Bagaimana Seharusnya Eks-PKI Diperlakukan?

Bagaimana seharusnya eks-PKI diperlakukan? Berikut ini penjelasan Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Tagar/Gemilang Isromi Nuari)

Jakarta, (Tagar 1/10/2018) - Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyatakan, film pemberontakan G30S/PKI yang dibuat pemerintah Orde Baru bukan sebuah kebenaran dari peristiwa yang terjadi 52 tahun lalu.

"Film itu penuh dengan kekejaman kekejian yang seolah-olah nyata, tapi sebenarnya bukan sebuah kenyataan," ungkapnya saat wawancara khusus dengan Tim Tagar News, di kantor Amnesty International, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/9).

Usman menjelaskan, kefiktifan dari film yang lantas membuat kebencian terhdap eks-PKI, keluarga atau bahkan keturunannya, yang digambarkan sebagai pelaku kejahatan di masa lalu, tak lagi harus dibesar-besarkan. Malah, seharusnya mereka dan orang-orang yang tahu, didorong mengungkapkan kejadian sesungguhnya yang saat ini masih menyisakan tanda tanya.

"Yang diperlakukan secara sewenang-wenang bukan hanya PKI itu sendiri, orang-orang yang nasionalis yang pro Soekarno, atau yang menteri-menteri Soekarno atau Kabinet Dwikora dibubarkan ditangkap oleh RPKAD dibawah pimpinan Sarwo Edhie, atau bahkan perwira-perwira tinggi TNI baik TNI AD/AL/AU yang dituduh PKI dipenjarakan bertahun-tahun," ungkapnya.

"Juga pegawai-pegawai negeri sipil, para guru, para seniman, hingga pelajar itu banyak yang dipenjarakan, dibunuh, hingga rumah-rumahnya dirampas atas tuduhan PKI itu," lanjut Usman.

Menurutnya, sudah saatnya nama baik mereka dikembalikan. Karena peristiwa tersebut membuat eks-pelaku, keturunan, dan orang-orang yang terkait dengan peristiwa mendapatkan kesulitan dalam menjalani kehidupan di Indonesia, meraka mengalami stigmatisasi.

"Hingga hari ini, mereka belum mendapatkan rehabilitasi nama baik mereka. Bertahun-tahun hidup dalam kesusahan, setelah dirampas, mereka sulit dalam mencari pekerjaan, KTPnya ditandai sebagai katakanlah terlibat dengan organisasi terlarang gitu, sampai akhirnya harus tinggal di luar negeri," jelasnya.

Rehabilitasi untuk mengembalikan nama baik, dari eks-pelaku, keturunan, dan orang-orang yang terkait dengan peristiwa G30S/PKI sebenarnya sudah diupayakan sejak tahun 2011 di era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Namun tak terlaksana.

"Rehabilitasi itu mau dilakukan tahun 2015 atas pendapat Mahkamah Agung tahun 2011, yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintahan SBY," ujarnya.

Upaya Jokowi Berbuah Tudingan

Tahun 2015, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya pencabutan dilakukan kembali pada Keppres Nomor 28 tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka Yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C. Namun, usahanya digoreng seolah-olah sebuah rencana meminta maaf pada partai komunis.

"Ketika Presiden Joko Widodo mempersiapkan satu keputusan presiden untuk mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Soeharto Nomor 28 tahun 1975 yang isinya tentang perlakuan tahanan politik terhadap golongan C PKI. Tetapi usaha untuk merehabilitasi ini dipelintir, dimanipulasi, digoreng seolah-olah sebagai sebuah rencana untuk meminta maaf pada partai komunis," terang Usman.

"Partainya sudah tidak ada karena dibubarkan, orang-orangnya banyak dipenjara, dieksekusi, dibunuh, tiba-tiba ada ketakutan itu. Ini kan ketakutan tidak berdasar," tegasnya.

Ketakutan yang tidak mendasar terhadap PKI atau komunis, menurut Usman merupakan sebuah retorika yang memang terus direproduksi oleh elit-elit tertentu. Bahkan, Jokowi, menjadi korban dari tuduhan sebagai orang PKI.

"Jokowi juga sekarang kan masih di bawah bayang-bayang ketakutan bahwa dia akan dituduh non muslim lagi, akan dituduh PKI lagi. Nah, ini ketakutan yang juga disebabkan oleh adanya usaha-usaha elit tertentu, gitu ya, yang memang terus mereproduksi ketakutan pada PKI atau komunis untuk menjatuhkan orang seperti Jokowi," imbuhnya.

Ia menyayangkan adanya politisasi, provokasi dengan sentimen yang sangat tidak mencerdaskan kehidupan politik. Sebab, korban dari tuduhan PKI ini pun bukan hanya orang-orang yang sedang bertarung politik seperti Jokowi.

Usman mencontohkan, orang yang mempersoalkan tambang emas di kampungnya seperti aktivis Budi Pego dituduh komunis, divonis penjara, hal sama menimpa aktivis-aktivis yang seringkali bersuara kritis terhadap proyek pembangunan atau kebijakan pemerintah.

Belakangan juga sering diramaikan seolah-olah kerja sama ekonomi dengan Republik Tiongkok sebagai tanda kebangkitan PKI, ditambah dengan invasi China

"Lalu dengan mudah dituduh PKI, termasuk juga menghalangi para korban, para penyintas yang sedang memperjuangkan rehabilitasi nama baik mereka," tuturnya.

Berdasarkan survei SMRC tahun 2017 di bulan September, Desember, sampai bulan Mei 2018, masyarakat yang percaya akan adanya kebangkitan PKI itu cuma 10, 12, sampai 15 persen. Sementara sekitar 80-86 persen tidak percaya isu itu.

"Jadi isu ini sebenarnya kecil di mata masyarakat, tapi dibesar-besarkan oleh elit-elit politik," kata dia.

"Entah itu untuk mendongkrak popularitasnya atau untuk menjatuhkan popularitas lawan politiknya atau untuk membungkam protes-protes petani, buruh, atas ketidakadilan pembangunan atau penggusuran atau untuk menghalangi orang-orang yang pernah diperlakukan tidak adil di masa lalu, dan sedang mencari keadilan rehabilitasi," kata Usman menambahkan.

Meski memang khawatir adanya efek kebencian rasial dan pandangan politik, akibat dari versi satu sejarah yang dipaksakan, ia yakin masyarakat kini apalagi generasi muda telah cerdas. Baik dalam menentukan kebijakan, maupun mengetahui adanya versi sejarah yang berbeda.

"Masyarakat kita sudah cerdas, elit-elitnya masih berusaha membodoh-bodohi," pungkasnya. []

Berita terkait