Jakarta -Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung demonstrasi di berbagai daerah termasuk di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta kemarin. MUI mendukungnya meski aksi massa penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Cipta Kerja itu digelar di tengah pandemi Covid-19.
"Pemerintah saja tak peduli dengan pandemi Covid-19," kata Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi kepada Tagar, Kamis, 16 Juli 2020. Sebagai juru bicara umat, kata dia, MUI wajib bersuara ihwal dua masalah publik ini.
MUI kecewa dengan tingginya biaya yang mesti dikeluarkan masyarakat jika ingin tes Covid-19 via swab. Anggaran untuk pemulihan ekonomi, kata Muhyiddin, juga tak berdampak bagi masyarakat. Ini semua bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap penanggulangan Covid-19.
"Di mana itu anggaran 600 triliun?" ujarnya. Ia merujuk pada dana jumbo yang dipersiapkan pemerintah untuk penanganan Covid-19 mencapai 695,2 triliun rupiah pada 16 Juni 2020.
Dana ini meningkat dari rencana awal ketika pandemi baru saja mewabah di Indonesia. Meski demikian ia menyayangkan tes corona pun warga harus bayar.
Selain itu, kata dia, pemerintah masih saja sempat mengusulkan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai pengganti RUU HIP dan DPR juga sedang mempersiapkan lahirnya UU Cipta Kerja. Menurutnya RUU tersebut tak penting diurus apalagi di tengah pagebluk.
"Pemerintah seharusnya fokus pada penanganan Covid-19," katanya.
Pemerintah seharusnya fokus pada penanganan Covid-19
Oleh karena itu, Muhyiddin membela dua unjuk rasa yang berlangsung di DPR kemarin. Unjuk rasa pertama menolak RUU HIP dan kedua menolak RUU Cipta Kerja.
MUI mengaku diundang turun ke jalan oleh Persaudaraan Alumni 212 - penyelenggara demo - untuk menolak RUU HIP. Namun, kata Muhyiddin, pihaknya tidak hadir di sana. "Kami cukup mengawasi saja," ujarnya.
Baca juga:
- Sambangi DPR, Istana Usul RUU BPIP Gantikan RUU HIP
- RUU BPIP Gantikan RUU HIP, Istana Jelaskan Bedanya
Kemarin, Kelompok buruh dan PA 212 menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR. Meski aksi dilakukan di hari dan tempat yang sama tetapi masing-masing kelompok bakal menyuarakan isu yang berbeda.
Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Ellena Ekarahendy menuturkan posisi politik Gebrak adalah menolak keseluruhan klaster dalam Omnibus Law RUU Cilaka.
“Kita saksikan pemerintah bersekongkol dengan oligarki melalui sertifikat untuk menjarah sumber daya alam dan mengobral hidup pekerja serta anak muda yang sering disebut sebagai bonus demografi. Omnibus law bukan jawaban krisis akibat pandemi namun justru akan memperparah krisis,” kata Ellena.[]