Fenomena Kerajaan Baru, Bagian Gerakan Ratu Adil

Sosiolog UGM Najib Azca menyebut kemunculan kerajaan akhir-akhir ini bagian dari gerakan ratu adil. Fenomena itu cerminan krisis di masyarakat.
Keraton Agung Sejagat di Purworejo (foto: Ant).

Yogyakarta - Kemunculan beberapa 'kerajaan' baru di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dinilai merupakan bagian dari gerakan ratu adil, yang beberapa kali terjadi di Indonesia.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Najib Azca, mengatakan, berdasarkan pengamatan dan pandangannya, munculnya kerajaan-kerajaan baru, atau kelompok-kelompok yang mendeklarasikan semacam struktur kekuasaan baru belakangan ini, merupakan cerminan dari krisis yang sedang terjadi di masyarakat.

Krisis yang dimaksud adalah terjadinya kejenuhan atau kebuntuan pada sebagian warga, yang kehilangan orientasi ke depan, serta kekecewaan, maupun masa depan yang suram.

"Para tokoh atau raja yang datang itu kan mereka hadir dengan tawaran, bahwa kehadiran mereka akan mengubah nasib warga. Sehingga ketika muncul sosok yang membawa harapan baru, mereka dengan gampang menerimanya, tidak bersikap kritis," jelasnya melalui telepon seluler, Jumat 17 Januari 2020 petang.

Peraih gelar doktoral dari Amsterdam Institute for Social Science Research (AISR), University of Amsterdam, Belanda ini mengatakan, para pengikut "raja" itu, kehilangan sikap kritis untuk mencermati dan memikirkan, bahwa itu merupakan tindakan yang tidak berbasis pada akal sehat.

Terlebih, untuk beberapa kasus, pendirinya mengiming-imingi anggota dan calon anggota dengan uang tabungan yang sangat banyak. Misalnya berada di bank Swiss, jumlahnya mungkin ratusan triliun rupiah, yang kalau berhasil dicairkan akan menjadi jalan kemakmuran bagi banyak orang.

"Nah orang-orang yang hidup dalam kepengapan, kemudian melihat ini sebagai sebuah cahaya, peluang, atau udara segar untuk perbaikan nasib. Itulah yang terjadi pada pengikut sosok-sosok yang mengaku diri sebagai pemimpin tradisional atau raja atau ratu," lanjutnya.

Najib mengingatkan bahwa fenomena seperti itu bukan fenomena baru di Indonesia. Bahkan di dunia pun bukan merupakan hal baru. Hal semacam itu disebut dengan gerakan mileniarisme, yang muncul setiap kurun waktu tertentu.

"Bisa 50 tahun tertentu atau 30 tahun. Jadi itu gerakan yang semacam menawarkan jalan keluar bagi kebuntuan zaman. Ini yang sering disebut dengan gerakan ratu adil. Mileniarisme itu kalau kita biasa menyebut gerakan ratu adil. Kan itu berkali-kali muncul," tegasnya.

Gerakan-gerakan semacam itu, biasanya muncul saat situasi zaman sedang sulit, saat orang kehilangan harapan dan optimisme. Sosok raja atau pemimpin yang muncul, dianggap berani mengambil langkah yang radikal dan berbeda dengan kebanyakan orang.

Sehingga ketika muncul sosok yang membawa harapan baru, mereka dengan gampang menerimanya, tidak bersikap kritis.

Saat ditanya, apakah saat ini merupakan zaman yang sulit, Najib menjawab bahwa saat ini secara umum kemakmuran dan kesejahteraan meningkat, tapi ada juga masyarakat yang tertinggal. Secara sosiologi ekonomi, indeks ketimpangan atau gini ratio meningkat. Bahkan jika dibandingkan dengan zaman orde baru.

Orang yang kaya semakin kaya, tapi yang miskin justru tertinggal, tidak terangkat naik dengan kemakmuran yang semakin berkembang.

Namun pria asal Pekalongan ini mengakui dalam setahun terakhir, angka ketimpangan sudah mulai menurun, jika dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya. Saat era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gini ratio masih di atas empat, meski perekonomian meningkat.

Penurunan gini ratio itu diyakini merupakan pengaruh dari kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Jokowi, meski penurunannya belum signifikan.

najib azcaSosiolog UGM Yogyakarta Dr. Najib Azca, MA PhD (Dok. Pribadi/Tagar/Ridwan Anshori)

"Jadi memang ekonomi meningkat, pertumbuhan meningkat. Saat pembukaan tambang kan banyak orang kaya baru, yang seenaknya sendiri menggunakan uang, buang-buang uang. Tapi sisi lain ada lapisan masyarakat yang tidak terangkat oleh perubahan pembangunan," katanya.

Selain menganalisis yang terjadi pada para pengikut raja-raja itu, Najib juga mengulas tentang yang terjadi pada para raja atau pendiri "kerajaan-kerajaan baru" itu.

Menurutnya, kemunculan kerajaan-kerajaan itu tidak lepas dari banyaknya kerajaan kecil di Nusantara pada zaman dahulu, yang akhirnya hilang saat modernisasi terjadi.

Tapi, kerajaan kecil ini mungkin masih mengalami reproduksi. Kisahnya terus berkembang, termasuk cerita-cerita bahwa kakek-nenek moyang para pendiri "kerajaan" merupakan penguasa, orang kaya dan orang hebat di zamannya. "Nah, ini masih berlangsung. Narasi semacam itu masih berlangsung di sebagian masyarakat," kata dia.

Najib bahkan mengaku pernah mendengar dari seorang perwira menengah, yang percaya bahwa dia merupakan keturunan raja, dan akan membawa kebangkitan kembali kerajaan itu.

Narasi yang tadinya hanya hidup dalam lingkup kecil, bisa saja meluas dengan pengaruh yang dibangun pada generasi yang lebih baru. Mereka bisa jadi juga memunyai instrumen baru untuk memengaruhi orang, membangun persuasi dengan cara baru.

"Mungkin perlu penelusuran lebih jauh, tapi saya kira itu. Jadi narasi-narasi seperti itu masih hidup," kata alumnus Australian National University (ANU).

Tak jarang orang-orang itu membekali diri dengan silsilah dan tidak muncul tanpa konteks. Selalu ada konteks dan basis yang mereka gunakan untuk menaiki tangga sosial. Silsilah itu nantinya digunakan untuk membangun legitimasi dan mencari pengaruh.

Menurut dia, orang-orang yang hidupnya ruwet kemudian menemukan itu sebagai cahaya di ujung lorong yang gelap. Jadi ini merupakan gerakan sosiokultural yang memang sering muncul dalam berbagai zaman.

"Dalam dinamika perubahan sejarah dan dapat pengikut dari orang-orang yang resah terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Muncul lagi, hilang lagi, seperti itu," ungkapnya. []

Baca juga:

Berita terkait
Ketidakwarasan Keraton Agung Sejagat-Sunda Empire
Kemendagrai menilai kemunculan sejumlah kerajaan baru seperti Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire merupakan ulah dari orang yang tidak waras.
Dagelan Gaya Keraton Agung Sejagat di Purworejo
Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MKAN) menganggap Keraton Agung Sejagat seperti dagelan. MAKN sama sekali tidak mengakui kerajaan abal-abal itu.
Keraton Jipang Blora, Ganjar: Tidak Disumpahin
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan penanganan Keraton Jipang di Blora dengan Keraton Agung Sejagat di Puworejo beda. Kenapa?