Delusi Massal di Balik Fenomena Kerajaan Baru

Ulasan psikologi di balik fenomena kerajaan fiktif Keraton Djipang di blora, Keraton Agung Sejagat di Purworejo, dan Sunda Empire di Bandung.
Raja dan permaisuri Kerajaan Agung Sejagat Purworejo saat proses wilujengan. (Foto: Facebook)

Jakarta - Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro mengatakan berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, dan Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat, biasanya dimunculkan orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).

Keberhasilan para penggagas kerajaan fiktif untuk menggaet pengikut, kata Koentjoro, karena didukung penguasaan psikologi massa sehingga mampu mempengaruhi dan meyakinkan orang lain. Cerita-cerita yang disampaikan di tengah kumpulan massa mampu mereka kemas secara menarik sehingga membuat hal-hal yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis banyak orang memutuskan menjadi pengikutnya. 

"Itulah kekuatan psikologi massa sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan," tutur Koentjoro di Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Selasa, 21 Januari 2020, seperti diberitakan Antara.

Dari sisi para pengikut, lanjut Koentjoro, keputusan mereka tidak selalu dilandasi motif ekonomi. Buktinya merujuk fenomena Kerajaan Agung Sejagat, para pengikut rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk membeli seragam sebagai syarat keanggotaan. "Kalau kemiskinan, kenapa mereka mau membayar dua juta, artinya mereka cukup. Kondisi miskin tapi berspekulasi, ada keinginan yang mau dicapai."

Keputusan menjadi pengikut bisa dipengaruhi banyak faktor di antaranya berkaitan post power syndrom. "Banyak di antara mereka orang-orang tua yang dulu punya jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi yang kemudian ketika pensiun di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah lalu dia menggabungkan yang ada di situ."

Kemungkinan lain, kata Koentjoro, kurangnya sentuhan kasih sayang atau penghargaan yang didapatkan para orang tua dari anak-anaknya. Sehingga sebagai sarana aktualisasi diri, mereka memilih bergabung dengan komunitas itu.

Untuk mencegah fenomena kerajaan atau keraton palsu muncul kembali, ia berharap pemerintah dan masyarakat bersinergi meningkatkan daya kritis masyarakat melalui pendidikan. "Kita ingatkan iqra (membacalah) agar kita mau berpikir, tidak mudah kena pengaruh."

Baru menjadi masalah, ketika memobilisasi massa, mengumpulkan dana atau membentuk tentara.

Sunda Empire AcehPengurus Sunda Empire Aceh saat menggelar pertemuan di Keude Geudong, Kecamatan Samudra, Aceh Utara, Aceh. (Foto: Tagar/Istimewa)

Tidak Ada yang Aneh

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mengatakan tidak ada yang aneh dengan munculnya kerajaan baru. "Menurut saya tidak ada yang aneh. Dari waktu ke waktu terus bermunculan. Kalau kita lihat, sejak 1970-an, kerajaan-kerajaan seperti itu bermunculan," ujar Hilmar di Jakarta, Minggu, 19 Januari 2020.

Kemunculan kerajaan-kerajaan baru tersebut, kata Hilmar, merupakan bentuk ekspresi dari masyarakat yang mengidentifikasi diri dengan kejayaan masa lalu. "Tidak ada yang aneh. Cara mengekspresikan bermacam-macam." Menurutnya, hal itu baru menjadi masalah kalau mengumpulkan massa, mengumpulkan dana, hingga membentuk tentara. Dan kalau sudah seperti itu artinya adalah urusan kepolisian.

Hilmar juga menganggap kemunculan kerajaan-kerajaan baru sebagai soal kedalaman pengetahuan. Seberapa jauh yang bersangkutan mempelajari sejarah, diramu menjadi hal baru. "Kalau dari sisi saya, saya tidak menganggap hal itu sebagai masalah kebudayaan. Baru menjadi masalah, ketika memobilisasi massa, mengumpulkan dana atau membentuk tentara."

Kerajaan baru bermunculan di Tanah Air, di antaranya Keraton Djipang di Blora, Keraton Agung Sejagat di Purworejo, dan Sunda Empire di Jawa Barat. Pimpinan kerajaan ini ada yang sudah ditangkap polisi karena memenuhi unsur penipuan, ada yang masih dalam penyidikan.

Keraton Jipang di BloraKegiatan di Keraton Jipang, Blora. (Foto: Istimewa)

Sunda Empire

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Barat, Komisaris Besar Polisi Saptono Erlangga mengatakan pihaknya telah meminta keterangan dari delapan orang untuk mencari titik terang kerajaan Sunda Empire. Empat orang yang dimintai keterangan adalah dua anggota Sunda Empire, budayawan, dan staf Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada Senin, 20 Januari 2020.

Pada Selasa, 21 Januari 2020, empat orang lagi diperiksa yaitu dari pihak Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri (Kesbangpol) Provinsi Jawa Barat, Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba), sejarawan Universitas Padjadjaran (Unpad), seorang lagi pihak dari Universitas Pendidikan Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Saptono di Kepolisian Daerah Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, Rabu, 22 Januari 2020. Nantinya, kata Saptono, mereka akan membantu penyelidikan untuk mencari unsur pidana terkait keberadaan Sunda Empire.

"Penyidik akan melakukan gelar perkara apakah memang di dalam kegiatan Sunda Empire ini sudah memenuhi unsur-unsur pidana. Nanti penyidik akan menyimpulkan di gelar perkara dan kalau memenuhi akan ditingkatkan menjadi penyidikan," tutur Saptono. Ia belum bisa memastikan apakah Sunda Empire memiliki modus iuran dengan iming-iming yang menjadi penipuan seperti dalam kasus Keraton Agung Sejagat di Jawa Tengah.

Ia mengatakan pihaknya masih menyelidiki apakah Sunda Empire memenuhi unsur pidana dari pasal yang lain. "Kalau di Purworejo kan memang pidananya dari awal sudah nyata terkait penipuan. Kita gali Sunda Empire mungkin dengan pasal-pasal yang lain." []

Baca cerita:

Berita terkait
Kaesang Pangarep Kena Virus Kerajaan Sunda Empire
Putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, kena virus fenomena kerajaan baru Sunda Empire. Ia pun mendaulat dirinya sebagai Raden Mas Ngarep.
Wadah Kerajaan dan Keraton Nusantara Kini
Kerajaan dan keraton di Indonesia bergabung dalam sejumlah wadah, antara lain, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara.
Fenomena Kerajaan Baru, Bagian Gerakan Ratu Adil
Sosiolog UGM Najib Azca menyebut kemunculan kerajaan akhir-akhir ini bagian dari gerakan ratu adil. Fenomena itu cerminan krisis di masyarakat.