Denny Siregar: Ketika KPAI Menggugat PB Djarum

KPAI mendadak menyerang Perkumpulan Bulu tangkis Djarum karena mengeksploitasi anak demi keuntungan perusahaannya. Tulisan opini Denny Siregar.
Ilustrasi - Anak-anak atlet binaan Perkumpulan Bulu Tangkis (PB) Djarum. (Foto: PB Djarum)

Oleh: Denny Siregar*

Sejak berdiri tahun 1969, entah sudah berapa juara dunia bulu tangkis dihasilkan oleh PB Djarum.

Saya ingat dulu semua warga berkumpul di satu tempat yang ada televisinya hanya untuk menonton bagaimana Liem Swie King bertanding. Saya ingat juga bagaimana Indonesia begitu merindukan juara di event bulu tangkis, ketika sepak bola kita sibuk dengan suap dan selalu kalah di event internasional.

Nama-nama besar di dunia bulu tangkis bukan datang dengan tiba-tiba. Mereka melakukan pelatihan begitu keras dengan sistem kompetisi yang ketat. Dan yang membuat mereka bisa menjadi juara selain diri mereka sendiri adalah berkat pelatihan dari Perkumpulan Bulu tangkis Djarum yang memang fokus dalam pengembangan anak meraih mimpinya.

Dan semua itu pasti bermuara pada dana yang dikucurkan. Selama ini memang hanya perusahaan rokok Djarum yang mau membina anak-anak di bidang bulu tangkis dari nobody menjadi somebody.

Dan sekarang apa yang dilakukan selama 50 tahun digugat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI.

KPAI mendadak "menyerang" PB Djarum karena mengeksploitasi anak demi keuntungan perusahaannya. Eksploitasi? Gak salah tuh?

Di mana KPAI ketika PB Djarum menghindarkan anak-anak dari bahaya narkoba dengan membangun tempat berlatih untuk mereka?

KPAI tidak pernah melakukan apa-apa.

Di mana KPAI ketika PB Djarum fokus menghasilkan juara-juara dunia saat para anggota KPAI juga dulu menonton mereka, bersorak saat menang, menangis saat kalah, dan bersyukur ada yang membawa nama Indonesia di dunia internasional?

KPAI tidak pernah melakukan apa-apa, bahkan mungkin tidak terpikir oleh mereka untuk berjuang supaya pemerintah menganggarkan ratusan miliar rupiah, supaya anak-anak yang berprestasi bisa mendapat tempat supaya mereka berkembang sesuai minatnya.

Sekarang bahkan KPAI terpikir untuk membubarkan PB Djarum hanya karena masalah logo untuk event pembinaannya. Bagi KPAI logo itu bagian dari propaganda PB Djarum supaya anak-anak merokok?

KPAI harusnya bertanya pada Haryanto Arbi, pemain legendaris yang juga berhasil berkat binaan PB Djarum. Apakah ia merokok? Apakah PB Djarum memperbolehkan semua anak binaannya merokok atau mengharuskan mereka merokok? Jelas tidak mungkin, karena mereka olahragawan.

Lalu jika PB Djarum dibubarkan hanya karena masalah logo, atau PB Djarum akhirnya berhenti membina anak-anak karena merasa bukannya dikasih terima kasih malah dianggap eksploitasi, terus apa yang akan dilakukan KPAI?

Hanya mengimbau supaya anak-anak harus menjadi juara dunia? Hanya memberi mimpi tanpa solusi supaya anak-anak mau mencapai mimpinya?

Aneh memang KPAI ini. Kenapa tidak sibuk mengurusi hal lain yang lebih penting. Biarkan PB Djarum mengurusi tugasnya dalam bidangnya, mereka sudah berpengalaman 50 tahun untuk itu.

Sini saya kasih sedikit petunjuk untuk KPAI. Di sekolah-sekolah mulai SD sampai SMA, banyak anak-anak yang dipaksa untuk membenci mereka yang tidak seagama dan dipaksa untuk berpakaian sesuai agama sesuai agama kepala sekolah atau gurunya.

Malah ada gerakan di kegiatan ekstrakurikuler untuk membenci Pancasila dan mengusung khilafah di sana.

Mending KPAI fokus di sana. PB Djarum sudah berjasa menghindarkan banyak anak supaya tidak terdoktrin lewat kegiatan olahraga dengan dana mereka sendiri tanpa mengganggu pemerintah.

Seruput dulu, KPAI.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Makassar Kembali Menjadi Tuan Rumah Djarum Sirnas Open 2018
Makassar kembali menjadi tuan rumah Djarum Sirnas Open 2018. “Peserta dari luar negeri boleh ikut mendaftar. Kami juga tidak membatasi peserta dari luar negeri,” kata Devo.
PB Djarum Kasih Bonus Uang Bagi Peraih Juara Dunia Bulutangkis
PB Djarum Kudus dan PB Mutiara Cardinal Bandung Beri Bonus Rp40 juta bagi peraih juara dunia bulutangkis Junior.