Aktivis Danau Toba Versus Panggilan Hukum

Aktivis lingkungan Danau Toba, Sebastian Hutabarat menjalani sidang kasus pencemaran nama baik.
Sebastian Hutabarat swafoto di kediamannya di Balige, Tobasa, Sumatera Utara. (Foto: Facebook)

Samosir - Aktivis lingkungan hidup di Danau Toba, Sebastian Hutabarat saat ini sedang menjalani sidang kasus yang menerpa dirinya atas tuduhan pencemaran nama baik Bupati Samosir Rapidin Simbolon dan kerabatnya Jautir Simbolon (JS).

Sidang terbaru digelar pada Kamis 20 Juni 2019 oleh Pengadilan Negeri Balige, namun bersidang rencananya di Pangururan, Kabupaten Samosir. Agenda sidang berupa jawaban atas eksepsi yang diajukan oleh pengacara Sebastian pada sidang ke dua, 23 Mei 2019 lalu.

Sebastian berangkat dari rumahnya di Balige, Kabupaten Tobasa menuju tempat sidang di Pangururan, Kabupaten Samosir. Kamis 20 Juni 2019 sekitar pukul 10.30 WIB dia hadir di Kabupaten Samosir.

Tapi sepuluh menit kemudian, jaksa mengabarinya lewat pesan WhatsApp, bahwa sidang digelar di Balige, Kabupaten Tobasa, bukan di Pangururan, Kabupaten Samosir.

Dia sangat jengkel dan menuliskan sebuah kesaksian yang dilayangkan ke Tagar, Jumat 21 Juni 2019, berjudul "Panggilan".

Sementara, jaksa dari Kejari Samosir Daniel Simamora membenarkan pihaknya menuntut Sebastian Hutabarat dengan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik.

Dihubungi Jumat sore, dia menyebut, sidang ke empat dilakukan di Balige pada Kamis 20 Juni 2019. Sidang berikutnya di Pangururan, Samosir pada Kamis depan. 

Panggilan

Bertahun tahun lamanya saya menjawab 'panggilan batin' ini dengan sukacita di hati. Menjalani pelosok Danau Toba dan Tano Batak, dari Balige, Sianjur Mula Mula, Pusuk Buhit dan aneka penjuru Tano Batak, untuk membidik dengan kamera, pelosok demi pelosok sudut surga indah bernama Toba ini dengan 'mata hati'.

Hasilnya, walau badan ini sering pegal dan letih, tapi kekayaan batin mampu menggantikanya menjadi sukacita yang tak kan pernah terbayarkan dengan materi.

Tapi dua tahun belakangan ini, semenjak penganiayaan kami di Tambang Batu Silimalombu, Samosir 15 Agustus 2017 lalu, suasana hati ini berobah drastis.

Ada rasa sedih, kecewa, juga trauma setiap mendengar tempat ini, Samosir. Betul, Pak JS, pemilik usaha tambang sekaligus penganiaya kami itu, sudah diputuskan bersalah dan kemudian menjalani hukuman penjara dua bulan.

Walau hukuman itu terasa ganjil, tapi saya harus belajar bahwa hakim dan penegak hukum tentu punya aneka pertimbangan untuk membuat putusan yang semoga masih adil.

Beberapa bulan belakangan, gantian, saya yang harus menerima panggilan dari Polres Samosir sebagai tersangka yang kemudian dengan proses sangat cepat dijadikan terdakwa di pengadilan.

Ada tiga hal yang didakwakan yakni, 

1. Saya dituduh memfitnah JS bahwa izin tambang mereka tidak ada.

2. Saya dituduh memfitnah bahwa masyarakat sekitar tambang tidak setuju kehadiran tambang itu,

3. Saya dituduh memfitnah Bupati Samosir dengan menunjuk-nunjuk foto Bupati Samosir yang ada di gelas minum sewaktu kami diskusi.

Saksi dan buktinya apa? Polres Samosir menjawab ada dua saksi yang mendengarkan. Padahal keduanya adalah pegawai dan atau rekan bisnis JS di mana salah satu dari saksi itu, ikut menganiaya saya bersama JS.

Bukti keduanya? Ada surat izin dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terhadap izin tambang itu dan ada surat persetujuan warga sebanyak 15 orang dari 215 warga, yang meneken tidak keberatan dengan kehadiran tambang batu.

Aneh dan ganjil memang, tetapi oleh Kejaksaan Negeri Samosir tetap saja bukti dan saksi dianggap sudah lengkap dan sudah P21, segera disidangkan. Sangat jauh berbeda dengan lagu Jack Marpaung berjudul Kamar 13 yang justru menanyakan kapan dia akan disidangkan?

Pada sidang ke dua 23 Mei 2019, setelah saya dijadikan terdakwa, tim pengacara kami mengajukan eksepsi, yang intinya menyatakan keberatan terhadap tuntutan jaksa, seraya memberi bukti rekaman pembicaraan kami pada 15 Agustus 2017 yang membuktikan tidak adanya aneka tuduhan yang didakwakan itu.

Sidang berikutnya yang akan membacakan jawaban jaksa, dijadwalkan Kamis 20 Juni 2019 di tempat yang sama, Pengadilan Negeri Balige di Samosir.

Saya pun walau tinggal di Balige, harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke Samosir. Dalam hati saya bergumam, betapa kuat dan berkuasanya panggilan penegak hukum ini, sehingga tiap panggilan, kita harus hadir, sesuai jadwal dan waktu yang ditentukan.

Kamis sesuai jadwal sidang, pukul 10.30 kami tiba di Samosir, dan jam 10.34, kami tiba-tiba dapat pesan lewat WhatsApp bahwa sidangnya akan diadakan di Balige.

What?!

"Ya, kami juga baru tahu dan baru berangkat dari Pangururan," kata jaksa.

Saya hanya bisa belajar diam, seraya terus belajar bersabar, belajar taat pada panggilan hukum Negara ini.

Ampuni aku Tuhan, jika ketaatanku kepadaMu masih sangat jauh dari pada ketaatanku yang mungkin lebih disertai ketakutanku pada wakil wakilMu, pemerintah dan penegak hukum di Negeri ini.

Samosir 20 Juni 2019

Sebastian Hutabarat. []

Berita sebelumnya:

Berita terkait