Jakarta - Koordinator Public Interest Lawyer Network (PilNet) Indonesia Erwin Natosmal Oemar menegaskan rencana DPR untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada pekan ini tidak masuk akal.
Lantas, Erwin menyebut rencana itu menghina akal sehat publik. Seyogianya, kata dia, DPR dimohon mendengarkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengingat Indonesia saat ini sedang fokus dalam penanganan virus corona Covid-19.
Baca juga: Nikah Adat Sasaran Pidana Pasal Kumpul Kebo RKUHP
Masih terdapat beberapa delik yang bermasalah, soal contempt of court, penghinaan presiden, dan lain-lain.
"Pengambilan keputusan penting dalam situasi sekarang adalah tidak masuk akal dan menghina akal sehat publik. Sebaiknya, DPR mengikuti perintah Presiden di mana kita saat ini sedang masuk dalam darurat bencana kesehatan. Harusnya fokus ke sini dulu," kata Erwin kepada Tagar, Senin, 6 April 2020.
Dia mengatakan dalam konteks pembahasan rancangan RKUHP, pada prinsip pengambilan keputusan politik harus transparan, akuntabel, rasional, dan partisipatif. Namun, dia menyoroti tak satupun dari hal di atas yang memenuhi prinsip dilakukan DPR.
"Ini sudah jadi umum prinsip-prinsip penentuan kebijakan publik. Dalam konteks ini, proses pengambilan keputusan RKUHP satu pun tidak memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana disampaikan di atas," ujarnya.
Dia menambahkan, terdapat tiga alasan yang dimaksudnya tidak memenuhi hal tersebut, yakni masih terdapat poin yang bermasalah dalam RKUHP, diambil dalam situasi yang tidak normal saat pendemi terjadi dan publik tidak dapat melihat proses pengambilan keputusan.
Baca juga: Pasal Santet RKUHP Jeratlah yang Bayar Dukun Santet
Selain itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan saat ini yang menjadi permasalahan adalah adanya over kapasitas di lapas, oleh sebab itu direalisasikan pembebasan napi.
Namun, jika dipilih di antara keduanya, yang patut untuk didahulukan tidak ada. Menurutnya, itu merupakan dua hal yang kontradiktif.
"Lewat KUHP dan KUHAP. Permasalahannya di sana. Setiap ada delik solusinya pidana dan ditahan. Jadi enggak masuk akal juga KUHP tetap dibahas (di mana banyak delik ancaman penahanan) namun PP soal remisi juga akan direvisi. Itu dua hal yang kontradiktif," kata dia.
Selanjutnya, dia menyarankan terlebih dahulu RKUHP ditarik kemudian baru berbicara tentang over kapasitas yang ada di lapas-lapas.
"Kalau mau konsisten, mau mereformasi sistem hukum kita, tarik dulu RKUHP versi pemerintah yang mengatur banyaknya ancaman penahanan," ucapnya.
Kemudian, dia menjelaskan masih banyak hal yang harus dibenahi oleh DPR tanpa harus mengebut pengesahan RKUHP.
"Masih terdapat beberapa delik yang bermasalah, soal contempt of court, penghinaan presiden, dan lain-lain," kata Erwin Natosmal. []