TAGAR.id – Mulai dari perjalanan untuk meliput KTT Belt and Road China yang seluruh biayanya ditanggung oleh Beijing, hingga perjanjian berbagi konten dengan media besar, pemerintah China telah berinvestasi dalam berbagai cara untuk mempromosikan 'narasi Beijing' kepada khalayak Indonesia, seperti dikatakan oleh para analis. Devianti Faridz melaporkannya untuk VOA.
Salah satu kesepakatan terbesar terjadi pada bulan November, ketika jaringan Metro TV di Indonesia menandatangani perjanjian dengan China Media Group untuk memperluas konten program berita berbahasa Mandarin andalan Metro TV, "Metro XinWen."
Metro TV bergabung dengan The Jakarta Post, yang memuat ulang konten dari China Daily, dan kantor berita Indonesia, Antara, yang memiliki kemitraan serupa dengan kantor berita China Xinhua dan CGTN.
Perjanjian berbagi konten atau pembuatan konten ini merupakan kelanjutan dari metode yang telah digunakan Beijing selama bertahun-tahun di Indonesia.
Laporan Freedom House tahun 2022 mengungkapkan bahwa China menggunakan kedua taktik tersebut, bersama dengan sensor, untuk membentuk narasi.
Freedom House “menemukan bahwa beberapa media Indonesia yang telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan media China, berusaha menghindari kritik negatif terhadap China,” kata Muhammad Zulfikar Rakhmat, salah satu penulis laporan tahun 2022.
Zulfikar, yang merupakan direktur Studi China-Indonesia-Timur Tengah di Pusat Studi Ekonomi dan Hukum Indonesia, mengatakan bahwa beberapa media di Indonesia sering tidak menyebutkan dengan tepat sumber dari berita-berita yang mereka ambil dari media milik pemerintah China.
“Hal ini menyebabkan khalayak menganggap artikel tersebut ditulis oleh media lokal dan bukan bersumber dari perusahaan media asing,” ujarnya.
Para ahli mengatakan kepada VOA bahwa kesepakatan ini tampaknya berguna pada saat industri media sedang mengalami kemerosotan ekonomi. Dan, meskipun ada kasus di mana wartawan menghasilkan liputan yang lebih baik setelah berpartisipasi dalam perjalanan yang dibiayai oleh Beijing, pakar media lokal mengatakan bahwa Indonesia memiliki kebijakan editorial yang kuat untuk menjaga independensinya dalam pemberitaan.
Taufiqurrahman, pemimpin redaksi The Jakarta Post, mengatakan kepada VOA, "Setiap kolaborasi dengan harian "China Daily" adalah murni komersial."
“Hanya saja China Daily membeli ruang iklan untuk kontennya, sesuatu yang selalu kami sangkal. Tidak ada kolaborasi editorial yang terjadi, hanya China Daily yang menggunakan ruang kami sebagai (sebuah) iklan dan kami memperlakukannya seperti itu,” kata Taufiqurrahman.
Seperti kebanyakan orang Indonesia, Taufiqurrahman hanya memiliki satu nama.
Metro TV tidak menanggapi permintaan komentar VOA. Antara mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa mengungkapkan rincian kontrak mereka dengan Xinhua karena terkait masalah hukum.
VOA meminta komentar dari Kedutaan Besar China di Jakarta, namun mereka menolak memberikan tanggapan.
Beijing juga mengundang media untuk melakukan perjalanan, yang menurut para analis merupakan upaya untuk mempromosikan liputan yang menguntungkan (bagi China).
Pada bulan September, Departemen Layanan Informasi China membiayai 15 jurnalis termasuk reporter dari Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Polandia dan Hungaria untuk meliput KTT Belt and Road yang diadakan di Hong Kong, menurut beberapa laporan.
Dan pada bulan Desember lalu, menurut situs berita Kompas.com, China mengundang jurnalis dari Indonesia ke Shenzhen untuk pertama kalinya.
Upaya China untuk menyebarkan pengaruhnya tidak selalu berhasil, kata para ahli.
Ketika China mengirim jurnalis Indonesia ke Xinjiang untuk mengunjungi kamp-kamp Muslim Uighur pada tahun 2019, sebagian besar jurnalis merasa positif dengan perjalanan mereka dalam liputan selanjutnya. Namun, beberapa jurnalis lainnya menulis laporan kritis.
Namun, beberapa ahli mengatakan bahwa independensi editorial mencegah terlalu banyak campur tangan.
Zulfikar mencatat bahwa banyak surat kabar tidak mempromosikan narasi Beijing yang bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia, seperti penolakan (Jakarta) terhadap klaim China atas Laut China Selatan.
Dan Christine Tjhin, pakar hubungan China-Indonesia di perusahaan konsultan Gentala Institute, mengatakan kepada VOA bahwa bahkan dengan adanya perjanjian berbagi berita, dia ragu bahwa China memiliki “kendali langsung” atas kebijakan editorial media lokal.
“Saya melihat beragam konten mengenai China di media Indonesia, dari yang positif hingga sangat kritis,” katanya.
Namun, perusahaan media Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap investasi asing seiring dengan menurunnya pendapatan.
Christine mengatakan beberapa media di Indonesia sudah lama mencari investor dari China. Berdasarkan data Persatuan Penerbit Surat Kabar pada bulan Mei 2020, lebih dari 70 persen dari 434 perusahaan media yang disurvei mengalami penurunan pendapatan. Jumlah tersebut turun 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Zulfikar juga senada dengan pernyataan tersebut, "Saya melakukan wawancara pada bulan Juli dengan tokoh-tokoh media ternama di Indonesia. … Mereka menyebutkan bahwa ini adalah uang (pendapat) yang bagus (bagi media)."
Situasi perekonomian menjadi salah satu faktornya, kata Zulfikar.
“Saya pikir China juga memahami bahwa peran media tradisional semakin menurun di Indonesia. Tidak ada lagi yang membaca surat kabar cetak. Sekarang mereka online dan banyak orang lebih suka menonton YouTube menggunakan media sosial mereka,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, ketua Asosiasi Siber Media Indonesia atau AMSI, mengatakan negara ini memiliki komunitas kebebasan pers yang kuat.
Undang-undang membatasi kepemilikan asing, sehingga mengurangi potensi media pemerintah China untuk mengambil kendali atas media lokal, kata Wahyu kepada VOA dalam wawancara telepon. Investor yang mencoba melakukan intervensi dalam keputusan editorial lokal juga dapat menghadapi tuntutan pidana karena melanggar undang-undang media.
“Saya tidak menyangkal bahwa ada investor (China) yang mencoba memasang advertorial media (di media lokal), jadi penting bagi penerbit untuk menegaskan independensi dan pedoman investasi mereka,” kata Wahyu, yang menjadi mahasiswa Neiman fellow di Universitas Harvard tahun 2014.
Indonesia mengalami kemajuan dalam pemeringkatan kebebasan pers global. Saat ini Indonesia berada di peringkat 108 dari 180 negara dalam indeks dunia, di mana salah satunya merupakan wakil dari negara dengan lingkungan media terbaik. Pada tahun 2023 lalu, kebebasan pers Indonesia mengalami peningkatan sembilan poin dari tahun sebelumnya. (es/pp)/voaindonesia.com. []