Tahun 1997, Indonesia punya gawe yaitu Sea Games. Oleh negara waktu itu, dibuatlah konsorsium untuk menyelenggarakan pesta olah raga itu. Tebak siapa ketuanya? Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Soeharto - Presiden paling berkuasa masa orde baru. Memang siapa yang bisa menolak waktu itu kalau Soeharto punya mau?
Sebagai penyelenggara, tugas konsorsium adalah menggalang dana untuk Sea Games. Tapi alih-alih dapat dana, Bambang malah ngutang ke negara. Sial memang, negara enggak bisa menolak karena keluarga Cendana kuat banget masa itu.
Bukannya dapat keuntungan dari acara Sea Games, negara malah harus keluar duit 35 miliar rupiah - kurs waktu itu - untuk ngutangin Bambang Tri.
Enggak ada yang berani menagih, sampai datanglah masa pemerintahan Jokowi yang keras kepala. Sri Mulyani, Menteri Keuangan menagih Bambang Tri triliunan rupiah piutang negara.
Dan sesudah selesai acara, Bambang Tri pura-pura lupa kalau dia punya utang. Bambang Tri bahkan diberi fasilitas "bea masuk khusus" untuk impor mobil mewah khusus untuk Sea Games. Habis acara selesai, mobil-mobil berharga miliaran itu dijualnya dan negara kembali enggak dapat apa-apa. Belum pajak dari stiker yang enggak pernah masuk ke negara.
Semuanya hilang, seperti kata Pak Tarno pesulap, "prok prok jadi apaaa?"
Enggak ada yang berani menagih, sampai datanglah masa pemerintahan Jokowi yang keras kepala. Sri Mulyani, Menteri Keuangan menagih Bambang Tri triliunan rupiah piutang negara.
Bambang Tri tetap enggak mau bayar, Sri Mulyani mencekalnya sehingga tidak bisa ke luar negeri. Bahkan Sri Mulyani berencana akan memblokir semua rekening Bambang Tri.
Di masa pemerintahan Jokowi ini, keluarga Cendana seperti mendapat palu godam keras di kepala. Tommy Soeharto pun merasakan sakitnya, gedung Granadi disita karena Kejaksaan sedang memburu "harta karun" yayasan Supersemar yang tidak jelas pengelolaannya.
Jadi, paham kan kenapa banyak yang tidak suka Jokowi menjadi kepala negara?
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi