan.

Sejak kecil aku dan generasiku sangat kenyang sekali dengan doktrinasi lewat film berjudul "G30S PKI". Berkali-kali kami sebagai siswa SD sampai SMP digiring masuk ke gedung bioskop untuk menyaksikan film tersebut.

Kami semua akan akan berseru "huuuuu" ketika adegan pasukan Cakrabirawa menculik dan membunuh para jenderal angkatan darat. Kami larut dalam narasi yang dibuat Orde Baru.

Hari ini, di ruang besuk LP Cipinang, aku berkesempatan ngobrol panjang lebar dengan mantan prajurit Cakrabirawa berpangkat sersan mayor itu. Saat peristiwa 30 September itu, ia ditugaskan menculik Mayor Jenderal M.T. Haryono, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Aku tergoda untuk menggali peristiwa itu lebih dalam lagi. Kebetulan kami berdua tak ada yang membesuk, membuat kami leluasa ngobrol di salah satu sudut ruangan itu.

Baca juga: LP Cipinang, Kisah Saat Dibesuk, Kopi Campur Autan, dan Kebutuhan Seks

"Aku ini orang asli Madura. Tetapi, waktu perekrutan anggota Resimen Cakrabirawa, aku ada di Semarang. Aku anggota pasukan Benteng Raiders (BR). Aku dari unsur angkatan darat," katanya mengawali jawaban dari beberapa pertanyaan dariku.

Napol yang kesehariannya masih rajin menjahit di kamar selnya agar dapat penghasilan ini lantas bercerita masa mudanya yang dihabiskan di daerah pertempuran.

"Sesudah kemerdekaan aku diterjunkan bertempur dengan Belanda di berbagai daerah, mulai Kediri, Madiun, Yogyakarta. Aku bergabung di dalam pasukan Batalyon Anjing Laut. Namanya unik, kan? Orang Madura semua yang berada di sana, dik," ucapnya ke aku sambil tertawa.

Pak Bungkus memanggil aku dengan sebutan dik, tidak seperti napol lainnya memanggil kami dengan sebutan bung. Masih kentara logat Maduranya. Lalu kutanya kalau sedang bertempur dan kontak senjata dengan musuh itu bagaimana rasanya?"

"Ya menakutkan, dik, deg-deg-an, walau sudah sering menjalani. Apalagi kalau mereka menembak terlebih dahulu ke pasukan kami dan tak tahu arah tembakan darimana, buyar semua konsentrasi kita. Yang ada hanya tiarap, bingung apa yang mau dilakukan," ujarnya dengan mimik tersenyum.

Yang diceritakannya adalah pertempuran saat mengejar pemberontakan DII/TII di Jawa Barat.

"Saya lolos seleksi masuk Resimen Cakrabirawa. Ada 3000 pasukan terpilih yang bergabung di sana. Kami semua bangga menjadi prajurit yang tugasnya menjaga dan mengawal Presiden Soekarno dan keluarganya.

"Saat itu saya Komandan Peleton Kompi C. Komandan kompinya dijabat Letnan Satu Dul Arif, sedangkan Komandan Batalyon (Batalyon Kawal Kehormatan) dijabat Letkol Untung," katanya.

Ia bercerita saat berjaga di istana, sering menjumpai anak-anak Presiden Soekarno.

"Guruh itu waktu kecil, bandel loh. Kita sedang baris-berbaris mengelilingi istana tiba-tiba pasukan bubar karena Guruh menabrak kami dengan sepeda ontelnya,” ujarnya sambil memperagakan pasukan Cakrabirawa yang kocar-kacir, tercerai-berai dari barisannya.

Selain Guruh Soekarnoputra, Pak Bungkus juga masih ingat masa kecilnya Megawati Soekarnoputri. Katanya, pernah suatu ketika ia dan temannya sesama anggota Cakrabirawa harus memegang net agar Megawati bisa bermain bulutangkis.

Penculikan M.T. Haryono

Sudah hampir satu jam ngobrol dengannya, tak secuil slogan-slogan PKI muncul darinya. Pak Bungkus tak pernah menyinggung soal politik. Semua yang diceritakan tentang kisah pengabdiannya sebagai tentara dan pengagum Bung Karno.

Pak Bungkus tegas-tegas mengatakan bukan anggota PKI. Sejak pra kemerdekaan sampai bertugas di Istana Merdeka hidupnya diabdikan di lingkungan militer.

Tiba-tiba aku bertanya kepada Pak Bungkus siapa jenderal yang dia culik?

Wajahnya berubah menjadi serius ketika mendengar pertanyaanku. Semula bercerita dengan senyuman, tiba-tiba wajahnya serius.

Ia memang menyesal telah menembak mati Mayor Jenderal M.T. Haryono. Tetapi, dia bersikukuh tidak bersalah. Semua yang dia lakukan adalah menjalankan perintah atasan.

"Siapa yang menculik? Nggak ada istilah di militer menculik. Perintah atasan saya ini tangkap jenderal-jenderal yang akan melakukan kudeta. Tangkap baik hidup atau mati. Itu perintahnya," ujarnya dengan nada mulai meninggi.

Hidup dalam penjara begitu lama ditambah menanti eksekusi hukuman mati membuat hari-harinya tidak nyaman dan penuh ketidakpastian.

Menurutnya, dia sudah mendengar sebelumnya info tentang Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno.

"Sebagai pasukan penjaga dan pengaman beliau, tentu saja saya resah. Wah gawat ini. Makanya pada selepas tanggal 30 September 19965, pukul 03.00 pagi saya bersedia menjalankan perintah. Saat itu aku komandan peleton dan komandan kompinya Letnan Satu Dul Arif, mendapat tugas menangkap M.T. Haryono," katanya.

Ia mengatakan, Dul Arif itu sobat karibnya sejak lama di militer. Katanya, mereka berdua sama-sama orang Madura.

"Kami berdua kalau ngomong ya pakai bahasa Madura. Dalam film yang diputar Pemerintah Soeharto muka Dul Arif ditampilkan serem dan bengis. Tidak seperti itu. Dul Arif juga suka melucu seperti aku," ucapnya lagi.

"Kok M.T. Haryono ditembak mati di rumahnya? Siapa yang nembak?"

"Aku dik," katanya.

Aku mendengar ada nada getir dan penyesalan dari ucapan Pak Bungkus kali ini.

"Begini dik. Waktu itu aku ditugaskan memimpin penangkapannya. Ada 7 peleton untuk 7 titik operasi. Diberi waktu hanya singkat, sekitar 15-20 menit. Pukul 06.00 sudah harus dibawa ke tempat kami semula."

"Ketika sampai di tempat sasaran, pintu saya ketuk sampai dua kali, tapi malah dikunci dari dalam. Saya bingung, masak saya nggak jalankan tugas. Lalu pintu kami dobrak. Di dalam gelap karena lampu dimatikan. Sekilas ada bayangan putih, lalu saya refleks menembak. Ternyata yang tertembak M.T. Haryono," ucapnya, kini dengan wajah tegang.

Kata Pak Bungkus, pasukannya membawa jenazah M.T. Haryono ke tempat semula (daerah Lubang Buaya). Katanya, tiba Pukul 05.30.

"Saya serahkan M.T. Haryono yang sudah meninggal ke Dul Arif," ujarnya dengan pelan.

Letnan Jenderal TNI M T HaryonoM.T. Haryono (Foto: Istimewa)

Lalu aku tanya kembali, apakah jenderal yang masih hidup mereka siksa sampai mati?

Kali ini Pak Bungkus mulai semangat lagi menjawab.

"Tidak ada dik yang disiksa. Yang hidup, dengan sopan dipapah, dibawa ke bibir lubang sumur baru ditembak. Nggak benar ada Gerwani yang menari sambil menyanyi "Genjer-Genjer". Nggak ada adegan menyilet dan mencungkil mata para jenderal. Film itu sungguh keterlaluan," katanya dengan nada tinggi.

Kata Pak Bungkus, yang di sana hanya pasukan yang bertugas menangkap para jenderal. 60 orang dari Cakrabirawa dan selebihnya pasukan Brigif I Jaya pimpinan Kolonel Latief.

"Suasananya sunyi dik. Hanya terdengar suara hembusan angin, suara bayi, suara ayam berkokok. Kami semua terdiam dan mematung. Minum air pun rasanya getir," ucapnya, matanya seperti menerawang ke masa lampaunya tersebut.

Menunggu Eksekusi

30 tahun lebih hidup dalam penjara. Sebuah kehidupan kelam yang sudah dia jalani hampir menyita separo usianya.

Belum lagi, masa-masa awal penangkapan, siksaan yang sadis pasti mendarat di tubuhnya. Hampir semua tahanan yang dituduh sebagai dalang pemberontakan G30S PKI dilibas habis dengan siksaan yang tidak manusiawi.

Baca juga: Disiksa Dulu Sebelum Masuk ke LP Cipinang

Tahun 1971, ia dijatuhi vonis hukuman mati. Mati baginya hanya menunggu giliran. Sobat-sobatnya satu persatu telah dieksekusi mati. Pak Bungkus sudah pasrah, sewaktu-waktu diambil dari sel kamarnya untuk dihadapkan regu tembak.

Yang terjadi, justru beberapa kali ia gagal dieksekusi karena ada protes dari LSM.

Menurut Fauzi Isman (napol Talangsari, Lampung) bulan Oktober 1990, Pak Bungkus akan dieksekusi. Ternyata yang menjalani eksekusi adalah Pak Satar, Pak Leman, Pak Surono.

"Pak Bungkus dan Pak Asep Suryaman (anggota Biro Khusus PKI) tidak jadi dieksekusi. Aku ingat betul, karena pada saat itu aku sudah di penjara di Blok Napol II D," kata Fauzi.

PKIFoto: Antara

Hidup dalam penjara begitu lama ditambah menanti eksekusi hukuman mati membuat hari-harinya tidak nyaman dan penuh ketidakpastian. Vonis mati tetap tidak berubah, dan sewaktu-waktu nyawanya akan dicabut atas nama hukum.

"Istri dan enam anakku tinggal jauh di Besuki, Situbondo. Mereka tentu menderita karena aku. Sebenarnya kangen dengan mereka, tapi aku tak mungkin merepotkan mereka datang ke Cipinang," katanya dengan sendu.

Kata napol yang lain, belum tentu setahun sekali Pak Bungkus dibesuk oleh keluarganya. Kalau keluarga datang biasanya difasilitasi oleh Palang Merah Internasional.

Pak Bungkus memang menyesal telah menembak mati Mayor Jenderal M.T. Haryono. Tetapi, dia bersikukuh tidak bersalah. Semua yang dia lakukan adalah menjalankan perintah atasan. Sebagai anggota Resimen Cakrabirawa sudah selayaknya melindungi Presiden Soekarno, walau itu harus menangkap para jenderal angkatan darat.

Sebagai tentara dan pejuang, Pak Bungkus punya banyak penghargaan.

"Jelek-jelek begini, dik, saya mendapat Dua Bintang Satyalencana, Bintang Gerilya, dan sembilan medali lainnya. Namun, medali itu dirampas aparat begitu saya berstatus tahanan politik," ujarnya lagi dengan nada sendu.

Dan pemerintah Orde Baru telah merampas hampir semua kehidupannya. Bahkan, keluarganya juga harus menanggung beban karena mendapat stigma "keluarga PKI".

"Setiap tahun mereka takut keluar rumah ketika Film G30S PKI disiarkan. Orang sekampung tahu aku adalah pelaku pembunuhan para jenderal," ungkapnya dengan sedih.

Waktu besukan telah berakhir. Pak Bungkus pamit, katanya masih ada beberapa kemeja dan celana para napi yang dia harus jahit.

Pak Bungkus lalu pergi sambil bersenandung lagu keroncong "Sepasang Mata Bola". Semua musibah dan cobaan yang ia alami tidak membuat dia kehilangan semangat hidup. Tetap rajin mencari rejeki walau hidup dalam penjara. []

Penulis: *Petrus Hariyanto, Mantan Sekjen PRD

*Bagian 8 dari cerita berseri "Kisah-kisah di Balik Jeruji Besi"

Berita terkait
LP Cipinang dan Kisah 3 Pejuang Timor Timur
Kisah Petrus Hariyanto, mantan Sekjen PRD, ketika mendekam di LP Cipinang dan pertemuannya dengan para pejuang Timor Timur.
Dari LP Cipinang, Aku Mulai Sidang Perdana dengan Tuntutan Berlapis
Ketika mata terbuka yang terlihat tembok kumuh dan jeruji besi. Ternyata aku ada di penjara, LP Cipinang.
Hari Ketiga di LP Cipinang dan Cerita Pembantaian Talangsari
Hari ini hari ketiga aku mendekam di penjara Cipinang. Aku sudah berani keluar dari sel. Sudah mulai bersapa dengan sesama napi.
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.