Arief Budiman, Tokoh Golput dan Asimilasi Tionghoa

Arief Budiman selain dikenal sebagai aktivis dan tokoh ‘golput’ (golongan putih) dengan tidak ikut pemilu di masa Orde Baru dia juga akademisi
Arief Budiman (Foto: islamlib.com/ayogitabisa.com)

Jakarta – Salah satu aktivis, akademisi, dan demonstran Indonesia, Soe Hok Djin alias Arief Budiman telah genap berusia 80 tahun. Abang dari Soe Hok Gie ini adalah salah satu sosok yang gencar mengkritisi pemerintahan pada saat itu, khususnya pada era pemerintahan Presiden Soeharto (periode 1967-1998).

Sejak kecil, pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1939 ini sering diajak ayahya, Soe Li Piet, yang bekerja sebagai wartawan untuk berkunjung ke sejumlah kantor berita seperti, mingguan Suara Rakyat, mingguan Sunday Courier, dan harian Republik. Di sana, ia menghabiskan waktu bersama Soe Hok Gie untuk bermain sembari menunggu ayahnya menyelesaikan tulisan dan tugas-tugasnya.

1. Anggota Dewan Kesenian Jakarta

Saat menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI), Jakarta, ia mulai aktif di dalam kelas dengan mengkritisi beberapa materi yang diajarkan oleh dosennya. Karena terlalu aktif dan dianggap mengganggu jalannya aktivitas belajar mengajar, Arief sering diminta keluar kelas oleh dosennya. Meski begitu, Arief berhasil menyelesaikan pendidikan psikologinya pada 1968.

Tidak hanya menuntaskan pendidikannya di Fakultas Psikologi UI, pria yang pernah menjadi anggota Badan Sensor Film (1968-1971) ini juga telah menyelesaikan pendidikan sosiologinya di Harvard University, Amerika Serikat. Selain itu, ia juga pernah berkuliah di College d’Europe, Brugge, Belgia, pada 1964.

Sebelum mulai mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, pada 1985-1995, Pria yang pernah mengahadiri konferensi PEN Club International, Seoul (1970) ini sempat bekerja sebagai redaktur untuk majalah Horison (1966-1972).

Mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971) ini bersama kawan-kawannya mencetuskan istilah Golongan Putih (Golput) pada pemilu 1971. Saat itu, pemilu hanya diikuti 3 partai saja dari total 10 partai politik.

Istilah “golput” dicanangkan oleh Arief dan kawan-kawan untuk menandingi Partai Golongan Karya (Gokar) yang dianggap telah melenceng pada cita-cita orde baru. Sementara kata “putih” berarti ajakan kepada calon pemilih untuk mencoblos bagian putih pada surat suara. Hal tersebut membuat surat suara tidak sah dan tidak masuk perhitungan.

Sekitar tahun 1960’an, Arief menjadi salah satu orang yang menolak asimilasi dan penggantian nama bagi warga Tionghoa dengan nama-nama yang lebih mencerminkan Indonesia. Paham ini pertama kali diformulasikan oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang sebagian besar anggotanya adalah tokoh-tokoh Tionghoa yang berhaluan politik “kanan”. 

Paham itu juga mendapat penolakan dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan yang saat itu tengah gencar mengusung konsep Indonesia sebagai multi-kulturalisme atau pluralisme.

2. Menandatangani Manifesto Kebudayaan

Namun, setelah Soeharto menjabat sebagai presiden pada 1966, BAPERKI dibubarkan. Pada akhirnya, paham asimilasi yang semula tidak diindahkan oleh beberapa kalangan Tionghoa seketika dijadikan sebagai kebijakan pemerintah dalam suatu undang-undang yang berlaku.

Meski pergantian nama tidak masuk dalam undang-undang tersebut, namun sejumlah warga Tionghoa mengalami paksaan untuk mengganti nama mereka, dan beberapa kegiatan keagamaan hingga penggunaan bahasa Tionghoa sempat dilarang.

Keputusan Arief mengubah namanya yang semula Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman didorong oleh permintaan sang istri, Leila Chairani Budiman. Leila adalah teman satu fakultas Arief di Universitas Indonesia saat keduanya masih berstatus mahasiswa. Leila meminta Arief mengganti namanya agar tidak menimbulkan perkara-perkara lain yang lebih besar.

Pria yang dianggap sebagai tokoh dalam perdebatan Sastra Kontekstual sejak Sarasehan Kesenian di Solo (1984) ini pernah menerima penghargaan Bakrie Award untuk bidang penelitian sosial pada Agustus 2006. Sebelumnya, Esainya yang berjudul “Manusia dan Seni” juga mendapat peringkat ketiga majalah sastra pada 1963.

Saat pemilu tahun 2014, pria yang pernah ditahan akibat terlibat demonstrasi penentangan pendirian Taman Miniatur Indonesia Indah pada 1972 ini, nampak menghadiri gelaran aksi tanda tangan sebagai bentuk dukungan terhadap capres dan cawapres Jokowi dan Jusud Kalla (JK) di Salatiga. 

Arief tak sendirian, dalam aksi yang diadakan oleh Gerakan Relawan Jokowi Sejati (GRAJI) itu, ia hadir bersama sang istri. Saat itu, Arief dan Leila, membubuhkan tanda tanganya di spanduk dukungan sebagai bentuk dukungan kepada Presiden Joko Widodo.

Pria yang pernah menandatangani Manifesto Kebudayaan (1963) ini pernah juga mengajar di Melbourne University, Australia, dan istrinya menjadi penerjemah di Royal Children Hospital, Melbourne, Australia. Karena alasan kesehatan  -ia terkena stroke- Arief kemudian kembali ke Indonesia dan kini bermukim di Salatiga, Jawa Tengah. []

Berita terkait
Menyiasati 75 Persen Golput di Pilkada Medan 2020
Pada Pilkada Kota Medan 2015, tercatat, warga yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 1.477.745 atau 74,44%.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.